Berikut ini adalah Pendahuluan dari buku Konspirasi Intelijen
dan Gerakan Islam Radikal. Buku ini disunting oleh Umar Abduh.
Pendahuluan ini ditulis oleh Umar Abduh sendiri. Buku ini diterbitkan
oleh Center for Democracy and Social Justice Studies, dan diterbitkan pada tahun 2003 pada cetakan pertamanya.
Keberadaan
Jama’ah Islamiyah dan jaringannya telah terungkap seiring dengan
banyaknya anggota jaringan Jama’ah Islamiyah ditangkap kepolisian
Indonesia, seperti dituturkan para personilnya di hadapan pimpinan MUI
KH Amidhan dan Ormas Pemuda KNPI diwakili Idrus Marham dan Naufal
mewakili Laskar Hizbullah, selanjutnya pernyataan resmi tersebut
disosialisasikan melalui konferensi pers pada hari Jum’at, 19 September
2003 yang intinya menjelaskan:
Jama’ah Islamiyah adalah
organisasi riil, dirintis Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir sejak
1992 dengan cikal bakal basis gerakan Darul Islam atau NII (Negara Islam
Indonesia) dan dinyatakan resmi berdiri tahun 1996 di Malaysia. Mereka
mengakui memiliki hubungan dengan Osama bin Laden, Mujahidin Afghanistan
dan Moro selama kurun waktu 1985-2000 dalam hal ideologis, dan bukan dalam struktur organisasi; demikian pula keterlibatan mereka dalam konflik Maluku, Ambon, dan Poso.
Struktur
organisasi JI meliputi wilayah Malaysia, Brunei, Filipina dan
Indonesia; terbagi dalam tiga Mantiqi. Mantiqi I meliputi wilayah
Malaysia, Brunei dan Singapura. Mantiqi II meliputi Filipina,
Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Mantiqi III meliputi Sumatera, Jawa dan
Nusa Tenggara Timur dan Barat. Serta, Mantiqi Ukhra (lain).
Namun dalam kurun waktu empat tahun terakhir pasca wafatnya Abdullah Sungkar, terjadi perpecahan dalam tubuh Jama’ah Islamiyah.
Faksi
pertama adalah faksi ideologis (tetap dalam garis khittah PUJI/Pedoman
Umum Jama’ah Islamiyah dengan format dakwah dan jihad), dengan struktur
gerakan bersifat klandestein atau di bawah permukaan, di bawah
kepemimpinan Abu Rusydan, tercatat sejak Abu Bakar Ba’asyir bersedia
menjadi Amir MMI tahun 2000.
Faksi kedua adalah faksi
moderat dengan struktur organisasi terbuka dan format gerakan MMI
(Majelis Mujahidin Indonesia) berbasis anggota heterogen (bervariasi
dan tidak melulu mantan mujahidin Afghan, Moro, Ambon dan Poso) dipimpin
oleh Abu Bakar Ba’asyir.
Faksi ketiga adalah JI faksi
liar, radikal dan ekstrem yang terlibat dalam aksi kekerasan bom Kedubes
Filipina, Natal 2000, Legian Bali dan Marriott Jakarta, di bawah
komando Hambali dan Zulkarnaen.
Hambali dan Zulkarnaen
tercatat sebagai Ketua Mantiqi I. Namun sejak terlibat konflik Ambon
tahun 1999 dan terjerat kooptasi intelijen di bawah seorang anggota intel yang bernama Abdul Haris, Abu Dzar dan Al Faruq,
Hambali dan kawan-kawan berusaha menyeret konflik Ambon dan Poso ke
Jawa dan ibukota Jakarta dan berusaha melibatkan teman sejawatnya dan
merusak struktur disiplin di Mantiqi II, III, dan yang lain untuk
melancarkan aksi jihad melawan Amerika dan antek-anteknya.
Sayang,
baik faksi Abu Rusydan maupun Ba’asyir hanya mengambil sikap berlepas
diri (tabarra’) terhadap kiprah Hambali dan Zulkarnaen yang
indisipliner dan keluar dari khittah PUJI tersebut.
Faksi
JI ideologis dan moderat tidak mencermati dan melakukan kewaspadaan
terhadap potensi dan kemungkinan buruk maupun dampak petualangan faksi
Hambali yang ternyata telah masuk dalam jebakan jaring-jaring intelejen seperti Abdul Haris “Donnie Brasco”, Abu Jihad, Abu Dzar, Al Faruq
dan sebagainya. Kini, suka atau tidak mereka telah terkena akibat buruk
hasil penetrasi dan permainan intelejen negara yang tidak mampu mereka
waspadai dan perhitungkan, yang ternyata membelit habis seluruh gerakan
Islam.
Faksi Hambali-Zulkarnaen yang liar dan terindikasi
kuat terlibat jaringan intelejen ini dinyatakan memiliki hubungan dengan
Osama bin Laden. Termasuk pernyataan mereka yang membenarkan posisi
Ba’asyir sebagai Amir JI dan mengangkat serta membai’at Sukiman sebagai
Wakalah III pada tahun 2001.
Hal ini menunjukkan bahwa
ketiga faksi JI di atas masing-masing memiliki struktur organisasi
Mantiqi yang sama dalam istilah, namun beda dalam personil. Sebagai
bukti, wakalah III faksi Abu Rushdan saat ini bernama Fahim.
Terbongkarnya
jaringan organisasi gerakan Jama’ah Islamiyah oleh Kepolisian Republik
Indonesia yang subyek pelaku atau anggotanya ternyata masyoritas warga
dan bangsa Indonesia, menyisakan misteri dan tuduhan yang mengemuka
selama ini belum terungkap. Keberhasilan polisi juga menyisakan
pertanyaan besar, karena muatan politik dan rekayasa intelejen yang
melatari belum dan tidak disentuh. Padahal mencari akar masalah dan
sumbu terorisme merupakan kerja sesungguhnya aparat hukum Indonesia
dalammemberantas terorisme, sekaligus smber instabilitas politik dan
keamanan di negeri ini.
Strategi dan paradigma lama
intelejen dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan Indonesia
diterapkan sejak era militer Soeharto (Orde Baru) tahun 1968. Rekayasa
intelejen dijalankan dengan sasaran utama kekuatan politik Islam baik
yang berlatar belakang eks Masyumi maupun eksponen NII melalui program
pemecah-belahan. Inilah yang terus terjadi dan berlangsung hingga
sekarang.
Konsep rekayasa intelejen tersebut perlu
diingatkan kepada partai politik, organisasi pergerakan maupun
masyarakat umum, dan siapa saja orang di negeri ini agar mereka
mengetahui skenario busuk intelijen Indonesia terhadap Islam dan kaum
muslimin. Karena konsep intelejen yang diterapkan melalui tipu muslihat
dan strategi politik intelejen seperti penggalangan, rekrutmen,
pembinaan serta penugasan dan pembinasaan itulah yang dahulu dijalankan
terhadap kader-kader muda Masyumi maupun mantan komandan NII melalui
komitmen dan dalih untuk mensukseskan Pemilu 1971, sekaligus menghadapi
bahaya laten komunisme. Sehingga partai dan gerakan yang muncul dan
eksis adalah yang terkendali, sedang partai dan gerakan ideologis
justru mati suri.
Rekayasa kebangkitan Neo NII bentukan
BAKIN (badan intelijen negara, sekarang BIN) dilakukan dalam rangka
menghadapi gerakan NII ideologis yang terus bergerak dan berusaha
survive yang dimotori oleh sayap sipil NII seperti Kadar Shalihat,
Djadja Sudjadi, Abdullah Munir dan lainnya, dengan menamakan diri
sebagai gerakan NII Fillah.
Tokoh-tokoh kelompok NII yang
dikhawatirkan Orde Baru itu pada akhirnya dibantai dengan meminjam
tangan komunitas NII sendiri, baik dari kubu Adah maupun kubu Ajengan
Masduqi yang terjebak dalam provokasi dan skenario intelejen.
Jasa
membantai kelompok inti NII inilah yang membuat kubu Ajengan Masduqi
tidak pernah diusik keberadaannya hingga sekarang, sekali pun Polri
banyak menemukan data dan bukti berupa senpi (senjata api) maupun kasus
perampokan.
Politik “ulur tangan” atau proses penggalangan
terhadap sisa-sisa laskar NII misalnya, oleh sisa-sisa laskar
pemberontak itu tidak berusaha kritis dan waspada terhadap niatan apa
sesungguhnya yang ada di balik kebijakan ulur tangan intelejen tersebut,
niat ishlah ataukah konspirasi atas pengesahan hubungan baik tersebut.
Kebijakan
politik kooptasi, konspirasi dan kolaborasi rekayasa intelejen (galang,
rekrut, bina, tugaskan, dan binasakan) terhadap gerakan NII tersebut
terus berlanjut dari tahun 1975 sampai saat sekarang. Bahkan sisa-sisa
laskar NII saat itu percaya dan sadar menerima jebakan Ali Murtopo untuk
melakukan konsolidasi kekuatan bagi bangkitnya kembali organisasi NII.
Kooptasi tersebut diketahui terjadi karena atas jaminan Danu Moh. Hasan yang tercatat sebagai mantan panglima divisi gerakan DI/TII yang telah lebih dahulu direkrut dan dibina Ali Murtopo sudah lama bergabung atau diberdayakan di lembaga formal Bakin.
Namun
secara lebih jauh Danu malah “mempromosikan” Ali Murtopo melalui
argumen bahwa masa lalu Ali Murtopo sebagai mantan Hizbullah
memanggilnya untuk kembali menjadi Mujahid (padahal Ali Murtopo sejak
awal tidak pernah sedetik pun menjadi anggota Hizbullah, tetapi malah
sebagai aktivis dan kader militan Pesindo).
Menurut
penjelasan Danu Moh. Hasan secara sangat meyakinkan kepada para mantan
komandan DI/TII, tentang tekad Ali Murtopo yang sudah siap untuk tobat
serta kembali bergabung dengan Islam dan siap pula berlanjut kepada
upaya menyusun kekuatan untuk kembali melawan rezim militer Soeharto
yang kuffar dan zalim saat itu sekaligus dalam rangka mengambil alih
kekuasaan.
Bila masalah itu dirunut, penyusupan para
infiltran kader intelejen militer ke dalam gerakan umat Muslim Indonesia
yang berlangsung sejak Orde Baru di bawah Soeharto dan Ali Moertopo
maka proyek pembusukan dalam tubuh gerakan organisasi NII untuk pertama
kalinya melalui keberhasilan Ali Moertopo dalam merekrut and membina
Danu Moh. Hasan and Ateng Djaelani sebagai agen Bakin yang akhirnya
memunculkan kasus Komando Jihad di Jawa Timur pada tahun 1977.
Penangkapan
diri Danu sendiri baru berlangsung sekitar tahun 1979, selanjutnya
melalui sidang pengadilan divonis 10 tahun dan bebas pada tahun 1987,
namun sampai di rumah, meninggal akibat racun arsenikum. Entah siapa
yang meracunnya, barangkali memang intelijen.
Selanjutnya
intelejen militer berhasil membina dan menyusupkan Hasan Baw ke dalam
gerakan Warman, yang saat itu bersama-sama dengan Abdullah Umar dan
Farid Ghazali tahun 1978/1979. Namun ia berhasil dieksekusi oleh Farid
Ghazali. Farid sendiri akhirnya tewas oleh aparat keamanan tahun 1982.
Tahun
1981 Bakin kembali menyusupkan salah satu anggota kehormatan intelnya
(berbasis Yon Armed) bernama Najamuddin, ke dalam gerakan Jama’ah Imran.
Melalui aksi provokasi dengan menyerahkan setumpuk dokumen rahasia
militer dan CSIS yang berisi rencana jahat ABRI (sekarang TNI) terhadap
Islam dan umat Islam.
Pada akhirnya berkat pembusukan dan
pematangan kondisi dan situasi melalui kinerja intel Najamuddin,
rekayasa tersebut berhasil memicu aksi radikal ekstrem dalam wujud
kekerasan bersenjata kelompok ini. Padahal modal awal senjata itu pun
hasil pemberian Najamuddin, dan terjadilah penyerangan terhadap Polsek
Cicendo, Bandung. Kemudian berlanjut dengan aksi pembajakan pesawat
Garuda Woyla setelah sebelumnya kelompok ini berhasil menghabisi karir
dan nyawa Najamuddin, yang tercatat resmi sebagai anggota intelejen
Bakin tersebut.
Tahun 1983 Ali Moertopo mati mendadak,
entah apa penyebabnya, mungkin dibunuh juga, entah oleh siapa pula.
Namun ia telah berhasil mengkader banyak penerus, beberapa kader Ali
Moertopo yang paling menonjol. Yang paling berani adalah LB Moerdani,
Try Soetrisno, dan AM Hendropriyono.
Proyek awal LB
Moerdani yang diajukan kepada Soeharto (presiden saat itu) adalah
menciptakan stimulus dan prakondisi atas segera diberlakukannya asas
tunggal Pancasila yang banyak mendapatkan tentangan dan penolakan
kalangan tokoh Islam.
Pancingan dan pematangan oleh
intelijen (BAKIN, BAIS, dan BIA) maupun penguasa teritori militer
terang-terangan menyulut kemarahan umat melalui sikap kurang ajar dan
tidak terpuji aparat teritori (anggota Babinsa Koramil) yang
mengguyurkan air comberan dan sengaja masuk ke dalam Musola tanpa
melepas sepatu laras kotornya, di samping mengumbar kalimat jorok dan
menantang umat Islam, yang mengakibatkan dibakarnya motor aparat
teritori tersebut.
Insiden itulah yang berlanjut dan
memicu terjadinya drama pembantaian umat Islam di Tanjung Priok pada 12
September 1984, yang diawali dengan penangkapan beberapa jamaah musola,
berlanjut dengan munculnya reaksi tokoh-tokoh PTDI (Perguruan Tinggi
Dakwah Islam) kemudian disusul Amir Biki (tokoh masyarakat Priok)
menggelar tabligh akbar yang panas. Suasana semakin menanas. Namun,
justru itulah yang diinginkan oleh rezim militer pada saat itu.
Umat
Islam hanya bermodal semangat dan pekik takbir menuntut pembebasan
anggota jamaah musolla yang ditahan aparat. Namun mereka dihadapi
persiapan tempur dengan kekuatan penuh oleh rezim militer, langsung di
bawah komando Pangdam Jaya Try Soetrisno dan Panglima ABRI, LB Moerdani.
Momentum ini dimanfaatkan untuk menciduk dan memenjarakan banyak
aktivis Islam melalui penyusupan kembali informan dalam rangka
inventarisasi jaringan aktivis Islam seluruh Indonesia.
Pada tahun 1986 intelijen berhasil kembali menyusupkan agen sipilnya Syahroni dan Syafki (mantan preman Blok M) dalam gerakan Usrah NII pimpinan Ibnu Thayyib yang menghasilkan lebih 15 orang NII masuk penjara.
Dimunculkannya
kasus Lampung oleh rezim intel Orba Soeharto tahun 1989, bertujuan
mengaitkan dan menjerat posisi Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir.
Berdasarkan skenario intelijen, Adullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir
yang berada di Malaysia sedang terlibat rencana kekerasan di Indonesia
dan telah terhubung melibatkan jaringan mujahidin internasional. Isu
saat itu dikaitkan dengan nama Abdullah Abdu Rasul Sayyaf, salah satu
tokoh dan petinggi mujahidin Afghanistan yang diberitakan siap memasok
persenjataan atas permintaan dan jaminan Abdullah Sungkar di Malaysia.
Inilah isu yang dibawa Nurhidayat dan Sudarsono, dua tokoh provokator kasus Talangsari, Way Jepara tahun 1988, hingga kini kedua tokoh provokator kasus Lampung tersebut masih tetap dalam link intelejen.
Kasus
Cihideung, Talangsari, Way Jepara, Lampung inilah salah satu kader
intelejen militer yang masih bertugas di Kodam Jaya Letkol AM
Hendropriyono telah disiapkan menjadi Komandan Korem Garuda Hitam,
Lampung untuk melibas habis gerakan Warsidi dan menjadikannya sebagai
proyek prestasi menuju pangkat bintang.
Pada tahun 1986 pihak intelejen juga merekrut kembali Prawoto alias Abu Toto,
kader muda NII bentukan Ali Moertopo yang sedang buron dan berada di
luar negeri bagian Sabah Malaysia untuk disusupkan kembali ke dalam
gerakan NII-LK (Lembaga Kerasulan) pada tahun 1987. Pada saat itu LK di
bawah kepemimpinan Abdul Karim Hasan.
Konon katanya
melalui Jenderal purnawirawan Himawan Sutanto yang saat itu menjadi
atase atau pejabat KBRI di Malaysia dan yang juga menggalang sisa-sisa
laskar NII untuk dikooptasi secara resmi oleh militer di Kodam
Siliwangi tahun 1974-75 di mana saat itu Himawan Sutanto adalah selaku
Pangdamnya.
Masuknya kembali Abu Toto mampu mempengaruhi
dan meyakinkan Abdul Karim Hasan untuk kembali kepada manhaj NII dan
sekaligus menggerogoti dan membusukkan kultur, doktrin dan struktur
organisasi serta sistem kewilayahan NII.
Arsip media massa
tahun 1994, Harian Republika, Kompas dan Pos Kota memberitakan sikap
dan statemen kedua petinggi ABRI saat itu, sekali pun posisi dan
keberadaan Abu Toto tidak secara terang-terangan dilindungi atau
dimunculkan. Tetapi justru pada tahun itulah keberadaan gerakan NII KW
IX pimpinan Abu Toto memperoleh suntikan dana triliyunan rupiah untuk
proyek pembangunan pesantren Al Zaytun. Demikian pula kedekatan Abu Toto
dengan ICMI dan BPPT. (Baca buku Pesantren Al Zaytun Sesat? dan Al
Zaytun Gate karya Umar Abduh).
Antara tahun 1996-1998
kebijakan intelejen militer memutar modus dan haluannya, dari represif
menjadi seakan toleran, bahkan terkesan sangat akomodatif. Padahal yang
terjadi dalam global plan militer justru sedang menerapkan strategi dan
jurus “menebar angin menuai badai” ke seluruh strata masyarakat.
Gerakan
intelejen yang ditebar ke segala arah, dalam rangka membuat kesan baik
kepada publik tentang paradigma militer masa lalu yang sulit dielakkan
dari kesan buruk dan absurditas maupun kekejaman politik otoritarian
terhadap rakyat harus mulai ditinggalkan. Peta dan medan gerakan
strategis intelejen militer sejak tahun 1996-2001 justru makin melebar
baik radius maupun spektrumnya demi mempercepat proses pembusukan
tersebut di seluruh gerakan Islam.
Seluruh perlawanan
ummat Muslim, baik yang dengan atau tanpa kekerasan semua di bawah
pengetahuan, kontrol dan provokasi intelejen militer. Kasus GPI, Woyla,
Priok, Lampung, Aceh, Mataram, Pamswakarsa, Kupang, Ambon, Bom Istiqlal,
Bom Natal dan Poso serta yang lain termasuk seperti perpecahan ormas
dan partai Islam secara keseluruhan selalu melibatkan infiltran militer
intelejen. Hal yang sama sekali tidak disadari umat Muslim maupun para
politisi Indonesia (demikian pula halnya oleh masyarakat internasional).
Hanya dengan dalih dan statement, di antara mereka ada yang mengaku
sebagai militer hijau atau militer yang selalu membawa nama dan suara
serta jargon Islam atau keberpihakan moral terhadap problematika yang
menimpa ummat serta mengajak bekerjasama menghadapi potensi ancaman
musuh politik ideologis, maka kalangan Islam menjadi terpesona dan
akhirnya terpedaya dan bersedia melakukannya.
Selanjutnya
rekayasa politik dan intelejen selalu memberi peluang dan kesempatan
untuk memancing munculnya reaksi dalam bentuk sikap ketidak-puasan yang
berujung perlawanan sporadis dari ummat Muslim, namun dengan serta merta
dilibas secara tidak manusiawi dan sangat tidak seimbang.
Melihat
modus pembusukan dan penggembosan gerakan Islam oleh intelejen seperti
ini, masyarakat sangat membutuhkan data dan informasi yang lebih banyak
lagi baik dalam kuantitas maupun kualitas yang bersifat investigatif.
Dengan harapan suatu saat akan ada pihak yang mampumerangkumnya menjadi
sebuah buku yang lebih baik, lengkap dan akurat.
Sekalipun
tetap harus menyadari bahwa informasi data intelejen tersebut tidak
mungkin bisa diperoleh oleh masyarakat, partai, pergerakan, apalagi
masyarakat umum, dalam bentuk dokumen terulis, kecuali beberapa kasus
atau person yang berhasil terangkap tangan, seperti kasus intelejen
Najamuddin yang surat tugasnya berhasil didapatkan setelah beberapa
anggota kelompok Imran sukses mengakhiri hidup Najamuddin.
Wallohu a'lam.