Kamis, 24 November 2011

Mengingkari dan Menentang Kewajiban Menegakkan Khilafah

Persoalan ini adalah persoalan yang tidak sepele. Persoalan ini harus benar-benar dipecahkan agar seseorang tidak jatuh ke dalam konsep takfir (mudah mengkafirkan orang lain). Mengapa? Sebab, hakikatnya, kafir tidaknya seseorang sangat berkaitan dengan akidah (keyakinan) seorang muslim.

Kita semua telah mengetahui bahwa khilafah adalah wajib adanya. Hal ini telah ditegaskan dalam banyak dalil, antara lain:

1.   Nash-nash Alquran
Di dalam Alquran ada banyak sekali perintah untuk menjalankan sanksi hukum, seperti: potong tangan bagi pencuri (QS. Al Maidah: 38), hukum cambuk bagi orang yang berzina (QS. An Nur: 2), penerapan rajam dan qishash (QS. Al Baqarah: 178), dan masih banyak yang lainnya. Hal tersebut hanya bisa dijalankan jika ada negara yang menerapkannya. Negara apa? Tidak lain sebuah negara yang menerapkan syariat Islam secara total, bukan setengah-setengah. Tidak lain negara itu adalah negaranya Rasulullah saw., yaitu negara khilafah Islam. Kaidah ushul menyatakan, “Maa laa yatimmul waajibu illaa bihi fahuwa waajib/Sebuah kewajiban yang tidak sempurna dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu juga menjadi wajib adanya.” Jika penerapan syariat Islam tidak akan sempurna tanpa adanya sebuah negara, maka mendirikan negara (yang menerapkan syariah Islam) itu juga wajib adanya.

2.   Hadis
Begitu banyak hadis yang mewajibkan agar orang melakukan baiat dan mencela orang yang tidak membaiat khalifah atau melepaskan baiat terhadap khalifah, antara lain, “Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan, maka kelak di hari akhir ia akan bertemu dengan Allah swt tanpa memiliki hujjah.  Barangsiapa mata, sedangkan di lehernya tidak ada bai’at maka, matinya seperti mati jahiliyyah. (HR. Muslim), “Barangsiapa yang membenci sesuatu dari tindakan penguasanya, hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya orang yang meninggalkan penguasanya walupun hanya sejengkal, maka ia mati seperti mati di jaman jahiliyyah. (Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin), dan “Barangsiapa yang membenci sesuatu dari tindakan penguasanya, hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya orang yang meninggalkan penguasanya walupun hanya sejengkal, maka ia mati seperti mati di jaman jahiliyyah. (HR. Bukhari dan Muslim)

3.   Ijmak sahabat
Ijmak sahabat telah menyatakan bahwa wajib mengangkat pengganti Rasulullah saw. untuk mengurusi urusan umat dan menerapkan hukum Syariat. Lihatlah bagaimana sikap Abu Bakar ketika Rasulullah wafat. Beliau menyatakan, “Ingat, Muhammad memang telah meninggal, sedangkan urusan agama ini tetap harus ada yang menjalankannya.” Pada saat itu, tidak ada satu pun sahabat yang menolak perkataan Abu Bakar. Ini merupakan kesepakatan para sahabat tentang wajibnya mengangkat satu kepemimpinan untuk menjalankan urusan agama (menerapkan syariat Islam).

Tidak hanya itu. Bahkan semua ulama, baik dari kalangan Ahlussunnah, Syiah, Khawarij (kecuali sekte An Najadat) dan Muktazilah (kecuali sekter Al Asham dan Fuwathi) telah menyepakati bahwa kepemimpinan tunggal yang disebut imam itu wajib adanya. Pandangan mereka bisa ditemukan dalam kitab-kitab seperti Ghayatul Maram karya Imam Al Amidi, Siyasah Syar’iyah karya Ibnu Taimiyah, dan Ma’atsirul Inafah fi Ma’alimul Khilafah karya Al Qalqasyandi. Juga dalam banyak kitab lainnya. Imam Ibnu Abidin menyebut kewajiban menegakkan khilafah (imamah) adalah kewajiban paling agung.

Para ulama juga tidak berbeda pendapat bahwa hukum menegakkan khilafah adalah fardu kifayah. Akan tetapi, Imam Asy Syathibi dalam kitab Al Muwafaqat menyatakan bahwa statusnya sebagai hukum yang terkait dengan orang maupun hukum lain, maka fardu kifayah tersebut harus diberlakukan secara umum kepada semua orang mukallaf (yang telah terbebani hukum), agar kondisi umum (yang menyempurnakan orang maupun hukum secara khusus, dalam hal ini fardhu ‘ain) bisa tetap tegak. Bagian fardu kifayah ini sesungguhnya menyempurnakan fardu kifayah sehingga status keduanya sama-sama dharuri (sangat penting).

Imam Asy Syathibi juga menegaskan bahwa hukum fardu kifayah itu pada umumnya disyariatkan untuk hal-hal yang memiliki kaitan dengan kemashlahatan umum. Beliau mencontohkan tentang khilafah, wizarah (pembantu khalifah), niqabah (perwakilan para pemuka dalam majelis ummah), qadha’ (peradilan), imamah salat (kepemimpinan salat), jihad, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut jika diasumsikan tidak ada, atau orang meninggalkannya maka sistem kehidupan akan menjadi berantakan.

Oleh karena itu beliau menegaskan bahwa setiap mukallaf tetap dituntut agar fardu tersebut tetap ditunaikan. Sebagian ada yang mampu sehingga dia berkwajiban menunaikannya. Tetapi bagia sebagian yang lain, sekalipun tidak mampu menunaikannya, tetap berusaha agar menghadirkan orang-orang yang mampu.

Lalu jika khilafah ini adalah bagian dari hukum syariah yang berkaitan dengan kemashlahatan umat, bagaimana status orang yang mengingkarinya atau berusaha menghalangi tegaknya khilafah?

1)  Imam Ibnu Abidin dalam kitab Syarhul Maniyyah menyebut orang yang mengingkari kefarduan adanya khilafah sebagai mubtadi’ yukaffaru biha atau ahli bid’ah yang kebid’ahannya bisa menyebabkan dirinya jatuh ke dalam kekafiran. Namun sebagian memilih sikap berhati-hati (ikhtiyath), tidak mau mengkafirkannya.

2)  Jika meninggalkan kewajiban menegakkan khilafah ini, jelas hal itu merupakan perbuatan haram dan orang yang meninggalkannya berdosa. Tetapi, tetap harus dibedakan dengan orang yang tidak melakukan penegakkan khilafah itu karena tidak tahu cara mendirikannya. Orang yang tidak berjuang menegakkan khilafah itu ada dua, yaitu ulama dan orang awam. Bagi orang awam, kesalahannya bisa saja diampuni. Mengapa? Sebab, tata cara tersebut memang belum pernah dirumuskan oleh ulama-ulama sebelumnya, dan untuk itu perlu ijtihad baru tentang hal ini. Tetapi bagi ulama, hal seperti ini bisa mengakibatkan dirinya berdosa. Sebab, dia adalah ahli ilmu yang memiliki kewajiban untuk menggali tata cara menegakkan khilafah.

Wallahu a’lam.

Wajibnya Menegakkan Khilafah

Allah berfirman,
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.' Mereka berkata, 'Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau?' Tuhan berfirman, 'Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. (QS. Al Baqarah: 30)

Kata khalifah berarti suatu pihak yang menggantikan pihak lainnya, menempati kedudukannya, dan mewakili urusannya. Secara bahasa, seluruh mufassirin sepakat, bahwa yang dimaksud dengan khalifah di sini adalah Adam as. (Al Baidhawi, Anwarut Tanzil; Al Baidhawi Al Ma'alimut Tanzil)

Namun, di antara mereka terdapat beberapa pendapat tentang: Khalifah (pengganti) bagi siapakah Adam itu?

Pertama:
Khalifah bagi jin. Sebab, sebelum manusia diciptakan penghuni bumi adalah para jin. Namun karena mereka banyak berbuat kesalahan dan kerusakan, Allah mengutus para malaikat untuk mengusir mereka. Setelah mereka disingkirkan ke daerah-daerah pinggiran seperti laut dan gunung, Adam diciptakan untuk menggantikan posisi para jin itu (Ath Thabari, Jami'ul Bayan fi Ta'wilul Quran; Az Zuhaili, At Tafsirul Munir).

Kedua:
Khalifah bagi malaikat. Sebab setelah berhasil menyingkirkan jin, malaikatlah yang tinggal di bumi. Jadi, Adam adalah khalifah bagi malaikat. Ini adalah pendapat Asy Syaukani, An Nasafi, dan Al Wahidi (Asy Syaukani, Fathul Qadir; An Nasafi, Madarikut Tanzil wa Haqaiqut Ta'wil).

Ketiga:
Disebut khalifah, sebab mereka menjadi kaum yang sebagiannya menggantikan yang lainnya. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Katsir. Pendapat ini didasarkan pada QS. Al An'am: 165, An Naml: 62, Az Zukhruf: 6, dan Maryam: 59 (Ibnu Katsir, Tafsir Al Quranul Azhim; Al Qasimi, Mahasinut Ta'wil).

Keempat:
Adam adalah khalifah bagi Allah dibumi untuk menegakkan hukum-hukum-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya. Pendapat ini dipilih oleh Al Baghawi, Al Alusi, Al Qinuji, Al Ajili, Ibnu Juzyi, dan Asy Syanqithi. (Al Baghawi, Al Ma'alimut Tanzil; Al Alusi, Ruhul Ma'ani; Al Qinuji, Fathul Bayan; Al Ajili, Al Futuhatul Islamiyah; Asy Syanqithi, Adhwa'ul Bayan)
Status ini bukan hanya disandang oleh Adam, tetapi seluruh para nabi. Mereka semua dijadikan sebagai pengganti dalam memakmurkan bumi, mengatur dan mengurus manusia, menyempurnakan jiwa mereka, dan menerapkan perintah-Nya kepada manusia (Al Alusi, Ruhul Ma'ani; Al Baidhawi, Anwarut Tanzil). Menurut Al Qasimi, kesimpulan ini didasarkan pada QS. Shad: 26.

Dalam ayat tersebut terdapat kata fasad. Fasad berarti kerusakan. Kerusakan di bumi itu adalah akibat kekufuran dan segala tindakan maksiat (lihat Al Jazairi, Aysarut Tafasir). Adapun yang dimaksud dengan menumpahkan darah adalah pembunuhan yang dilakukan tanpa alasan yang syar'i.

Dari manakah para malaikat mengetahui sifat-sifat buruk manusia itu, padahal manusia belum diciptakan? Pengetahuan itu berasal dari pemberitahuan Allah swt., bisa pula dari Lauhul Mahfudz, atau berdasarkan analogi terhadap sifat para jin yang sebelumnya menghuni bumi (An Nasafi, Madarikut Tanzil; Al Qinuji, Fathul Bayan; Al Ijili, Al Futuhatul Islamiyah).

Bisa juga dari pemahaman mereka terhadap tabiat basyariyah, yang sebagiannya telah diceritakan Allah sw., bahwa mereka diciptakan dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk (QS. Al Hijr: 26); atau dari pemahaman mereka dari kedudukan khalifah yang bertugas menyelesaikan kezaliman yang terjadi di antara manusia dan mencegah manusia dari perkara haram dan dosa (Al Qasimi, Mahasinut Ta’wil).

Kedudukan manusia sebagai khalifah telah mewajibkan manusia untuk memutuskan dan menerapkan perkara-perkara kehidupan dengan hukum-hukum Allah swt. Untuk itu Allah mengutus nabi dan rasul. Mereka semua diutus untuk menyampaikan kepada manusia risalah-Nya yang juga berisi hukum-hukum untuk diterapkan.

Berdasarkan hal tersebut, Al Qurthubi menyatakan bahwa ayat ini menjadi asal atau pokok bagi wajibnya mengangkat imam yang didengar dan ditaati, untuk menyatukan kalimat, dan menerapkan hukum-hukum-Nya, apalagi dengan adanya ijmak sahabat di Saqifah Bani Saidah yang sesegera mungkin mengangkat khalifah (pengganti) Rasulullah saw. untuk memimpin umat, daripada mengebumikan jenazah Rasulullah saw., padahal menyegerakan jenazah adalah hal yang sangat dianjurkan Rasulullah saw. (Al Qurthubi, Al jami’ li Ahkamul Quran).

Wallahu A’lam..

Intelijen dan Fitnahnya Terhadap Umat Islam

Berikut ini adalah Pendahuluan dari buku Konspirasi Intelijen dan Gerakan Islam Radikal. Buku ini disunting oleh Umar Abduh. Pendahuluan ini ditulis oleh Umar Abduh sendiri. Buku ini diterbitkan oleh Center for Democracy and Social Justice Studies, dan diterbitkan pada tahun 2003 pada cetakan pertamanya.

Keberadaan Jama’ah Islamiyah dan jaringannya telah terungkap seiring dengan banyaknya anggota jaringan Jama’ah Islamiyah ditangkap kepolisian Indonesia, seperti dituturkan para personilnya di hadapan pimpinan MUI KH Amidhan dan Ormas Pemuda KNPI diwakili Idrus Marham dan Naufal mewakili Laskar Hizbullah, selanjutnya pernyataan resmi tersebut disosialisasikan melalui konferensi pers pada hari Jum’at, 19 September 2003 yang intinya menjelaskan:

Jama’ah Islamiyah adalah organisasi riil, dirintis Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir sejak 1992 dengan cikal bakal basis gerakan Darul Islam atau NII (Negara Islam Indonesia) dan dinyatakan resmi berdiri tahun 1996 di Malaysia. Mereka mengakui memiliki hubungan dengan Osama bin Laden, Mujahidin Afghanistan dan Moro selama kurun waktu 1985-2000 dalam hal ideologis, dan bukan dalam struktur organisasi; demikian pula keterlibatan mereka dalam konflik Maluku, Ambon, dan Poso.

Struktur organisasi JI  meliputi wilayah Malaysia, Brunei, Filipina dan Indonesia; terbagi dalam tiga Mantiqi. Mantiqi I meliputi wilayah Malaysia, Brunei dan Singapura. Mantiqi II meliputi Filipina, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Mantiqi III meliputi Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara Timur dan Barat. Serta, Mantiqi Ukhra (lain).

Namun dalam kurun waktu empat tahun terakhir pasca wafatnya Abdullah Sungkar, terjadi perpecahan dalam tubuh Jama’ah Islamiyah.

Faksi pertama adalah  faksi ideologis (tetap dalam garis khittah PUJI/Pedoman Umum Jama’ah Islamiyah dengan format dakwah dan jihad), dengan struktur gerakan bersifat klandestein atau di bawah permukaan, di bawah kepemimpinan Abu Rusydan, tercatat sejak Abu Bakar Ba’asyir bersedia menjadi Amir MMI tahun 2000.

Faksi kedua adalah  faksi moderat dengan struktur organisasi terbuka dan format gerakan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) berbasis  anggota heterogen (bervariasi dan tidak melulu mantan mujahidin Afghan, Moro, Ambon dan Poso) dipimpin oleh Abu Bakar Ba’asyir.

Faksi ketiga adalah JI faksi liar, radikal dan ekstrem yang terlibat dalam aksi kekerasan bom Kedubes Filipina, Natal 2000, Legian Bali dan Marriott Jakarta, di bawah komando Hambali dan Zulkarnaen.

Hambali dan Zulkarnaen tercatat sebagai Ketua Mantiqi I. Namun sejak terlibat konflik Ambon tahun 1999 dan terjerat kooptasi intelijen di bawah seorang anggota intel yang bernama Abdul Haris, Abu Dzar dan Al Faruq, Hambali dan kawan-kawan berusaha menyeret konflik Ambon dan Poso ke Jawa dan ibukota Jakarta dan berusaha melibatkan teman sejawatnya dan merusak struktur disiplin di Mantiqi II, III, dan yang lain untuk melancarkan aksi jihad melawan Amerika dan antek-anteknya.

Sayang, baik faksi Abu Rusydan maupun Ba’asyir hanya mengambil sikap berlepas diri  (tabarra’) terhadap kiprah Hambali dan Zulkarnaen yang indisipliner dan keluar dari khittah PUJI tersebut.

Faksi JI ideologis dan moderat tidak mencermati dan melakukan kewaspadaan terhadap potensi dan kemungkinan buruk maupun dampak petualangan faksi Hambali yang ternyata telah masuk dalam jebakan jaring-jaring intelejen seperti Abdul Haris “Donnie Brasco”, Abu Jihad, Abu Dzar, Al Faruq dan sebagainya. Kini, suka atau tidak mereka telah terkena akibat buruk hasil penetrasi dan permainan intelejen negara yang tidak mampu mereka waspadai dan perhitungkan, yang ternyata membelit habis seluruh gerakan Islam.

Faksi Hambali-Zulkarnaen yang liar dan terindikasi kuat terlibat jaringan intelejen ini dinyatakan memiliki hubungan dengan Osama bin Laden. Termasuk pernyataan mereka yang membenarkan posisi Ba’asyir sebagai Amir JI dan mengangkat serta membai’at Sukiman sebagai Wakalah III pada tahun 2001.

Hal ini menunjukkan bahwa ketiga faksi JI di atas masing-masing memiliki struktur organisasi Mantiqi yang sama dalam istilah, namun beda dalam personil. Sebagai bukti, wakalah III faksi Abu Rushdan saat ini bernama Fahim.

Terbongkarnya jaringan organisasi gerakan Jama’ah Islamiyah oleh Kepolisian Republik Indonesia yang subyek pelaku atau anggotanya ternyata masyoritas warga dan bangsa Indonesia, menyisakan misteri dan tuduhan yang mengemuka selama ini belum terungkap. Keberhasilan polisi juga menyisakan pertanyaan besar, karena muatan politik dan rekayasa intelejen yang melatari belum dan tidak disentuh. Padahal mencari akar masalah dan sumbu terorisme merupakan kerja sesungguhnya aparat hukum Indonesia dalammemberantas terorisme, sekaligus smber instabilitas politik dan keamanan di negeri ini.

Strategi dan paradigma lama intelejen dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan Indonesia diterapkan sejak era militer Soeharto (Orde Baru) tahun 1968. Rekayasa intelejen dijalankan dengan sasaran utama kekuatan politik Islam baik yang berlatar belakang eks Masyumi maupun eksponen NII melalui program pemecah-belahan. Inilah yang terus terjadi dan berlangsung hingga sekarang.

Konsep rekayasa intelejen tersebut perlu diingatkan kepada partai politik, organisasi pergerakan maupun masyarakat umum, dan siapa saja orang di negeri ini agar mereka mengetahui skenario busuk intelijen Indonesia terhadap Islam dan kaum muslimin. Karena konsep intelejen yang diterapkan melalui tipu muslihat dan strategi politik intelejen seperti penggalangan, rekrutmen, pembinaan serta penugasan dan pembinasaan itulah yang dahulu dijalankan terhadap kader-kader muda Masyumi maupun mantan komandan NII melalui komitmen dan dalih untuk mensukseskan Pemilu 1971, sekaligus menghadapi bahaya laten komunisme. Sehingga partai dan gerakan yang muncul dan eksis adalah yang  terkendali, sedang partai dan gerakan ideologis justru mati suri.

Rekayasa kebangkitan Neo NII bentukan BAKIN (badan intelijen negara, sekarang BIN) dilakukan dalam rangka menghadapi gerakan NII ideologis yang terus bergerak dan berusaha survive yang dimotori oleh sayap sipil NII seperti Kadar Shalihat, Djadja Sudjadi, Abdullah Munir dan lainnya, dengan menamakan diri sebagai gerakan NII Fillah.

Tokoh-tokoh kelompok NII yang dikhawatirkan Orde Baru itu pada akhirnya dibantai dengan meminjam tangan komunitas NII sendiri, baik dari kubu Adah maupun kubu Ajengan Masduqi yang terjebak dalam provokasi dan skenario intelejen.

Jasa membantai kelompok inti NII inilah yang membuat kubu Ajengan Masduqi tidak pernah diusik keberadaannya hingga sekarang, sekali pun Polri banyak menemukan data dan bukti berupa senpi (senjata api) maupun kasus perampokan.

Politik “ulur tangan” atau proses penggalangan terhadap sisa-sisa laskar NII misalnya, oleh sisa-sisa laskar pemberontak itu tidak berusaha kritis dan waspada terhadap niatan apa sesungguhnya yang ada di balik kebijakan ulur tangan intelejen tersebut, niat  ishlah ataukah konspirasi atas pengesahan hubungan baik tersebut.

Kebijakan politik kooptasi, konspirasi dan kolaborasi rekayasa intelejen (galang, rekrut, bina, tugaskan, dan binasakan) terhadap gerakan NII tersebut terus berlanjut dari tahun 1975 sampai saat sekarang. Bahkan sisa-sisa laskar NII saat itu percaya dan sadar menerima jebakan Ali Murtopo untuk melakukan konsolidasi kekuatan bagi bangkitnya kembali organisasi NII.

Kooptasi tersebut diketahui  terjadi karena atas jaminan Danu Moh. Hasan yang tercatat sebagai mantan panglima divisi gerakan DI/TII yang telah lebih dahulu direkrut dan dibina Ali Murtopo sudah lama bergabung atau diberdayakan di lembaga formal Bakin.

Namun secara lebih jauh Danu malah “mempromosikan” Ali Murtopo melalui argumen bahwa masa lalu Ali Murtopo sebagai mantan Hizbullah memanggilnya untuk kembali menjadi Mujahid (padahal Ali Murtopo sejak awal tidak pernah sedetik pun menjadi anggota Hizbullah, tetapi malah sebagai aktivis dan kader militan Pesindo).

Menurut penjelasan Danu Moh. Hasan secara sangat meyakinkan kepada para mantan komandan DI/TII, tentang tekad Ali Murtopo yang sudah siap untuk tobat serta kembali bergabung dengan Islam dan siap pula berlanjut kepada upaya menyusun kekuatan untuk kembali melawan rezim militer Soeharto yang kuffar dan zalim saat itu sekaligus dalam rangka mengambil alih kekuasaan.

Bila masalah itu dirunut, penyusupan para infiltran kader intelejen militer ke dalam gerakan umat Muslim Indonesia yang berlangsung sejak Orde Baru di bawah Soeharto dan Ali Moertopo maka proyek pembusukan dalam tubuh gerakan organisasi NII untuk pertama kalinya melalui keberhasilan Ali Moertopo dalam merekrut and membina Danu Moh. Hasan and Ateng Djaelani sebagai agen Bakin yang akhirnya memunculkan kasus Komando Jihad di Jawa Timur pada tahun 1977.

Penangkapan diri Danu sendiri baru berlangsung sekitar tahun 1979,  selanjutnya melalui sidang pengadilan divonis 10 tahun dan bebas pada tahun 1987, namun sampai di rumah, meninggal akibat racun arsenikum. Entah siapa yang meracunnya, barangkali memang intelijen.

Selanjutnya intelejen militer berhasil membina dan menyusupkan Hasan Baw ke dalam gerakan Warman, yang saat itu bersama-sama dengan Abdullah Umar dan Farid Ghazali tahun 1978/1979. Namun ia berhasil dieksekusi oleh Farid Ghazali. Farid sendiri akhirnya tewas oleh aparat keamanan tahun 1982.

Tahun 1981 Bakin kembali menyusupkan salah satu anggota kehormatan intelnya (berbasis Yon Armed) bernama Najamuddin, ke dalam gerakan Jama’ah Imran. Melalui aksi provokasi dengan menyerahkan setumpuk dokumen rahasia militer dan CSIS yang berisi rencana jahat ABRI (sekarang TNI) terhadap Islam dan umat Islam.

Pada akhirnya berkat pembusukan dan pematangan kondisi dan situasi melalui kinerja intel Najamuddin, rekayasa tersebut berhasil memicu aksi radikal ekstrem dalam wujud kekerasan bersenjata kelompok ini. Padahal modal awal senjata itu pun hasil pemberian Najamuddin, dan terjadilah penyerangan terhadap Polsek Cicendo, Bandung. Kemudian berlanjut dengan aksi pembajakan pesawat Garuda Woyla setelah sebelumnya kelompok ini berhasil menghabisi karir dan nyawa Najamuddin, yang tercatat resmi sebagai anggota intelejen Bakin tersebut.

Tahun 1983 Ali Moertopo mati mendadak, entah apa penyebabnya, mungkin dibunuh juga, entah oleh siapa pula. Namun ia telah berhasil mengkader banyak penerus, beberapa kader Ali Moertopo yang paling menonjol. Yang paling berani adalah LB Moerdani, Try Soetrisno, dan AM Hendropriyono.

Proyek awal LB Moerdani yang diajukan kepada Soeharto (presiden saat itu) adalah menciptakan stimulus dan prakondisi atas segera diberlakukannya asas tunggal Pancasila yang banyak mendapatkan tentangan dan penolakan kalangan tokoh Islam.

Pancingan dan pematangan oleh intelijen (BAKIN, BAIS, dan BIA) maupun penguasa teritori militer terang-terangan menyulut kemarahan umat melalui sikap kurang ajar dan tidak terpuji aparat teritori (anggota Babinsa Koramil) yang mengguyurkan air comberan dan sengaja masuk ke dalam Musola tanpa melepas sepatu laras kotornya, di samping mengumbar kalimat jorok dan menantang umat Islam, yang mengakibatkan dibakarnya motor aparat teritori tersebut.

Insiden itulah yang berlanjut dan memicu terjadinya drama pembantaian umat Islam di Tanjung Priok pada 12 September 1984, yang diawali dengan penangkapan beberapa jamaah musola, berlanjut dengan munculnya reaksi tokoh-tokoh PTDI (Perguruan Tinggi Dakwah Islam) kemudian disusul Amir Biki (tokoh masyarakat Priok) menggelar tabligh akbar yang panas. Suasana semakin menanas. Namun, justru itulah yang diinginkan oleh rezim militer pada saat itu.

Umat Islam hanya bermodal semangat dan pekik takbir menuntut pembebasan anggota jamaah musolla yang ditahan aparat. Namun mereka dihadapi persiapan tempur dengan kekuatan penuh oleh rezim militer, langsung di bawah komando Pangdam Jaya Try Soetrisno dan Panglima ABRI, LB Moerdani. Momentum ini dimanfaatkan untuk menciduk dan memenjarakan banyak aktivis Islam melalui penyusupan kembali informan dalam rangka inventarisasi jaringan aktivis Islam seluruh Indonesia.

Pada tahun 1986 intelijen berhasil kembali menyusupkan agen sipilnya Syahroni dan Syafki (mantan preman Blok M) dalam gerakan Usrah NII pimpinan Ibnu Thayyib yang menghasilkan lebih 15 orang NII masuk penjara.

Dimunculkannya kasus Lampung oleh rezim intel Orba Soeharto tahun 1989, bertujuan mengaitkan dan menjerat posisi Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir. Berdasarkan skenario intelijen, Adullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir yang berada di Malaysia sedang terlibat rencana kekerasan di Indonesia dan telah terhubung melibatkan jaringan mujahidin internasional. Isu saat itu dikaitkan dengan nama Abdullah Abdu Rasul Sayyaf, salah satu tokoh dan petinggi mujahidin Afghanistan yang diberitakan siap memasok persenjataan atas permintaan dan jaminan Abdullah Sungkar di Malaysia.

Inilah isu yang dibawa Nurhidayat dan Sudarsono, dua tokoh provokator kasus Talangsari, Way Jepara tahun 1988, hingga kini kedua tokoh provokator kasus Lampung tersebut masih tetap dalam link intelejen.

Kasus Cihideung, Talangsari, Way Jepara, Lampung inilah salah satu kader intelejen militer yang masih bertugas di Kodam Jaya Letkol AM Hendropriyono telah disiapkan menjadi Komandan Korem Garuda Hitam, Lampung untuk melibas habis gerakan Warsidi dan menjadikannya sebagai proyek prestasi menuju pangkat bintang.

Pada tahun 1986 pihak intelejen juga merekrut kembali Prawoto alias Abu Toto, kader muda NII bentukan Ali Moertopo yang sedang buron dan berada di luar negeri bagian Sabah Malaysia untuk disusupkan kembali ke dalam gerakan NII-LK (Lembaga Kerasulan) pada tahun 1987. Pada saat itu LK di bawah kepemimpinan Abdul Karim Hasan.

Konon katanya melalui Jenderal purnawirawan Himawan Sutanto yang saat itu menjadi atase atau pejabat KBRI di Malaysia dan yang juga menggalang sisa-sisa laskar NII untuk dikooptasi  secara resmi oleh militer di Kodam Siliwangi tahun 1974-75 di mana saat itu Himawan Sutanto adalah selaku Pangdamnya.

Masuknya kembali Abu Toto mampu mempengaruhi dan meyakinkan Abdul Karim Hasan untuk kembali kepada manhaj NII dan sekaligus menggerogoti dan membusukkan kultur, doktrin dan struktur organisasi serta sistem kewilayahan NII.

Arsip media massa tahun 1994, Harian Republika, Kompas dan Pos Kota memberitakan sikap dan statemen kedua petinggi ABRI saat itu, sekali pun posisi dan keberadaan Abu Toto tidak secara terang-terangan dilindungi atau dimunculkan. Tetapi justru pada tahun itulah keberadaan gerakan NII KW IX pimpinan Abu Toto memperoleh suntikan dana triliyunan rupiah untuk proyek pembangunan pesantren Al Zaytun. Demikian pula kedekatan Abu Toto dengan ICMI dan BPPT. (Baca buku Pesantren Al Zaytun Sesat? dan Al Zaytun Gate karya Umar Abduh).

Antara tahun 1996-1998 kebijakan intelejen militer memutar modus dan haluannya, dari represif menjadi seakan toleran, bahkan terkesan sangat akomodatif. Padahal yang terjadi dalam  global plan militer justru sedang menerapkan strategi dan jurus “menebar angin menuai badai” ke seluruh strata masyarakat.

Gerakan intelejen yang ditebar ke segala arah, dalam rangka membuat kesan baik kepada publik tentang paradigma militer masa lalu yang sulit dielakkan dari kesan buruk dan absurditas maupun kekejaman politik otoritarian terhadap rakyat harus mulai ditinggalkan. Peta dan medan gerakan strategis intelejen militer sejak tahun 1996-2001 justru makin melebar baik radius maupun spektrumnya demi mempercepat proses pembusukan tersebut di seluruh gerakan Islam.

Seluruh perlawanan ummat Muslim, baik yang dengan atau tanpa kekerasan semua di bawah pengetahuan, kontrol dan provokasi intelejen militer. Kasus GPI, Woyla, Priok, Lampung, Aceh, Mataram, Pamswakarsa, Kupang, Ambon, Bom Istiqlal, Bom Natal dan Poso serta yang lain termasuk seperti perpecahan ormas dan partai Islam secara keseluruhan selalu melibatkan infiltran militer intelejen. Hal yang sama sekali tidak disadari umat Muslim maupun para politisi Indonesia (demikian pula halnya oleh masyarakat internasional). Hanya dengan dalih dan statement, di antara mereka ada yang mengaku sebagai militer hijau atau militer yang selalu membawa nama dan suara serta jargon Islam atau keberpihakan moral terhadap problematika yang menimpa ummat serta mengajak bekerjasama menghadapi potensi ancaman musuh politik ideologis, maka kalangan Islam menjadi terpesona dan akhirnya terpedaya dan bersedia melakukannya.

Selanjutnya rekayasa politik dan intelejen selalu memberi peluang dan kesempatan untuk memancing munculnya reaksi dalam bentuk sikap ketidak-puasan yang berujung perlawanan sporadis dari ummat Muslim, namun dengan serta merta dilibas secara tidak manusiawi dan sangat tidak seimbang.

Melihat modus pembusukan dan penggembosan gerakan Islam oleh intelejen seperti ini, masyarakat sangat membutuhkan data dan informasi yang lebih banyak lagi baik dalam kuantitas maupun kualitas  yang bersifat investigatif. Dengan harapan suatu saat akan ada pihak yang mampumerangkumnya menjadi sebuah buku yang lebih baik, lengkap dan akurat.

Sekalipun tetap harus menyadari bahwa informasi data intelejen tersebut tidak mungkin bisa diperoleh oleh masyarakat, partai, pergerakan, apalagi masyarakat umum, dalam bentuk dokumen terulis, kecuali beberapa kasus atau person yang berhasil terangkap tangan, seperti kasus intelejen Najamuddin yang surat tugasnya berhasil didapatkan setelah beberapa anggota kelompok Imran sukses mengakhiri hidup Najamuddin.

Wallohu a'lam.

Tajassus

Beberapa waktu yang lalu, tanggal 11 Oktober 2011 telah disahkan RUU Intelijen menjadi UU Intelijen. UU kontroversial tersebut tetap disahkan, dalam kondisi tetap menjadi kontroversi mengingat berbagai pasal karet yang sangat multitafsir. Terlepas dari itu semua, aktivitas intelijen yang dilakukan intelijen Indonesia adalah aktivitas pencarian informasi secara tersembunyi. Ini berarti bahwa negara melakukan aktivitas ‘memata-matai’ rakyatnya demi ‘kepentingan negara’.

Pencarian suatu berita yang berkonotasi mengorek-ngorek suatu berita, dalam Islam disebut dengan tajassus. Dalam bahasa kita disebut dengan spionase. Berita yang dicari, tidak terbatas. Artinya, berita yang dicari tersebut bisa berita yang tertutup (kabur, belum jelas) atau berita yang benar-benar sudah jelas.

Jika suatu berita bisa didapatkan tanpa harus sembunyi-sembunyi, tidak termasuk tajassus. Sebab, yang disebut dengan mencari-cari berita atau tajassus adalah, mencari-cari (mengorek-ngorek), mengusut-usut berita, dengan tujuan untuk menelitinya lebih dalam.

Orang yang hanya mencari berita atau mengumpulkan berita, baik dianalisis atau tidak, kemudian disebarkan ke tengah-tengah masyarakat, tidak termasuk tajassus. Di sinilah letak perbedaan antara wartawan dengan intelijen. Aktivitas intelijen adalah aktivitas tajassus sedangkan aktivitas wartawan adalah aktivitas pencarian berita. Namun jika seorang wartawan mencari dan mengorek-orek berita secara sembunyi-sembunyi, ini disebut tajassus. Jadi, bukan profesi yang membatasi, tetapi jenis aktivitasnya yang membatasi, apakah perbuatan tersebut termasuk tajassus atau tidak.

Demikian pula, jika ada orang di facebook yang mencari-cari tahu orang atau sekelompok orang (atau bisa juga organisasi) secara sembunyi-sembunyi, tentang keburukan-keburukannya, maka hal itu haram hukumnya. Jika masih juga dilakukan, hal itu merupakan bentuk perlawanan terhadap hukum tajassus itu.

Contoh:
Ada seseorang dengan sadar dan sengaja memata-matai orang lain atau sekelompok orang dengan sembunyi-sembunyi, maka hal itu haram. Maksud dari sembunyi-sembunyi di sini banyak modus. Ada yang berpura-pura (sekedar) melihat-lihat satu link diskusi, tetapi hakikatnya untuk mencari tahu kelemahan atau keburukan pihak-pihak di dalam link diskusi tersebut. Walaupun orang ini nyata-nyata terjun di dalam link, tetapi hakikatnya dia ingin mencari tahu kelemahan orang lain. Dia menyembunyikan niatnya. Ada seseorang di akun facebook saya, yang kerjaannya seperti ini. Ketika dia berinteraksi dengan saya, dia menyodorkan kepada saya kejelekan orang lain. Orang seperti ini disebut dengan mata-mata. Mata-mata untuk siapa? Wallahu a’lam.. Mungkin juga Anda mengenalnya..

Kembali ke permasalahan di atas, dilihat dari perbuatannya, tajassus bisa dihukumi haram, mubah, atau wajib sesuai dengan qarinah (indikasi) yang ada.

Allah melarang kaum muslimin secara umum untuk melakukan tajassus,
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanykan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus)..” [QS. Al Hujurat: 12]

Sebagian mufassirin, seperti Abu Raja’, dan  Al Hasan, membacanya dengan tahassasuu (dengan ha’ bukan dengan jim).  Al Akhfasy menyatakan, bahwa makna keduanya (tajassasuu dan tahassasuu) tidaklah berbeda jauh, sebab, tahassasuu bermakna al bahtsu ‘ammaa yaktumu ‘anka (membahas/meneliti apa-apa yang tersembunyi bagi kamu). Ada pula yang mengartikan, bahwa tahassasuu adalah apa yang bisa dijangkau oleh sebagian indera manusia. Sedangkan tajassasuu adalah memata-matai sesuatu.

Ada pula yang menyatakan, kalau, tajassasuu itu adalah aktivitas mata-mata yang dilakukan oleh orang lain, atau dengan utusan, sedangkan tahassasuu, aktivitas mata-mata yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Hal ini bisa dilihat dalam Tafsir Al Qurthubi, surat 49: 12. Imam Qurthubi mengartikan firman Allah, di atas dengan, “Ambilah hal-hal yang nampak, dan janganlah kalian membuka aurat kaum muslimin, yakni, janganlah seorang diantara kalian meneliti aurat saudaranya, sehingga ia mengetahui auratnya, setelah Allah swt menutupnya (auratnya).”

Rasulullah saw. juga bersabda, “….Janganlah kalian saling memata-matai, janganlah kalian saling menyelidiki, janganlah kalian saling berlebih-lebihan, janganlah kalian saling membuat kerusakan….” (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah)

Juga dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, “Dirahmatilah kiranya orang yang begitu sibuk dengan kesalahan dirinya sendiri, sehingga ia tidak peduli dengan kesalahan orang lain.” (HR. Al Bazaar)

Dari Abu Umamah, Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh, seorang amir (pemimpin) akan mendurhakai rakyatnya, bila ia memburu kecurigaan pada mereka.” (HR. Abu Dawud)

Rasulullah saw. juga bersabda, Jika seseorang melihatmu dalam keadaan tanpa pakaian, tanpa ijinmu, lalu kamu membutakan kedua matanya dengan lemparan batu, tidak ada celaan atas perbuatanmu itu.” (HR. Muslim)

Dalam kitab Mu’jam Al Kabir disebutkan, “Orang yang menyadap pembicaraan orang lain dan mendengarkan apa yang mereka tidak akan suka bila tahu ia telah mendengarnya, kedua telinganya akan dituangi dengan cairan kuningan nanti pada hari Kiamat.” (HR. Ath Thabrani)

Rasulullah saw. juga bersabda, “Orang yang biasa mencuri-curi dengar tidak akan masuk surga.” (HR. Bukhari)

Dalil-dalil di atas adalah larangan untuk melakukan aktivitas memata-matai orang lain. Karena larangan, maka nekat aktivitas tersebut adalah dosa. Dan dosa, akan membuat pelakunya masuk neraka.

Islam juga menolak setiap bukti-bukti yang didapat dari aktivitas spionase. Beda dengan UU Intelijen sekarang, yang malah membolehkan hasil spionase sebagai barang bukti. Itu sama seperti perbuatan orang-orang kafir yang biasa dilakukan seperti menyewa detektif, menyadap, dan sebagainya.

Dalam tradisi hukum Islam, bukti yang didapat dari jalan spionase tidak boleh dijadikan bukti di sidang pengadilan.  Dalilnya adalah riwayat dari Al A’masy bin Zaid, ia menceritakan bahwa Al Walid bin ‘Uqbah dihadapkan kepada Ibnu Mas’ud dan dituduh ketahuan terdapat tetesan khamr di jenggotnya.  Ibnu Mas’ud berkata, “Kita dilarang memata-matai, tetapi bila terdapat bukti yang tampak, kita akan menggunakannya.” (HR. Abu Dawud)

Demikian pula, haramnya melakukan tajassus juga berlaku bagi kafir dzimmi, yaitu orang-orang kafir yang rela tunduk di bawah hukum Islam. Sedangkan memata-matai kafir harbi, hukumnya boleh (mubah). Bahkan bagi negara, hal ini menjadi wajib.

Dalam Sirah Ibnu Hisyam diceritakan, bahwa Nabi saw pernah mengutus Abdullah bin Jahsy  bersama delapan orang dari kalangan Muhajirin. Kemudian Rasulullah saw memberikan sebuah surat kepada  Abdullah bin Jahsy, dan beliau saw menyuruhnya agar tidak melihat isinya.  Ia boleh membuka surat itu setelah berjalan kira-kira dua hari lamanya.  Selanjutnya mereka bergegas pergi.  Setelah menempuh perjalanan selama dua hari, barulah Abdullah bin Jahsy membuka surat, dan membaca isinya.  Isinya adalah, “Jika engkau telah melihat suratku ini, berjalanlah terus hingga sampai kebun korma antara Makkah dan Tha’if, maka intailah orang-orang Quraisy, dan kabarkanlah kepada kami berita tentang mereka (orang Quraisy).”

Dalam surat itu, Rasulullah saw memerintah Abdullah bin Jahsy untuk memata-matai orang Quraisy, dan mengabarkan berita tentang mereka kepada Rasul.  Akan tetapi, beliau saw memberikan pilihan kepada para sahabat lainnya untuk mengikuti Abdullah bin Jahsy atau tidak. Akan tetapi, Rasulullah saw mengharuskan Abdullah bin Jahsy untuk terus berjalan hingga sampai ke kebun kurma antara Makkah dan Tha’if, dan memata-matai orang Quraisy.

Riwayat ini menyatakan bahwa Rasulullah saw, telah meminta Abdullah bin Jahsy untuk melakukan aktivitas spionase, namun sahabat yang lain diberi dua pilihan, ikut bersama Abdullah bin Jahsy atau tidak.  Dengan demikian, tuntutan untuk melakukan spionase bagi amir jamaah (Abdullah bin Jahsy) [dinisbahkan kepada negara] adalah pasti, sehingga hukumnya wajib, sedangkan bagi kaum muslimin tuntutan tidak  pasti, sehingga hukumnya jaiz (boleh).  Hadits ini menunjukkan kepada kita, bahwa hukum memata-matai kafir harbi adalah wajib bagi negara, sedangkan bagi kaum muslimin adalah jaiz (mubah).

Selain itu, hal ini menunjukkan wajibnya negara melakukan aktivitas intelijen terhadap kafir harbi. Sebab, informasi-informasi yang diperlukan oleh tentara kaum Muslim tentang negara musuh baru akan diketahui lewat aktivitas intelijen ini. Padahal, terdapat kaidah ushul yang menyatakan maa laa yatimmul waajibu illaa bihi fa huwa waajib (Suatu kewajiban yang tidak akan (berjalan) sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula adanya). Jadi, adanya dinas rahasia dalam tubuh tentara Muslim untuk melakukan aktivitas intelijen terhadap negara musuh hukumnya wajib.

Berdasarkan hal tersebut, tampak bahwa siapa pun, termasuk negara, tidak boleh melakukan aktivitas intelijen terhadap warga negaranya. Kalaupun dimaksudkan untuk menjaga keamanan maka tidak boleh dilakukan dengan perkara yang diharamkan, melainkan dilakukan oleh pihak yang menjaga keamanan dan ketertiban dalam negeri, yaitu polisi (syurthah). Sebaliknya, negara wajib memiliki badan intelijen yang ditujukan untuk mengawasi musuh (negara-negara kafir), baik negaranya maupun warganya yang sedang berkunjung ke dalam negeri.

Bagi orang kafir harbi yang nyata-nyata terbukti melakukan tajassus maka wajib dibunuh. Dari Salamah bin Akwa dia berkata, “Seorang mata-mata dari orang-orang musyrik mendatangi Rasulullah saw, sedangkan orang itu sedang safar. Lalu, orang itu duduk bersama dengan para sahabat Nabi saw, dan ia berbincang-bincang dengan para sahabat. Kemudian orang itu pergi. Nabi saw berkata, “Cari dan bunuhlah dia!” Lalu, aku (Salamah bin Akwa) berhasil mendapatkannya lebih dahulu dari para sahabat yang lain, dan aku membunuhnya. (HR. Bukhari)

Aktivitas tajassus yang dilakukan oleh seorang muslim kepada kaum muslimin lainnya, bukan untuk kepentingan musuh, namun sekedar memata-matai saja, maka syara’ tidak menetapkan sanksi tertentu atas kema’shiyatan ini. Sanksi bagi seorang muslim yang mematai sesama muslim adalah saksi ta’ziriyyah yang kadarnya ditetapkan oleh seorang qadhi/hakim (Lihat Syakhshiyah Islamiyah, Taqiyuddin An Nabhani).

Syarat-syarat Menjadi Kepala Negara Islam

Dalam Islam, kepala negara yang sah adalah khalifah. Kata khalifah ini kadang-kadang disebut imam. Gelarnya sendiri seringkali disebut dengan Amirul Mukminin. Lalu apa yang dimaksud dengan khalifah itu? Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan dalam rangka menerapkan aturan-aturan Allah swt.

Untuk menjalankan hukum-hukum Allah (yang merupakan kewajiban), manusia mewakilkan urusannya ini kepada seseorang melalui baiat. Dalam Islam kekuasaan itu dibedakan dengan kedaulatan. Kekuasaan Islam berada di tangan umat (rakyat) sedangkan kedaulatan berada di tangan syariat (Allah). Dengan demikian, kekuasaan tetap berada di tangan umat, sebab orang yang akan memimpin umat adalah orang yang dipilih oleh umat secara ridha dan ikhlas. Kepala negara tersebut akan sah menjadi kepala negara setelah dilakukan baiat terhadap kaum muslim. Tanpa baiat, maka kepemimpinannya tidak sah.

Mencalonkan diri atau mencalonkan orang lain, atau juga bersaing untuk menjadi khalifah adalah sesuatu yang mubah. Tidak ada suatu dalil yang melarang akan hal ini. Namun demikian, hal ini tetap berbeda dengan yang terjadi dalam politik sekuler demokrasi. Dalam politik demokrasi, orang bersaing menjadi kepala negara bukan untuk menjalankan hukum Allah, tetapi untuk menjalankan hukum selain hukum Allah. Belum lagi, seringkali ambisi itu juga dibarengi dengan nafsu tamak untuk mencari popularitas, kekayaan, kehormatan, dan keuntungan-keuntungan duniawi lainnya. Tetapi tidak dalam Islam. Dalam Islam, orang yang berambisi meraih jabatan kekhalifahan dengan motif dunia atau ingin menerapkan aturan selain aturan Allah, maka akan disingkirkan. Tidak bisa orang seperti ini menjadi khalifah. Apalagi khalifah tidak digaji oleh negara khilafah.

Peristiwa Saqifah Bani Saidah adalah contoh riil bagaimana para sahabat berlomba-lomba dalam kebaikan (menerapkan hukum Allah dan memimpin umat). Kita tentu tahu, bahwa yang namanya kepemimpinan itu sangat berat. Hukumannya tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Tetapi kenapa para sahabat bersaing untuk mendapatkan kepemimpinan? Ingat, para sahabat ingin meraih kepemimpinan umat adalah untuk menyatukan umat, agar umat tetap ada pemimpinnya. Para sahabat ingin menggantikan Rasulullah dalam menerapkan hukum Islam, yaitu hukum Allah swt. Para sahabat ingin menerapkan Alquran dan Sunah. Inilah motivasi mereka. Bukan duniawi seperti yang ada sekarang ini.

Meskipun demikian kepala negara Islam harus memenuhi syarat-syarat mendasar:

Pertama:
Kepala negara itu harus beragama Islam. Islam telah melarang orang kafir menjadi pemimpin bagi orang Islam.

(Dan) Allah sekali-kali tidak akan menajdikan (memberikan) jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin. (QS. An Nisa: 141)

Disamping itu terdapat ayat lain yang di dalmnya terkandung makna bahwa ulil amri (penguasa) itu harus dari kalangan muslim.

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. (QS. An Nisa: 59)

Ayat ini memerintahkan kaum Muslim untuk mentaati Allah, Rasul-Nya dan penguasa (ulil amri), yang dalam konteks pemerintahan Islam adalah Khalifah (kepala negara), wali (gubernur) dan amil. Di dalam al-Quran, kalimat ulil amri tidak pernah dipahami kecuali ulil amri dari kalangan kaum Muslim. Lagi pula di dalam ayat tersebut terdapat indikasi ulil amri minkum (ulil amri dari kalangan kamu), sementara di awal ayat terdapat seruan (khithab) ya ayyuhal ladzina amanu (wahai orang-orang yang beriman). Artinya, minkum di situ dikembalikan kepada objek yang diserunya, yakni kaum Muslim, sehingga minkum dalam ayat tersebut adalah kaum Muslim, bukan kaum kafir.

Kedua:
Kepala negara Islam harus laki-laki, bukan wanita. Diriwayatkan melalui Abi Bakrah bahwa ketika sampai berita kepada Rasulullah saw. bahwasanya orang-orang Persia telah mengangkat anak perempuan Kisra sebagai pemimpinnya, beliau bersabda:

Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan dan kekuasaan) mereka kepada seorang wanita. (HR. Bukhari)

Penyampaian berita dari Rasulullah bahwa tidak beruntung kaum yang mengangkat seorang wanita sebagai pemimpin yang mengatur urusan mereka, merupakan indikasi dilarangnya perbuatan tersebut.

Ketiga:
Kepala negara Islam adalah orang yang sudah baligh. Orang yang belum baligh belum masuk syarat dasar menjadi kepala negara Islam. Rasulullah saw bersabda:

Telah diangkat pena (tidak dibebankan hukum) atas orang yang tidur hingga ia terbangun, atas anak kecil hingga ia baligh, dan atas orang gila hingga ia waras. (HR. Abu Dawud)

Hadits tersebut juga bermakna, tidak disyaratkan seorang Khalifah itu harus berusia minimal 40 tahun atau 35 tahun, dan sejenisnya. Siapa pun yang telah baligh dan ia memenuhi persyaratan dasar lainnya boleh dicalonkan dan mencalonkan diri, bahkan diangkat sebagai Khalifah, sekalipun usianya baru 19 atau 20 tahun.

Keempat:
Kepala negara Islam adalah orang yang berakal. Orang sakit jiwa, stress, sinting, orang gila alias wong edan, tidak bisa menjadi khalifah. Mengapa? Sebab akalnya rusak. Orang yang akalnya rusak atau belum sempurna, tidak bisa menjadi khalifah. Orang yang akan menjadi khalifah harus orang yang akalnya sehat. Hadis di atas kiranya cukup memahamkan kita.

Lebih dari itu, akal dijadikan oleh syariat Islam sebagai manathut taklif, dan sahnya berbagai perkara tasharrufat. Padahal seorang Khalifah adalah orang yang memiliki tasharruf (hak atas mengurusi) perkara pemerintahan dan kekuasaan, serta menjalankan berbagai pelaksanaan syariat Islam. Sementara orang gila tidak mampu mengatur urusannya sendiri dan terbebas dari taklif (beban hukum) pelaksanaan syariat Islam.

Kelima:
Seorang kepala negara Islam haruslah orang yang adil. Orang yang fasik tidak dibolehkan menjadi kepala negara. Orang yang suka melanggar syariat Islam tidak diperbolehkan menjadi kepala negara. Demikian pula orang yang menerapkan hukum selain hukum Islam.

Keenam:
Kepala negara Islam harus merdeka, bukan budak. Sebab, bagaimana mungkin ia mampu melepaskan diri dari wewenang yang berada pada tuannya untuk mengatur urusan pemerintahan. Untuk mengatur urusan dirinya sendiri saja berada pada tangan tuannya

Ketujuh:
Kepala negara Islam adalah orang yang benar-benar mampu menjadi kepala negara. Karena ia telah dibaiat untuk mengatur urusan umat (dalam segala aspeknya) berdasarkan Alquran dan Sunnah. Dan ini merupakan amanat yang sangat berat. Jika seseorang tidak mampu (merasa lemah) dengan amanat kekhilafahan ini, maka lebih baik baginya untuk menjadi rakyat biasa. Rasulullah saw telah menolak permintaan salah seorang sahabatnya (yakni Abu Dzar Al Ghifari) untuk memangku jabatan tertentu di dalam pemerintahan, karena beliau saw mengetahui kepribadian dan kesanggupan Abu Dzar, seraya berkata kepadanya: ‘Sesungguhnya engkau itu orang yang lemah (tidak mampu menjabat). Dan jabatan itu adalah amanat’.

Demikianlah, syarat-syarat menjadi kepala negara Islam (khalifah).

Agama Demokrasi

Berikut ini adalah salah satu bab dalam buku Demokrasi; Sesuai dengan Ajaran Islam? Karya Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy

Demokrasi adalah agama kafir buatan, dan pemeluknya ada yang berstatus sebagai tuhan yang membuat hukum serta ada yang berstatus sebagai pengikut yang menyembah tuhan-tuhannya itu

Ketahuilah sesungguhnya kata demokrasi yang busuk ini diambil dari bahasa Yunani bukan dari bahasa Arab. Kata ini merupakan ringkasan dari gabungan dua kata: demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti hukum atau kekuasaan atau wewenang membuat aturan (tasyri'). Jadi terjemahan harfiah dari kata demokrasi adalah: Hukum rakyat atau kekuasaan rakyat. Dan makna itu merupakan makna demokrasi yang paling esensial menurut para pengusungnya.

Karena makna inilah mereka selalu bangga dengan memujinya, padahal makna ini (hukum, tasyri' dan kekuasaan rakyat) wahai saudaraku muwahhid, pada waktu yang bersamaan merupakan salah satu dari sekian ciri khusus kekafiran, kemusyrikan serta kebatilan yang sangat bertentangan dan berseberangan dengan dinul Islam dan millatut tauhid, karena engkau telah mengetahui bahwa inti dari segala inti yang karenanya Allah menciptakan makhluk-Nya, dan menurunkan kitab-kitab-Nya serta mengutus rasul-rasul-Nya, dan yang merupakan ikatan yang paling agung di dalam Islam ini, yaitu adalah tauhidul ibadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala saja dan menjauhi ibadah kepada selain-Nya. Dan karena sesungguhnya taat dalam tasyri' merupakan bagian dari ibadah yang wajib hanya ditujukan kepada Allah semata, dan kalau seandainya orang tidak merealisasikannya maka dia itu menjadi orang musyrik yang digiring bersama orang-orang yang binasa.

Ciri khusus ini sama saja baik diterapkan dalam demokrasi sesuai dengan ajaran demokrasi itu yang sebenarnya, sehingga keputusan (hukum) yang dirujuk itu adalah diserahkan kepada seluruh rakyat atau mayoritas mereka, sebagaimana yang menjadi impian tertinggi para demokrat dari kalangan orang-orang sekuler atau orang-orang yang mengaku Islam. Atau hal itu (ciri khusus demokrasi) diterapkan seperti yang ada pada kenyataannya sekarang, di mana demokrasi itu (pada praktiknya) adalah keputusan (hukum) segolongan para penguasa dan kroni-kroninya dari kalangan keluarga dekatnya, atau para pengusaha besar dan konglomerat yang di mana mereka menguasai modal-modal usaha dan sarana-sarana informasi yang dengan perantaraannya mereka bisa mendapatkan kursi atau memberikan kursi parlemen (yang merupakan sarang kemusyrikan) kepada orang-orang yang mereka sukai, sebagaimana tuhan mereka (sang raja atau amir/presiden) bisa kapan saja dan bagaimana saja alasannya membubarkan dan memberlangsungkan majelis (syirik) itu.

Jadi, demokrasi dengan sisi mana saja dari kedua sisi (praktik) itu merupakan kekafiran terhadap Allah Yang Maha Agung, dan syirik terhadap Rabb langit dan bumi, serta bertentangan dengan millatut tauhid dan din para Rasul, berdasarkan alasan-alasan yang banyak, di antaranya:

1.  Sesungguhnya demokrasi adalah tasyri'ul jamaahir (penyandaran wewenang hukum kepada rakyat/atau mayoritasnya) atau hukum thaghut, dan bukan hukum Allah subhanahu wa ta'ala, sedangkan Allah subhanahu wa ta'ala memerintahkan nabi-Nya untuk menghukumi sesuai dengan apa yang telah Dia turunkan kepadanya, serta Dia melarangnya dari mengikuti keinginan umat, atau mayoritas orang atau rakyat, Dia menghati-hatikan nabi-Nya agar jangan sampai mereka memalingkan dia dari apa yang telah Allah turunkan kepadanya, Allah subhaanahu wa ta'aala berfirman:

”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.(QS. Al Maidah: 49)
Ini dalam ajaran tauhid dan dinul Islam.

Adapun dalam agama demokrasi ada ajaran syirik, maka para penyembahnya berkata: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diinginkan rakyat, dan ikutilah keinginan mereka. Dan berhati-hatilah kamu jangan sampai kamu dipalingkan dari apa yang mereka inginkan dan mereka tetapkan hukumnya." Begitulah mereka katakan dan inilah yang diajarkan dan ditetapkan oleh agama demokrasi. Ini merupakan kekafiran yang jelas dan kemusyrikan yang terang bila mereka menerapkannya. Namun demikian para ulama kaum musyrikin tetap mengatakan demokrasi adalah syura di mana kita harus ikut andil  di dalamnya dan untuk merealisasikannya. Mereka mengutip ayat-ayat dan hadits untuk mengelabui masyarakat dan para pemuda yang memiliki semangat namun tak memiliki tauhid. Thaghut-thaghut pun rela dan ridha dan menghargai mereka dan mengatakan mereka adalah orang-orang Islam yang demokrat.

Sesungguhnya mereka adalah ulama kaum musyrikin, mereka ulama karena tahu banyak tentang fiqh, hadits dan tafsir, serta aliran-aliran sesat, namun mereka tak memiliki tauhid. Namun ketahuilah sesungguhnya satu orang awam dari kalangan muwahhidin yang memiliki silah (senjata) mampu menaklukan seribu dari kalangan ulama kaum musyrikin.

Namun demikian sesungguhnya kenyataan mereka lebih busuk dari itu, sebab bila seseorang mau mengatakan tentang keadaan praktik mereka tentu dia pasti mengatakan: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diinginkan oleh para thaghut dan kroni-kroninya, dan janganlah satu hukum dan satu undang-undang dibuat kecuali setelah ada pengesahan dan persetujuannya…!!!

Sungguh ini adalah kesesatan yang terang lagi nyata, bahkan penyekutuan (Khalik) dengan hamba secara aniaya.

2.  Karena sesungguhnya itu adalah hukum rakyat atau thaghut yang sesuai dengan undang-undang dasar, bukan yang sesuai dengan syari'at Allah subhanahu wa ta'ala. Begitulah yang ditegaskan oleh undang-undang dasar dan buku-buku panduan mereka yang mereka sakralkan dan mereka sucikan lebih dari pensucian mereka terhadap Alquran dengan bukti bahwa hukum undang-undang itu lebih didahulukan terhadap hukum dan syariat Alquran lagi mendiktenya. Dalam undang-undang dasar Kuwait pasal VI ditegaskan: Rakyat adalah sumber kekuasaan seluruhnya". Dan dalam pasal 51: Kekuasaan legislatif berada di tangan amir dan majlis rakyat sesuai dengan undang-undang dasar". Dan di dalam undang-undang dasar  Yordania pasal ke 24: Rakyat adalah sumber segala kekuasaan (hukum)".

Dan rakyat menjalankan kekuasaan legislatifnya sesuai dengan cara yang telah tertera undang-undang dasar dalam agama demokrasi, hukum, dan perundang-undangan yang mereka buat tidak bisa diterima (bila memang mereka memutuskan) kecuali bila keputusan itu berdasarkan nash-nash undang-undang dasar dan sesuai dengan materi-materinya, karena undang-undang itu adalah induk segala peraturan dan perundang-undangan serta kitab hukumnya yang mereka jungjung tinggi.

Dalam agama demokrasi ini ayat-ayat Alquran atau hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak begitu dianggap, dan tidak mungkin suatu hukum atau undang-undang ditetapkan sesuai dengan ayat atau hadits kecuali bila hal itu sejalan dengan nash-nash undang-undang dasar yang mereka jungjung tinggi.

Silahkan engkau tanyakan hal itu kepada para pakar hukum dan perundang-undangan bila engkau masih ragu tentangnya!!

Sedangkan Allah subhaanahu wa ta'aala berfirman:

"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An Nisa': 59)

Padahal agama demokrasi mengatakan: Bila kalian berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikan kepada rakyat, majlis perwakilannya, dan rajanya sesuai dengan undang-undang dasar dan aturan yang berlaku di bumi ini."

Enyahlah kalian dan enyah pula apa yang kalian sembah selain Allah, kenapa kalian tidak berpikir? Bukankah Allah subhanahu wa ta'ala telah mengabarkan kepada kita bahwa perkataan ini adalah yang dilontarkan oleh Ibrahim kepada kaumnya setelah dia menjelaskan kepada mereka keburukan tuhan-tuhan mereka dan para thaghutnya.

Oleh sebab itu bila mayoritas rakyat menghendaki penerapan hukum syariat lewat jalur agama demokrasi ini dan lewat lembaga legislatif yang syirik ini, maka itu tidak bisa terealisasi (ini bila thaghut mempersilahkannya) kecuali lewat jalur undang-undang serta dari arah pasal-pasal dan penegasan undang-undang tersebut, karena itu adalah kitab suci agama demokrasi, atau silahkan katakan itu adalah Tauratnya dan Injilnya yang sudah dirubah sesuai dengan hawa nafsu dan keinginan selera mereka.

Di kala hukum Allah hendak ditetapkan sebagai hukum Negara yang beragama demokrasi, maka hukum Allah itu harus disodorkan terlebih dahulu kepada para arbaab (tuhan-tuhan buatan) yang duduk di atas kursi yang empuk itu, bila mayoritas mereka menyetujuinya, baru bisa diterapkan, dan bila tidak maka tidak bisa diberlakukan. Subhanallah, siapa yang lebih tinggi, Allah atau mereka, sehingga hukum Allah memerlukan persetujuan dan pengesahan mereka terlebih dahulu. Orang-orang yang katanya ingin memperjuangkan Islam lewat parlemen mereka adalah arbaab juga, apakah Islam bisa tegak lewat jalur syirik, ingatlah ketika hukum-hukum Islam digolkan lewat lembaga syirik itu, maka yang disahkan itu bukanlah hukum Allah tapi itu adalah hukum parlemen. Kita bertanya kepada  orang-orang yang sesat lagi menyesatkan itu, bagaimana bila para thaghut itu menawarkan kepada kalian hukum Islam namun dengan syarat kalian harus berzina terlebih dahulu, apakah kalian mau menerimanya? Kalau kalian jawab tidak, maka kenapa kalian menerima bergabung dengan kemusyrikan mereka, padahal zina itu lebih ringan dari syirik ? Binasalah kalian, kecuali bila Allah memberi hidayah kepada kalian sehingga kalian masuk Islam kembali.

3.  Sesungguhnya demokrasi adalah buah dari agama sekuler yang sangat busuk, dan anaknya yang tidak sah, karena sekulerisme adalah paham kafir yang intinya memisahkan agama dari tatanan kehidupan, atau memisahkan agama dari negara dan hukum.

Sedangkan demokrasi adalah hukum rakyat (atau dalam istilah lain dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat) atau hukum thaghut. Namun bagaimana pun keadaannya sesungguhnya demokrasi bukanlah hukum Allah Yang Maha Besar lagi Maha Perkasa. Demokrasi sama sekali tidak mempertimbangkan hukum Allah yang muhkam kecuali bila sesuai dan sejalan sebelumnya dengan undang-undang yang berlaku, dan kedua sesuai dengan keinginan rakyat, serta sebelum itu semua harus sesuai dengan selera para thaghut dan kroni-kroninya.

Oleh sebab itu, bila rakyat seluruhnya mengatakan kepada thaghut atau kepada arbaab (tuhan-tuhan) dalam demokrasi: “Kami ingin penerapan hukum Allah, dan tidak seorangpun memiliki hak tasyri' selama-lamanya baik itu rakyat atau para wakilnya atau penguasa. Kami ingin menerapkan hukum Allah terhadap orang-orang murtad, pezina, pencuri, peminum khamr, dan kami juga ingin para wanita diwajibkan berhijab dan 'afaaf, melarang tabarruj, buka-bukaan, porno, cabul, zina, liwath (homo), dan perbuatn keji lainnya,” maka dengan sepontan para thaghut dan para penghusung demokrasi itu akan mengatakan kepada mereka: Ini bertentangan dengan paham demokrasi dan kebebasannya!!!

Jadi, inilah kebebasan agama demokrasi: melepaskan diri dari agama Allah, syariat-Nya, dan melanggar batasan-batasannya. Adapun hukum undang-undang bumi dan aturannya maka itu selalu dijaga, dijunjung tinggi dan disucikan (disakralkan) serta dilindungi dalam agama demokrasi mereka yang busuk, bahkan orang yang berusaha melanggarnya, menentangnya, atau menggugurkannya dia akan merasakan sangsinya.

Enyahlah kalian, enyahlah kalian, enyahlah kalian
Enyahlah kalian, hingga lisan ini merasa kelelahan.

Jadi, demokrasi (wahai saudara setauhid) adalah agama baru di luar agama Allah subhanahu wa ta'ala. Sesungguhnya dia adalah hukum thaghut dan bukan hukum Allah subhanahu wa ta'ala. Sesungguhnya dia adalah syariat para tuhan yang banyak lagi bertolak belakang, bukan syariat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Dan siapa orangnya yang menerima (demokrasi ini), serta bersekongkol di atasnya maka dia itu pada hakikatnya  telah menerima bahwa dia itu memiliki hak tasyri' (wewenang membuat hukum) sesuai dengan materi-materi undang-undang yang berlaku, dan berarti dia telah menerima (kesepakatan) bahwa hukum yang dia buat itu lebih didahulukan atas syariat Allah Yang Maha Esa lagi Maha perkasa.

Sama saja setelah itu apakah dia membuat hukum atau tidak, sama saja apakah dia (partainya) menang dalam pemilu (pesta syirik) atau tidak, karena kesepakatan dia bersama kaum musyrikin terhadap paham demokrasi, dan penerimaannya terhadap paham ini agar menjadi putusan dan hukum yang dirujuk serta kekuasaannya di atas kekuasaan Allah, kitab-Nya dan syariat-Nya merupakan alkufru bi 'ainihi (kekafiran dengan sendirinya), ini adalah kesesatan yang nyata lagi terang, bahkan itu adalah kemusyrikan (penyekutuan) terhadap Allah secara membabi buta.

Rakyat dalam agama demokrasi adalah diwakili oleh para wakilnya (para anggota dewan), setiap kelompok (organisasi), atau partai, atau suku memilih Rabb (tuhan buatan) dari arbaab yang beragam asal usulnya untuk menetapkan hukum dan perundang-undangan sesuai dengan selera dan keinginan mereka.

Namun ini sebagaimana yang sudah diketahui sesuai dengan rambu-rambu dan batasan undang-undang yang berlaku. Di antara mereka ada yang mengangkat (memilih) sembahan dan pembuat hukumnya sesuai dengan asas dan ideologi, baik itu Rabb (tuhan) dari partai fulan, atau tuhan dari partai itu. Dan di antara mereka ada yang memilih tuhannya sesuai dengan ras dan kesukuan, sehingga ada tuhan dari kabilah ini dan ada tuhan berhala dari kabilah itu. Di antara mereka ada yang memilih tuhannya yang salafi (menurut klaim mereka), pihak yang lain ada yang memilih tuhannya yang ikhwani. Ada sembahan yang berjenggot, ada tuhan yang jenggotnya dicukur habis, dan seterusnya.

"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tidak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah)tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu bagi mereka adzab yang sangat pedih " (QS. Asy Syura: 21)

Para wakil rakyat itu pada hakikatnya mereka adalah autsaan (berhala-berhala) yang dipajang dan patung-patung yang disembah, serta tuhan-tuhan jadi-jadian yang diangkat di tempat-tempat ibadah mereka dan sarang-sarang paganisme mereka (parlemen), mereka dan para pengikutnya beragama demokrasi dan patuh kepada hukum undang-undang, kepada undang-undang itu mereka merujuk hukum serta sesuai dengan materi dan poin-poin undang-undang itu mereka membuat hukum dan perundang-undangan.

Dan sebelum itu semua mereka dikendalikan oleh tuhan mereka, sembahan mereka atau berhala agung mereka yang merestui dan menyetujui undang-undang mereka atau menolaknya. Itu tidak lain dan tidak bukan adalah emir atau raja, atau presiden.

Inilah (wahai saudara setauhid) adalah hakikat demokrasi dan ajarannya, agama thaghut, bukan agama Allah. Demokrasi adalah millatul musyrikin bukan millatun nabiyyiin. “Syari'at” banyak tuhan yang selalu saling bersebrangan dan berbantah-bantahan, bukan syari'at Allah yang Esa lagi Maha Perkasa.

“Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa ? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya menyembah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. (QS. Yusuf: 39-40)

Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Maha Tinggi Allah terhadap apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya). (QS. An Naml: 63)

Hendaklah engkau memilih wahai hamba Allah! Memilih agama Allah, syariat-Nya yang suci, dan cahaya-Nya yang menerangi, serta jalan-Nya yang lurus. Ataukah kalian memilih paham/agama demokrasi dengan kemusyrikannya, kekufurannya, dan jalannya yang bengkok lagi tertutup?!. Pilihlah!! hukum Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa atau hukum thaghut!!

Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka ia sesungguhnya telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan terputus… (QS. Al Baqarah: 256)

Dan katakanlah "Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir." Sesungguhnya telah Kami sediakan bagi orang-orang zhalim itu neraka… (QS. Al Kahfi: 29)

Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nyalah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan. Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nyalah kami menyerahkan diri. Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 83-85)

Barat Berupaya Menghadang Laju Syariat Islam

Diakui atau tidak, suara umat untuk menegakkan syariat Islam semakin menguat. Dari hari ke hari, suara tuntutan penegakkan syariat Islam itu semakin membahana dari ujung Barat Indonsia hingga Merauke di Papua. Sejak Konferensi Khilafah Internasional (KKI) tahun 2007 di Gelora Bung Karno yang diadakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia, isu penegakkan syariat Islam terus bergulir. Berbagai respon muncul. Ada yang merespon positif, ada juga yang merespon negatif.

Bagi kalangan yang setuju terhadap tegaknya hukum Allah, konferensi tersebut akan disambut baik. Tetapi bagi orang (Islam) yang tidak ingin hukum Tuhan (Allah) tegak di Indonesia, konferensi tersebut dianggap sebagai sesuatu yag mengusik sehingga harus gerakannya harus dipadamkan. Berbagai stigma negatif kemudian dialamatkan, baik kepada syariah Islam sendiri maupun kepada kelompok penyerunya. Hal tersebut memang dilakukan sebagai upaya membendung syariat Islam tegak di Indonesia. Mereka berupaya menggembosi gerakan tersebut dengan berbagai modusnya.

Setidaknya ada empat langkah yang ditempuh Barat untuk membendung gerakan syariah Islam:

Pertama:
Propaganda opini dan pemikiran yang seolah-olah berasal dari Islam, tetapi hakikatnya tidak. Misalnya saja, HAM dan demokrasi. Kita tahu, hak asasi manusia (human rights) tidak pernah dikenal di dalam Islam. Human rights hanya dikenal di Barat. Ide ini semakin kokoh dengan dikeluarkannya Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia pada tahun 1948 oleh PBB. HAM dianggap sebagai bagian dari ajaran islam. Ayat yang sering dikutip adalah sebagai berikut,

Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaku. Aku tidak menghendaki sedikitpun rezeki dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allahlah Maha Pemberi Rezeki, Pemilik Kekuatan, lagi Maha Kokoh.” (QS. Adz Dzariyat: 56-58)

Demikian pula demokrasi. Demokrasi seringkali dikait-kaitkan dengan Islam. Katanya: demokrasi itu ada dalam Islam, sebab demokrasi tidak lain adalah musyawarah itu sendiri. Demokrasi dikatakan musyawarah?! Sungguh sangat dangkal! Kemudian disama-samakan bahwa parlemen adalah bentuk dari musyawarah dalam konteks besar, yaitu untuk urusan kenegaraan. Padahal demokrasi lahir dari pemikiran Islam. Mana pernah ada kata demokrasi dalam Alquran? Tidak pernah ada. Al dimuqrathiyyah adalah istilah baru yang diadopsi oleh orang-orang yang menyerukan demokrasi.

Jadi, dengan opini dan propaganda ini mereka membumbuinya dengan ayat-ayat Allah. Padahal pengadopsian kedua ide buruk rupa ini adalah bentuk dari pengokohan terhadap ide sekulerisme dan pemberangusan terhadap ide Islam.

Kedua:
Memunculkan tokoh-tokoh antisyariah. Dari kasus ini, Barat senantiasa mendorong penguasa untuk tidak saja menghancurkan Islam yang dianggap ‘radikal’, tetapi juga mempromosikan alternatif-alternatif lainnya. Artinya, tokoh-tokoh pro syariah diberikan stigma negatif, sedangkan yang menentang syariah justru dibesar-besarkan.

Jika Anda ingast kasus Aa Gym yang berpoligami, maka ini adalah buktinya. Beliau disudutkan berbagai macam media. Saking menguatnya kasus tersebut, bahkan pemerintah berupaya untuk mengubah UU Perkawinan, khususnya tentang poligami. Aa Gym dianggap tidak menghargai hak-hak perempuan dan menzalimi istri pertamanya. Padahal pada waktu yang sama terjadi perselingkuhan antara anggota DPR. Tetapi si anggota DPR tersebut tidak tersentuh hukum sama sekali. Lebih aneh lagi, pemerintah tidak memberikan komentar apapun terkait hal ini.

Hal yang lain lagi adalah pencitraburukan Ustadz Abu Bakar Baasyir. Walaupun Ustadz Abu tidak pernah terbukti terkait jaringan terorisme, tetapi beliau tetap saja dijerat.

Ketiga:
Pengkotak-kotakan islam dan adu domba. Pengkotak-kotakan Islam ini bertujuan untuk memecahbelah. Ada istilah Islam Modernis-Islam Tradisionalis, Islam Fundamentalis-Islam Moderat, Islam Kultural-Islam Struktural, dan lain-lain. Dengan cara seperti ini, tentu akan sangat berbahaya. Umat Islam yang satu akan mudah memusuhi umat Islam lain hanya karena terprovokasi pemikiran Barat ini. Hanya gara-gara masalah furu’ (cabang) lalu umat Islam yang satu mudah memandang rendah umat Islam yang lain. Orang yang salat subuhnya memakai qunut, enggan bergaul atau dengan orang yang salat subuhnya tidak memakai qunut. Orang yang memakai celana di atas mata kaki enggan bergaul dengan orang yang celananya di bawah mata kaki, dan lain sebagainya.

Pemecahbelahan serta adu domba umat islam juga terjadi di bidang politik, yaitu dengan menerapkan nasionalisme. Dulu kaum muslimin itu satu negara, sekarang terpecah menjadi banyak negara. Umat Islam negara Indonesia enggan membantu melenyapkan orang Yahudi yang menjajah umat Islam di Palestina hanya gara-gara sifat kebangsaan. Umat Islam Indonesia berseteru dengan umat Islam Malaysia hanya gara-gara masalah wilayah. Paham rendahan semacam nasionalisme ini benar-benar telah memecah belah kaum muslimin.

Benar sekali para penjajah mengadu domba sesama muslim. Dalam ungkapan Arab “Farriq-tassud!” yang berarti “Pecah! Perintahlah!” maka orang-orang Barat telah berhasil menjadikan umat Islam terpecah belah di bawah penguasa-penguasa boneka Barat. Demikian pula tatkala Belanda menyerukan politik devide et impera (pecah belah). Lihatlah Kesultanan Mataram! Kesultanan Agung itu dipecah menjadi empat kekuasaan kecil: kesultanan Yogyakarta, Pakualaman Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, dan Mangkunegaran Surakarta. Lihat pula perseteruan yang terjadi di Kesultanan Banten: Sultan Ageng Tirtayasa diadu domba dengan putranya, Sultan Haji. Na’udzubillah!

Keempat:
Negara membentuk beberapa perundang-undangan yang anti-Islam. Lihatlah UU Terorisme, UU Intelijen, UU KDRT, UU Pornografi, dan lain-lain.

Dalam kasus dukungan partai-partai besar untuk kembali kepada asas tunggal Pancasila, sebenarnya motif utama dari isu ini adalah ingin menghadang laju gerakan syariah Islam. Apalagi isu asas tunggal Pancasila itu adalah untuk mencegah terjadinya separatisme. Alasan ini jelas mengada-ada dan mudah dibantah. Sebab gerakan separatisme justru banyak terjadi di daerah yang dimpinpin oleh gubernur dari partai nasionalis (seperti PDIP dan Golkar) dan parlemennya juga dikuasai oleh mereka.

Demikianlah. Berbagai upaya dilakukan untuk menghadang laju gerakan syariah Islam. Orang-orang (Islam) itu adalah orang yang paling memusuhi syariah Islam. Mereka tidak ingin hukum yang dibuat Tuhan mereka tegak di negeri mereka. Padahal bumi ini milik Allah swt.(Tuhan mereka).