Berikut ini adalah salah satu bab dalam buku Demokrasi; Sesuai dengan Ajaran Islam? Karya Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy
Demokrasi
adalah agama kafir buatan, dan pemeluknya ada yang berstatus sebagai
tuhan yang membuat hukum serta ada yang berstatus sebagai pengikut yang
menyembah tuhan-tuhannya itu
Ketahuilah
sesungguhnya kata demokrasi yang busuk ini diambil dari bahasa Yunani
bukan dari bahasa Arab. Kata ini merupakan ringkasan dari gabungan dua
kata: demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti hukum atau kekuasaan atau wewenang membuat aturan (tasyri').
Jadi terjemahan harfiah dari kata demokrasi adalah: Hukum rakyat atau
kekuasaan rakyat. Dan makna itu merupakan makna demokrasi yang paling
esensial menurut para pengusungnya.
Karena makna inilah mereka selalu bangga dengan memujinya, padahal makna ini (hukum, tasyri' dan kekuasaan rakyat) wahai saudaraku muwahhid,
pada waktu yang bersamaan merupakan salah satu dari sekian ciri khusus
kekafiran, kemusyrikan serta kebatilan yang sangat bertentangan dan
berseberangan dengan dinul Islam dan millatut tauhid, karena
engkau telah mengetahui bahwa inti dari segala inti yang karenanya Allah
menciptakan makhluk-Nya, dan menurunkan kitab-kitab-Nya serta mengutus
rasul-rasul-Nya, dan yang merupakan ikatan yang paling agung di dalam
Islam ini, yaitu adalah tauhidul ibadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala saja dan menjauhi ibadah kepada selain-Nya. Dan karena sesungguhnya taat dalam tasyri'
merupakan bagian dari ibadah yang wajib hanya ditujukan kepada Allah
semata, dan kalau seandainya orang tidak merealisasikannya maka dia itu
menjadi orang musyrik yang digiring bersama orang-orang yang binasa.
Ciri
khusus ini sama saja baik diterapkan dalam demokrasi sesuai dengan
ajaran demokrasi itu yang sebenarnya, sehingga keputusan (hukum) yang
dirujuk itu adalah diserahkan kepada seluruh rakyat atau mayoritas
mereka, sebagaimana yang menjadi impian tertinggi para demokrat dari
kalangan orang-orang sekuler atau orang-orang yang mengaku Islam. Atau
hal itu (ciri khusus demokrasi) diterapkan seperti yang ada pada
kenyataannya sekarang, di mana demokrasi itu (pada praktiknya) adalah
keputusan (hukum) segolongan para penguasa dan kroni-kroninya dari
kalangan keluarga dekatnya, atau para pengusaha besar dan konglomerat
yang di mana mereka menguasai modal-modal usaha dan sarana-sarana
informasi yang dengan perantaraannya mereka bisa mendapatkan kursi atau
memberikan kursi parlemen (yang merupakan sarang kemusyrikan) kepada
orang-orang yang mereka sukai, sebagaimana tuhan mereka (sang raja atau
amir/presiden) bisa kapan saja dan bagaimana saja alasannya membubarkan
dan memberlangsungkan majelis (syirik) itu.
Jadi,
demokrasi dengan sisi mana saja dari kedua sisi (praktik) itu merupakan
kekafiran terhadap Allah Yang Maha Agung, dan syirik terhadap Rabb
langit dan bumi, serta bertentangan dengan millatut tauhid dan din para Rasul, berdasarkan alasan-alasan yang banyak, di antaranya:
1. Sesungguhnya demokrasi adalah tasyri'ul jamaahir (penyandaran wewenang hukum kepada rakyat/atau mayoritasnya) atau hukum thaghut, dan bukan hukum Allah subhanahu wa ta'ala, sedangkan Allah subhanahu wa ta'ala
memerintahkan nabi-Nya untuk menghukumi sesuai dengan apa yang telah
Dia turunkan kepadanya, serta Dia melarangnya dari mengikuti keinginan
umat, atau mayoritas orang atau rakyat, Dia menghati-hatikan nabi-Nya
agar jangan sampai mereka memalingkan dia dari apa yang telah Allah
turunkan kepadanya, Allah subhaanahu wa ta'aala berfirman:
”Dan
hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan
kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. Al Maidah: 49)
Ini dalam ajaran tauhid dan dinul Islam.
Adapun dalam agama demokrasi ada ajaran syirik, maka para penyembahnya berkata:
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diinginkan rakyat, dan ikutilah keinginan mereka. Dan berhati-hatilah
kamu jangan sampai kamu dipalingkan dari apa yang mereka inginkan dan
mereka tetapkan hukumnya." Begitulah mereka katakan dan inilah yang
diajarkan dan ditetapkan oleh agama demokrasi. Ini merupakan kekafiran
yang jelas dan kemusyrikan yang terang bila mereka menerapkannya. Namun
demikian para ulama kaum musyrikin tetap mengatakan demokrasi adalah
syura di mana kita harus ikut andil di dalamnya dan untuk
merealisasikannya. Mereka mengutip ayat-ayat dan hadits untuk mengelabui
masyarakat dan para pemuda yang memiliki semangat namun tak memiliki
tauhid. Thaghut-thaghut pun rela dan ridha dan menghargai mereka dan
mengatakan mereka adalah orang-orang Islam yang demokrat.
Sesungguhnya
mereka adalah ulama kaum musyrikin, mereka ulama karena tahu banyak
tentang fiqh, hadits dan tafsir, serta aliran-aliran sesat, namun mereka
tak memiliki tauhid. Namun ketahuilah sesungguhnya satu orang awam dari
kalangan muwahhidin yang memiliki silah (senjata) mampu menaklukan seribu dari kalangan ulama kaum musyrikin.
Namun
demikian sesungguhnya kenyataan mereka lebih busuk dari itu, sebab bila
seseorang mau mengatakan tentang keadaan praktik mereka tentu dia pasti
mengatakan: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka
menurut apa yang diinginkan oleh para thaghut dan kroni-kroninya, dan
janganlah satu hukum dan satu undang-undang dibuat kecuali setelah ada
pengesahan dan persetujuannya…!!!
Sungguh ini adalah kesesatan yang terang lagi nyata, bahkan penyekutuan (Khalik) dengan hamba secara aniaya.
2.
Karena sesungguhnya itu adalah hukum rakyat atau thaghut yang sesuai
dengan undang-undang dasar, bukan yang sesuai dengan syari'at Allah subhanahu wa ta'ala.
Begitulah yang ditegaskan oleh undang-undang dasar dan buku-buku
panduan mereka yang mereka sakralkan dan mereka sucikan lebih dari
pensucian mereka terhadap Alquran dengan bukti bahwa hukum undang-undang
itu lebih didahulukan terhadap hukum dan syariat Alquran lagi
mendiktenya. Dalam undang-undang dasar Kuwait pasal VI ditegaskan:
Rakyat adalah sumber kekuasaan seluruhnya". Dan dalam pasal 51:
Kekuasaan legislatif berada di tangan amir dan majlis rakyat sesuai
dengan undang-undang dasar". Dan di dalam undang-undang dasar Yordania
pasal ke 24: Rakyat adalah sumber segala kekuasaan (hukum)".
Dan
rakyat menjalankan kekuasaan legislatifnya sesuai dengan cara yang
telah tertera undang-undang dasar dalam agama demokrasi, hukum, dan
perundang-undangan yang mereka buat tidak bisa diterima (bila memang
mereka memutuskan) kecuali bila keputusan itu berdasarkan nash-nash
undang-undang dasar dan sesuai dengan materi-materinya, karena
undang-undang itu adalah induk segala peraturan dan perundang-undangan
serta kitab hukumnya yang mereka jungjung tinggi.
Dalam agama demokrasi ini ayat-ayat Alquran atau hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
tidak begitu dianggap, dan tidak mungkin suatu hukum atau undang-undang
ditetapkan sesuai dengan ayat atau hadits kecuali bila hal itu sejalan
dengan nash-nash undang-undang dasar yang mereka jungjung tinggi.
Silahkan engkau tanyakan hal itu kepada para pakar hukum dan perundang-undangan bila engkau masih ragu tentangnya!!
Sedangkan Allah subhaanahu wa ta'aala berfirman:
"Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An Nisa': 59)
Padahal agama demokrasi mengatakan: Bila
kalian berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikan kepada
rakyat, majlis perwakilannya, dan rajanya sesuai dengan undang-undang
dasar dan aturan yang berlaku di bumi ini."
Enyahlah kalian dan enyah pula apa yang kalian sembah selain Allah, kenapa kalian tidak berpikir? Bukankah Allah subhanahu wa ta'ala
telah mengabarkan kepada kita bahwa perkataan ini adalah yang
dilontarkan oleh Ibrahim kepada kaumnya setelah dia menjelaskan kepada
mereka keburukan tuhan-tuhan mereka dan para thaghutnya.
Oleh
sebab itu bila mayoritas rakyat menghendaki penerapan hukum syariat
lewat jalur agama demokrasi ini dan lewat lembaga legislatif yang syirik
ini, maka itu tidak bisa terealisasi (ini bila thaghut
mempersilahkannya) kecuali lewat jalur undang-undang serta dari arah
pasal-pasal dan penegasan undang-undang tersebut, karena itu adalah
kitab suci agama demokrasi, atau silahkan katakan itu adalah Tauratnya
dan Injilnya yang sudah dirubah sesuai dengan hawa nafsu dan keinginan
selera mereka.
Di kala hukum Allah hendak ditetapkan
sebagai hukum Negara yang beragama demokrasi, maka hukum Allah itu harus
disodorkan terlebih dahulu kepada para arbaab (tuhan-tuhan
buatan) yang duduk di atas kursi yang empuk itu, bila mayoritas mereka
menyetujuinya, baru bisa diterapkan, dan bila tidak maka tidak bisa
diberlakukan. Subhanallah, siapa yang lebih tinggi, Allah atau
mereka, sehingga hukum Allah memerlukan persetujuan dan pengesahan
mereka terlebih dahulu. Orang-orang yang katanya ingin memperjuangkan
Islam lewat parlemen mereka adalah arbaab juga, apakah Islam
bisa tegak lewat jalur syirik, ingatlah ketika hukum-hukum Islam
digolkan lewat lembaga syirik itu, maka yang disahkan itu bukanlah hukum
Allah tapi itu adalah hukum parlemen. Kita bertanya kepada orang-orang
yang sesat lagi menyesatkan itu, bagaimana bila para thaghut itu
menawarkan kepada kalian hukum Islam namun dengan syarat kalian harus
berzina terlebih dahulu, apakah kalian mau menerimanya? Kalau kalian
jawab tidak, maka kenapa kalian menerima bergabung dengan kemusyrikan
mereka, padahal zina itu lebih ringan dari syirik ? Binasalah kalian,
kecuali bila Allah memberi hidayah kepada kalian sehingga kalian masuk
Islam kembali.
3. Sesungguhnya demokrasi adalah buah dari
agama sekuler yang sangat busuk, dan anaknya yang tidak sah, karena
sekulerisme adalah paham kafir yang intinya memisahkan agama dari
tatanan kehidupan, atau memisahkan agama dari negara dan hukum.
Sedangkan
demokrasi adalah hukum rakyat (atau dalam istilah lain dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat) atau hukum thaghut. Namun bagaimana pun
keadaannya sesungguhnya demokrasi bukanlah hukum Allah Yang Maha Besar
lagi Maha Perkasa. Demokrasi sama sekali tidak mempertimbangkan hukum
Allah yang muhkam kecuali bila sesuai dan sejalan sebelumnya dengan
undang-undang yang berlaku, dan kedua sesuai dengan keinginan rakyat,
serta sebelum itu semua harus sesuai dengan selera para thaghut dan
kroni-kroninya.
Oleh sebab itu, bila rakyat seluruhnya mengatakan kepada thaghut atau kepada arbaab (tuhan-tuhan) dalam demokrasi: “Kami ingin penerapan hukum Allah, dan tidak seorangpun memiliki hak tasyri'
selama-lamanya baik itu rakyat atau para wakilnya atau penguasa. Kami
ingin menerapkan hukum Allah terhadap orang-orang murtad, pezina,
pencuri, peminum khamr, dan kami juga ingin para wanita diwajibkan
berhijab dan 'afaaf, melarang tabarruj, buka-bukaan, porno, cabul, zina, liwath
(homo), dan perbuatn keji lainnya,” maka dengan sepontan para thaghut
dan para penghusung demokrasi itu akan mengatakan kepada mereka: Ini
bertentangan dengan paham demokrasi dan kebebasannya!!!
Jadi,
inilah kebebasan agama demokrasi: melepaskan diri dari agama Allah,
syariat-Nya, dan melanggar batasan-batasannya. Adapun hukum
undang-undang bumi dan aturannya maka itu selalu dijaga, dijunjung
tinggi dan disucikan (disakralkan) serta dilindungi dalam agama
demokrasi mereka yang busuk, bahkan orang yang berusaha melanggarnya,
menentangnya, atau menggugurkannya dia akan merasakan sangsinya.
Enyahlah kalian, enyahlah kalian, enyahlah kalian
Enyahlah kalian, hingga lisan ini merasa kelelahan.
Jadi, demokrasi (wahai saudara setauhid) adalah agama baru di luar agama Allah subhanahu wa ta'ala. Sesungguhnya dia adalah hukum thaghut dan bukan hukum Allah subhanahu wa ta'ala.
Sesungguhnya dia adalah syariat para tuhan yang banyak lagi bertolak
belakang, bukan syariat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Dan siapa
orangnya yang menerima (demokrasi ini), serta bersekongkol di atasnya
maka dia itu pada hakikatnya telah menerima bahwa dia itu memiliki hak tasyri'
(wewenang membuat hukum) sesuai dengan materi-materi undang-undang yang
berlaku, dan berarti dia telah menerima (kesepakatan) bahwa hukum yang
dia buat itu lebih didahulukan atas syariat Allah Yang Maha Esa lagi
Maha perkasa.
Sama saja setelah itu apakah dia membuat
hukum atau tidak, sama saja apakah dia (partainya) menang dalam pemilu
(pesta syirik) atau tidak, karena kesepakatan dia bersama kaum musyrikin
terhadap paham demokrasi, dan penerimaannya terhadap paham ini agar
menjadi putusan dan hukum yang dirujuk serta kekuasaannya di atas
kekuasaan Allah, kitab-Nya dan syariat-Nya merupakan alkufru bi 'ainihi
(kekafiran dengan sendirinya), ini adalah kesesatan yang nyata lagi
terang, bahkan itu adalah kemusyrikan (penyekutuan) terhadap Allah
secara membabi buta.
Rakyat dalam agama demokrasi adalah
diwakili oleh para wakilnya (para anggota dewan), setiap kelompok
(organisasi), atau partai, atau suku memilih Rabb (tuhan buatan) dari arbaab yang beragam asal usulnya untuk menetapkan hukum dan perundang-undangan sesuai dengan selera dan keinginan mereka.
Namun
ini sebagaimana yang sudah diketahui sesuai dengan rambu-rambu dan
batasan undang-undang yang berlaku. Di antara mereka ada yang mengangkat
(memilih) sembahan dan pembuat hukumnya sesuai dengan asas dan
ideologi, baik itu Rabb (tuhan) dari partai fulan, atau tuhan dari
partai itu. Dan di antara mereka ada yang memilih tuhannya sesuai dengan
ras dan kesukuan, sehingga ada tuhan dari kabilah ini dan ada tuhan
berhala dari kabilah itu. Di antara mereka ada yang memilih tuhannya
yang salafi (menurut klaim mereka), pihak yang lain ada yang memilih
tuhannya yang ikhwani. Ada sembahan yang berjenggot, ada tuhan yang
jenggotnya dicukur habis, dan seterusnya.
"Apakah
mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk
mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tidak ada ketetapan
yang menentukan (dari Allah)tentulah mereka telah dibinasakan. Dan
sesungguhnya orang-orang yang zalim itu bagi mereka adzab yang sangat
pedih " (QS. Asy Syura: 21)
Para wakil rakyat itu
pada hakikatnya mereka adalah autsaan (berhala-berhala) yang dipajang
dan patung-patung yang disembah, serta tuhan-tuhan jadi-jadian yang
diangkat di tempat-tempat ibadah mereka dan sarang-sarang paganisme
mereka (parlemen), mereka dan para pengikutnya beragama demokrasi dan
patuh kepada hukum undang-undang, kepada undang-undang itu mereka
merujuk hukum serta sesuai dengan materi dan poin-poin undang-undang itu
mereka membuat hukum dan perundang-undangan.
Dan sebelum
itu semua mereka dikendalikan oleh tuhan mereka, sembahan mereka atau
berhala agung mereka yang merestui dan menyetujui undang-undang mereka
atau menolaknya. Itu tidak lain dan tidak bukan adalah emir atau raja,
atau presiden.
Inilah (wahai saudara setauhid) adalah hakikat demokrasi dan ajarannya, agama thaghut, bukan agama Allah. Demokrasi adalah millatul musyrikin bukan millatun nabiyyiin.
“Syari'at” banyak tuhan yang selalu saling bersebrangan dan
berbantah-bantahan, bukan syari'at Allah yang Esa lagi Maha Perkasa.
“Manakah
yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha
Esa lagi Maha Perkasa ? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali
hanya menyembah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya.
Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. (QS. Yusuf: 39-40)
Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Maha Tinggi Allah terhadap apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya). (QS. An Naml: 63)
Hendaklah
engkau memilih wahai hamba Allah! Memilih agama Allah, syariat-Nya yang
suci, dan cahaya-Nya yang menerangi, serta jalan-Nya yang lurus.
Ataukah kalian memilih paham/agama demokrasi dengan kemusyrikannya,
kekufurannya, dan jalannya yang bengkok lagi tertutup?!. Pilihlah!!
hukum Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa atau hukum thaghut!!
Sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu barang
siapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka ia
sesungguhnya telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak
akan terputus… (QS. Al Baqarah: 256)
Dan
katakanlah "Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman dan barangsiapa yang ingin (kafir)
biarlah ia kafir." Sesungguhnya telah Kami sediakan bagi orang-orang
zhalim itu neraka… (QS. Al Kahfi: 29)
Maka
apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal
kepada-Nyalah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi,
baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka
dikembalikan. Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada
apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim,
Ismail, Ishaq, Ya'qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada
Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan
seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nyalah kami menyerahkan
diri. Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 83-85)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar