Diakui atau tidak, suara umat untuk menegakkan syariat Islam semakin
menguat. Dari hari ke hari, suara tuntutan penegakkan syariat Islam itu
semakin membahana dari ujung Barat Indonsia hingga Merauke di Papua.
Sejak Konferensi Khilafah Internasional (KKI) tahun 2007 di Gelora Bung
Karno yang diadakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia, isu penegakkan syariat
Islam terus bergulir. Berbagai respon muncul. Ada yang merespon
positif, ada juga yang merespon negatif.
Bagi kalangan
yang setuju terhadap tegaknya hukum Allah, konferensi tersebut akan
disambut baik. Tetapi bagi orang (Islam) yang tidak ingin hukum Tuhan
(Allah) tegak di Indonesia, konferensi tersebut dianggap sebagai sesuatu
yag mengusik sehingga harus gerakannya harus dipadamkan. Berbagai
stigma negatif kemudian dialamatkan, baik kepada syariah Islam sendiri
maupun kepada kelompok penyerunya. Hal tersebut memang dilakukan sebagai
upaya membendung syariat Islam tegak di Indonesia. Mereka berupaya
menggembosi gerakan tersebut dengan berbagai modusnya.
Setidaknya ada empat langkah yang ditempuh Barat untuk membendung gerakan syariah Islam:
Pertama:
Propaganda
opini dan pemikiran yang seolah-olah berasal dari Islam, tetapi
hakikatnya tidak. Misalnya saja, HAM dan demokrasi. Kita tahu, hak asasi
manusia (human rights) tidak pernah dikenal di dalam Islam. Human
rights hanya dikenal di Barat. Ide ini semakin kokoh dengan
dikeluarkannya Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia pada tahun 1948
oleh PBB. HAM dianggap sebagai bagian dari ajaran islam. Ayat yang
sering dikutip adalah sebagai berikut,
“Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaku. Aku
tidak menghendaki sedikitpun rezeki dari mereka dan Aku tidak
menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allahlah Maha
Pemberi Rezeki, Pemilik Kekuatan, lagi Maha Kokoh.” (QS. Adz Dzariyat: 56-58)
Demikian
pula demokrasi. Demokrasi seringkali dikait-kaitkan dengan Islam.
Katanya: demokrasi itu ada dalam Islam, sebab demokrasi tidak lain
adalah musyawarah itu sendiri. Demokrasi dikatakan musyawarah?! Sungguh
sangat dangkal! Kemudian disama-samakan bahwa parlemen adalah bentuk
dari musyawarah dalam konteks besar, yaitu untuk urusan kenegaraan.
Padahal demokrasi lahir dari pemikiran Islam. Mana pernah ada kata
demokrasi dalam Alquran? Tidak pernah ada. Al dimuqrathiyyah adalah
istilah baru yang diadopsi oleh orang-orang yang menyerukan demokrasi.
Jadi,
dengan opini dan propaganda ini mereka membumbuinya dengan ayat-ayat
Allah. Padahal pengadopsian kedua ide buruk rupa ini adalah bentuk dari
pengokohan terhadap ide sekulerisme dan pemberangusan terhadap ide
Islam.
Kedua:
Memunculkan
tokoh-tokoh antisyariah. Dari kasus ini, Barat senantiasa mendorong
penguasa untuk tidak saja menghancurkan Islam yang dianggap ‘radikal’,
tetapi juga mempromosikan alternatif-alternatif lainnya. Artinya,
tokoh-tokoh pro syariah diberikan stigma negatif, sedangkan yang
menentang syariah justru dibesar-besarkan.
Jika Anda
ingast kasus Aa Gym yang berpoligami, maka ini adalah buktinya. Beliau
disudutkan berbagai macam media. Saking menguatnya kasus tersebut,
bahkan pemerintah berupaya untuk mengubah UU Perkawinan, khususnya
tentang poligami. Aa Gym dianggap tidak menghargai hak-hak perempuan dan
menzalimi istri pertamanya. Padahal pada waktu yang sama terjadi
perselingkuhan antara anggota DPR. Tetapi si anggota DPR tersebut tidak
tersentuh hukum sama sekali. Lebih aneh lagi, pemerintah tidak
memberikan komentar apapun terkait hal ini.
Hal yang lain
lagi adalah pencitraburukan Ustadz Abu Bakar Baasyir. Walaupun Ustadz
Abu tidak pernah terbukti terkait jaringan terorisme, tetapi beliau
tetap saja dijerat.
Ketiga:
Pengkotak-kotakan
islam dan adu domba. Pengkotak-kotakan Islam ini bertujuan untuk
memecahbelah. Ada istilah Islam Modernis-Islam Tradisionalis, Islam
Fundamentalis-Islam Moderat, Islam Kultural-Islam Struktural, dan
lain-lain. Dengan cara seperti ini, tentu akan sangat berbahaya. Umat
Islam yang satu akan mudah memusuhi umat Islam lain hanya karena
terprovokasi pemikiran Barat ini. Hanya gara-gara masalah furu’ (cabang)
lalu umat Islam yang satu mudah memandang rendah umat Islam yang lain.
Orang yang salat subuhnya memakai qunut, enggan bergaul atau dengan
orang yang salat subuhnya tidak memakai qunut. Orang yang memakai celana
di atas mata kaki enggan bergaul dengan orang yang celananya di bawah
mata kaki, dan lain sebagainya.
Pemecahbelahan serta adu
domba umat islam juga terjadi di bidang politik, yaitu dengan menerapkan
nasionalisme. Dulu kaum muslimin itu satu negara, sekarang terpecah
menjadi banyak negara. Umat Islam negara Indonesia enggan membantu
melenyapkan orang Yahudi yang menjajah umat Islam di Palestina hanya
gara-gara sifat kebangsaan. Umat Islam Indonesia berseteru dengan umat
Islam Malaysia hanya gara-gara masalah wilayah. Paham rendahan semacam
nasionalisme ini benar-benar telah memecah belah kaum muslimin.
Benar
sekali para penjajah mengadu domba sesama muslim. Dalam ungkapan Arab
“Farriq-tassud!” yang berarti “Pecah! Perintahlah!” maka orang-orang
Barat telah berhasil menjadikan umat Islam terpecah belah di bawah
penguasa-penguasa boneka Barat. Demikian pula tatkala Belanda menyerukan
politik devide et impera (pecah belah). Lihatlah Kesultanan Mataram!
Kesultanan Agung itu dipecah menjadi empat kekuasaan kecil: kesultanan
Yogyakarta, Pakualaman Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, dan
Mangkunegaran Surakarta. Lihat pula perseteruan yang terjadi di
Kesultanan Banten: Sultan Ageng Tirtayasa diadu domba dengan putranya,
Sultan Haji. Na’udzubillah!
Keempat:
Negara
membentuk beberapa perundang-undangan yang anti-Islam. Lihatlah UU
Terorisme, UU Intelijen, UU KDRT, UU Pornografi, dan lain-lain.
Dalam
kasus dukungan partai-partai besar untuk kembali kepada asas tunggal
Pancasila, sebenarnya motif utama dari isu ini adalah ingin menghadang
laju gerakan syariah Islam. Apalagi isu asas tunggal Pancasila itu
adalah untuk mencegah terjadinya separatisme. Alasan ini jelas
mengada-ada dan mudah dibantah. Sebab gerakan separatisme justru banyak
terjadi di daerah yang dimpinpin oleh gubernur dari partai nasionalis
(seperti PDIP dan Golkar) dan parlemennya juga dikuasai oleh mereka.
Demikianlah.
Berbagai upaya dilakukan untuk menghadang laju gerakan syariah Islam.
Orang-orang (Islam) itu adalah orang yang paling memusuhi syariah Islam.
Mereka tidak ingin hukum yang dibuat Tuhan mereka tegak di negeri
mereka. Padahal bumi ini milik Allah swt.(Tuhan mereka).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar