Kita seringkali merasakan kebingungan sebagai seorang muslim ketika
berhadapan dengan peradaban Barat. Di satu sisi kita dituntut untuk
meninggikan Islam, tetapi di sisi lain kita tidak terlepas dari berbagai
realitas (fakta) yang bersumber dari Barat, yang notabene sangat
memusuhi Islam. Kemudian muncullah berbagai macam asumsi dan berbagai
macam pandangan di kalangan umat Islam, misalnya “Katanya menolak Barat,
tapi kok pakai teknologi dari Barat?”, “Katanya segala sesuatu yang
baru itu bid’ah, tapi kok pakai barang-barang yang ditemukan orang
kafir?”. Jika kita tidak berhati-hati dalam masalah ini, tentu kita akan
terjebak dalam dualisme pemahaman yang bertolak belakang.
Pertanyaannya: Apakah semua hal yang berkaitan dengan Barat harus
ditolak? Jika tidak, mana hal-hal yang harus ditolak dan boleh untuk
diambil?
Di kala begitu banyak orang mengalami kebingungan
untuk menjawab berbagai pertanyaan di atas dan yang sejenisnya, ada
sebuah kajian menarik dari Syaikh Taqiyuddin An Nabhani. Dalam kitabnya
Nizhamul Islam, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani membedakan antara hadharah
dan madaniyah. Hadharah adalah sekumpulan mafahim (pemahaman, pandangan
hidup) yang dianut dan mempunyai fakta tentang kehidupan. Sedangkan
madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera
yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Hadharah memiliki sifat
khas, tetapi kadang-kadang bersifat umum. Sedangkan madaniyah adalah
berkaitan benda-benda hasil teknologi atau hasil peradaban suatu umat
tertentu.
Seluruh hadharah yang berasal dari selain Islam
hukumnya haram untuk diambil. Mengapa demikian? Sebab ada perbedaan
mendasar dari hadharah Islam dan hadharah selain Islam. Hadharah Islam
bisa diambil, sebab berpijak dari Alquran dan Sunnah. Sedangkan hadharah
Barat, berangat dari selain Alquran dan Sunah. Artinya, hadharah selain
Islam bisa berangkat dari pemikiran manusia yang berangkat entah dari
mana, yang jelas tidak dari Alquran dan Sunah.
Banyak
orang menyatakan bahwa demokrasi itu adalah hadharah Islam, sebab juga
‘diambil’ dari Alquran dan Sunnah. Mereka menyatakan bahwa Islam
menghalalkan musyawarah, maka demokrasi pun halal. Pernyataan ini jelas
sangat ngawur dan serampangan. Kelihatan sekali, orang yang
menyatakannya tidak melihat realitas (fakta) demokrasi dan musyawarah
secara menyeluruh, alias setengah-setengah. Mereka mengokohkan pendapat
mereka dengan QS. Asy Syura: 37-38. Dalam ayat tersebut terdapat
penggalan ayat: Wa amruhum syuuraa bainahum (sedangkan urusan
mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka). Syura yang
dimaksud di sini disamakan dengan demokrasi. Ini sebuah kesalahan besar.
Jika
ditelusur, demokrasi (kadang-kadang) memang menggunakan musyawarah.
Tetapi harus dilihat, asas demokrasi adalah sekulerisme. Inilah yang
menjadi permasalahannya. Artinya, asas ‘musyawarah’ demokrasi memang
sekuler. Jadi untuk menentukan halal atau haram, dilakukan atau tidak,
diputuskan atau tidak, semuanya berdasarkan hawa nafsu manusia, bukan
Alquran dan Sunnah. Dan itu semua diambil dengan suara terbanyak.
Seolah-olah suara terbanyak mewakili kebaikan semua pihak. Ini jelas
tidak benar. Sebab, yang menentukan halal-haram, diputuskan atau tidak
sebuah kebijakan, tetap semua berangkat dari Alquran dan Sunnah, bukan
dari akal manusia. Jadi, demokrasi bukanlah hadharah Islam, tetapi
memang hadharah Barat yang sangat bertentangan dengan Islam. Sebab, asas
musyawarah adalah pada Alquran dan Sunnah, bukan kehendak manusia
sendiri.
Satu contoh Indonesia. Untuk menentukan apakah
riba itu halal atau haram, jelas tidak bisa dilakukan dengan musyawarah.
Tetapi dengan dalil-dalil syariah yang berasal dari Alquran dan Sunnah.
Tetapi di Indonesia, boleh tidaknya riba ditentukan berdasarkan
musyawarah parlemen. Ini jelas tidak benar. Allah telah menegaskan: Wa ahalallaahul bai’a wa harramar ribaa (dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba). Demikian juga sabda Rasulullah: Ar ribaa tsalaatsatun wa sab’uuna baaban, aisaruhaa mitslu an yankiha rajulu ummahu
(Riba itu memiliki 73 pintu. Yang paling ringan dosanya adalah seperti
seseorang yang mengawini ibunya), hadis riwayat Hakim dan Baihaqi.
Kemudian,
untuk menentukan apakah Freeport dan Exxon Mobile Oil boleh mengelola
kekayaan alam di Indonesia atau tidak, ternyata selama ini ditentukan
oleh kebijakan penguasa (eksekutif) dan disetujui parlemen. Ini tidak
benar. Sebab menurut hukum Islam, yang namanya kekayaan alam yang
menguasai hajat hidup orang banyak memang milik umum, bukan milik
pemerintah (negara) sehingga negara bisa dengan seenaknya jual sana jual
sini.
Padahal Rasulullah bersabda: Al muslimuuna syurakaa u fii tsalaatsatin, fil maa i, wal kala i, wannaari
(kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, air padang rumput dan api),
hadis riwayat Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah. ‘Illat kepemilikan umum
tersebut adalah sesuatu yang besar (sesuatu yang bersifat bagaikan air
mengalir). Berdasarkan hadis ini, sumber daya energi termasuk dalam
kepemilikan umum karena dua aspek: yaitu termasuk dalam kata ‘api’ serta
‘tersedia dalam jumlah yang besar. Karena milik umum, maka negara tidak
memiliki hak apa pun untuk mengambilnya, apalagi pihak asing. Justru
karena dikelola pihak asing itulah kemudian kekayaan alam di negeri ini
tidak pernah dirasakan oleh rakyat.
Sedangkan yang kedua,
adalah madaniyah. Madaniyah ada dua jenis, yaitu yang bersifat umum dan
yang bersifat khas. Yang bersifat umum seperti hasil kemajuan teknologi,
hukumnya boleh untuk diambil, sebab tidak mengandung pandangan hidup
tertentu yang berlawanan dengan Alquran dan Sunnah. Sebagai contoh
komputer. Komputer memang dihasilkan oleh teknologi Barat. Akan tetapi
mengambilnya, diperbolehkan. Sebab komputer tidak mengandung pemahaman
atau pandangan hidup tertentu. Adakah Anda menemukan komputer memiliki
pandangan hidup tertentu? Demikian pula mobil, kendaraan, dan handphone.
Termasuk juga berbagai jenis perangkat IT seperti internet, facebook,
web browser, twitter; perangkat lunak seperti Windows, Linux, Unix, dan
sebagainya. Adakah Anda menemukan pandangan hidup tertentu di dalam
benda-benda atau software tersebut?
Hal ini pernah
dilakukan Rasulullah dan para sahabat ketika mengambil hasil teknologi
dan hasil budaya orang-orang kafir, sebab tidak mengandung pandangan
hidup tertentu. Rasulullah pernah menggunakan senjata Dababah dan
Manjaniq buatan orang kafir. Dababah adalah sebuah alat tempur yang
memiliki moncong berupa kayu besar yang digunakan untuk menggempur pintu
benteng musuh. Rasulullah saw. juga pernah menggunakan senjata Manjaniq
dalam Perang Khaibar ketika menggempur benteng An Nizar milik Yahudi
Bani Khaibar. Manjaniq adalah sebuah ketapel raksasa yang biasa
digunakan oleh orang Romawi dalam menggempur lawan.
Demikian
pula Rasulullah pernah membuat parit di sekitar kota Madinah dalam
Perang Khandaq. Salman Al Farisi, sahabat Rasulullah saw. yang berasal
dari Parsi mengusulkan agar di sekeliling kota Madinat digali parit
sebagaimana dulu dia pernah membuatnya bersama orang-orang Parsi. Umar
bin Khathab, juga pernah mengadopsi berbagai sistem administrasi
orang-orang Romawi dan Parsi untuk mengurus sistem administrasi daulah
Islamiyah. Adakah Anda menemukan pandangan hidup tertentu dari Dababah,
Manjaniq, parit yang dibagung Salman Al Farisi, dan system administrasi
Parsi yang diadopsi Umar bin Khathab? Berbagai fakta di atas menunjukkan
bahwa hasil peradaban umat selain umat Islam halal untuk diambil selama
tidak mengandung pemahaman dan pandangan hidup tertentu.
Sedangkan
madaniyah yang bersifat khas tidak boleh diambil. Maksudnya bagaimana?
Yaitu hasil peradaban selain Islam yang mengandung pandangan hidup
tertentu. Contohnya adalah benda salib. Kaum muslimi tidak boleh
mengambilnya atau memakainya dalam keadaan apa pun, sebab memiliki
pandangan hidup tertentu. Contoh lain adalah candi dan patung dewa-dewa.
Kita tidak diperkenankan untuk mengambil patung-patung dewa Yunani atau
Hindu. Sebab hal itu mengandung pandangan hidup tertentu.
Kadang-kadang
benda-benda tersebut juga ada di rumah kita tetapi bukan kita yang
meletakkan. Mungkin orang tua kita atau yang lainnya. Jika demikian,
hendaknya kita mengingatkan dengan baik-baik, jika tidak mau, itu bukan
urusan kita. Itu pilihan orang tua kita atau orang lain yang meletakkan
benda itu di rumah kita. Kita hanya wajib untuk mengingkarinya, usahakan
dengan lisan, jika tidak mampu, tentu dengan hati.
Ada
satu lagi pembahasan yang seringkali membuat orang terjebak, apakah ini
disebut bid’ah atau bukan. Dalam Kamus Al Munawir, bid’ah berarti
menciptakan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Sedangkan dalam
kitab Lisanul Arab disebutkan bahwa arti bid’ah adalah setiap hal baru
yang diada-adakan.
Sedangkan menurut beberapa ulama, penjelasan tentang bid’ah adalah sebagai berikut.
1.
Dalam kitab Mughni Al Muhtaj, Imam Asy Syarbini menyatakan bahwa
menurut Imam Syafi’i yang dimaksud dengan al muhdatsah atau sesuatu yang
baru dan diada-adakan yang menyalahi Alquran, Sunnah, dan Ijma sahabat,
maka termasuk bid’ah yang sesat.
2. Imam Izzuddin bin Abdussalam menyatakan: bid’ah adalah perbuatan yang tidak dilakukan pada masa Rasulullah saw.
3.
Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dan Imam Ibnu Rajab Al Hambali menyatakan
bahwa bid’ah adalah apa saja yang diada-adakan, yang tidak mempunyai
dasar syar’i yang ditunjukkan dalam syariat, sedangkan yang mempunyai
dasar syar’I tidak termasuk bid’ah.
4. Ibnu Taimiyah menyatakan: bid’ah adalah apa-apa yang menyalahi syariat.
5. Imam Asy Syathibi dalam kitab Al I’tisham menyatakan: bid’ah adalah thariqah
(tata cara) dalam agama yang dibuat-buat dan sebelumnya belum ada, yang
bertentangan dengan syariat, yang atas dasar bid’ah itu, pelakunya
berperilaku dan beribadah secara maksimal kepada Allah swt.
Dari
berbagai pemahaman ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa bid’ah adalah
setiap perbuatan yang tidak didatangkan oleh syariat, yaitu setiap
perbuatan yang menyalahi syariat. Perbuatan semacam ini termasuk dalam
sabda Rasulullah saw.: Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa raddun
(Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang tidak ada ketentuannya
dalam agama kami adalah tertolak), hadis riwayat Bukhari dan Muslim.
Hanya
saja tidak semua perbuatan yang tidak didatangkan oleh syariat atau
tidak ada pada masa Rasulullah saw. pasti bid’ah. Terdapat banyak sekali
perbuatan-perbuatan yang sebenarnya didasarkan pada dalil-dalil yang
bersifat umum. Perbuatan-perbuatan semacam ini tidak disebut sebagai
bid’ah. Misalnya belajar matematika, belajar IPA, mempelajari nuklir,
mempelajari sel-sel makhluk hidup dan tumbuhan, dan sebagainya. Semua
perbuatan-perbuatan ini berangkat dari dalil-dalil yang sifatnya umum,
yaitu dalil menuntut ilmu.
Demikian pula, pergi rekreasi,
menetapkan mahar berupa seperangkat alat salat, cincin, atau Alquran,
membangun tempat azan, menyalakan listrik di dalam masjid, memakai
pengeras suara ketika azan dan iqamat, dan sebagainya juga bukan
merupakan bid’ah.
Semua perbuatan di atas memang tidak
dijelaskan secara detail dan terinci, baik pada masa Rasul maupun pada
masa sahabat. Tetapi semuanya mencakup dalil-dalil yang sifatnya umum.
Dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqalani menyatakan: Sesuatu yang
diada-adakan, yang mempunyai asal (pokok) dalam syariat yang
menunjukkannya tidaklah termasuk bid’ah.
Jadi, bid;ah
adalah perbuatan yang menyalahi syariat. Ini tidak berlaku untuk semua
jenis perbuatan, tetapi hanya berlaku pada perbuatan yang telah
ditentukan tata cara (kaifiyah) pelaksanaannya oleh syariat.
Sebenarnya, syariat tidak membatasi tata cara (kaifiyah)
pelaksanaan perbuatan kecuali dalam masalah ibadah (di luar jihad).
Selain dalam masalah ibadah, syariat tidak membatasi tata cara,
melainkan hanya menentukan tata cara pengelolaannya (tasharruf). Menyalahi tasharruf
yang telah ditentukan syariat, tidak disebut bid’ah, tetapi bisa haram
atau makruh dan sebagainya sesuai dalil penunjukan larangannya.
Mendirikan
perusahaan saham, tidak termasuk kategori bid’ah, hanya saja hukumnya
haram. Memerangi orang kafir yang belum tersentuh dakwah Islam, bukan
bid’ah, tetapi hukumnya tidak boleh. Melukis wanita telanjang, tidak
termasuk bid’ah tetapi hukumnya juga tetap tidak boleh. Menganut
demokrasi, tidak terkategori bid’ah, hanya saja hukumnya haram.
Lain
halnya dengan ibadah mahdhah. Azan adalah ibadah. Tata caranya telah
ditentukan oleh syariat. Manambah satu kata atau kalimat di dalam azan,
termasuk bid’ah. Salat subuh itu dua rekaat. Menambah satu rekaat dengan
alasan cinta kepada Allah, termasuk bid’ah. Berdoa itu adalah ibadah.
Ada dalil yang menyatakan bahwa berdoa itu dengan mengangkat tangan. Ini
adalah tata cara spesifik (kaifiyah makhshushah) dalam berdoa. Oleh
karena itu, siapa saja yang menyalahinya, misal berdoa dengan
mengepalkan tangan atau dengan tangan di pinggang, jelas ini adalah
bid’ah. Haram melakukannya.
Berangkat dari hal di atas,
kemudian ada orang yang secara serampangan menyatakan “Bukankah
keberadaan konsep hadharah dan madaniyah itu sendiri juga baru? Jadi
konsep yang digagas Taqiyuddin An Nabhani itu juga bid’ah.”
Berkaitan
dengan hal tersebut, kiranya orang yang menyatakan bahwa hadharah dan
madaniyah telah salah dalam memahami fakta. Memang benar, pada masa
rasul konsep hadharah dan madaniyah memang belum ada, sebab baru
dirumuskan Syaikh Taqiyuddin An Nabhani pada tahun 1950-an. Tetapi perlu
kita sadari bersama, bahwa pada masa dulu ilmu-ilmu Islam yang lain
juga belum ada. Belum ada ilmu fiqh dan ushul fiqh, belum ada ilmu hadis
dan ushul hadis, belum ada ilmu siyasah syar’iyyah dan lain sebagainya.
Berkaitan dengan hal-hal baru yang muncul, pada masa dulu para sahabat
tidak perlu bingung-bingung dengan konsep hadharah dan madaniyah.
Mengapa? Sebab pada masa mereka Rasulullah saw. masih ada. Sehingga jika
mereka menemukan hal-hal yang baru, mereka akan langsung menanyakannya
kepada Rasulullah.
Atau pada masa tabi’in dan sahabat
sepeninggal Rasulullah. Pada masa dulu, jika tabi’in menemukan satu hal
yang baru dan tidak bisa memecahkan permasalahannya, maka mereka akan
bertanya kepada sahabat yang masih hidup. Begitu seterusnya. Hingga pada
masa kontemporer, ketika orang mengalami kebingungan dalam memilih dan
memilah, mana yang harus diambil dari peradaban orang-orang Barat, maka
Syaikh Taqiyuddin pun segera melakukan ijtihad, dan dihasilkanlah sebuah
konsep yaitu hadharah dan madaniyah. Hadharah yang wajib diambil
hanyalah hadharah Islam, dan hadharah selain Islam wajib ditolak.
Sedangkan madaniyah juga harus dilihat dengan seksama, jika bersifat
umum maka boleh diambil, jika bersifat khas, maka tidak boleh diambil.
Demikianlah..
Jadi, jika kita mau berpikir objektif, tidak
perlu melihat siapa yang menyampaikan. Mari kita melihat, apa yang
disampaikan. Jika apa yag disampaikan memang benar dan memiliki hujjah
yang kuat, mengapa tidak kita ambil? Jika kita memiliki pendapat A, dan
kemudian datang pendapat B dengan hujjah yang lebih kuat, mengapa kita
masih mempertahankan yang A padahal ada hujjah yang lebih kuat, yaitu
pendapat B? Sepertinya, setiap orang perlu jujur kepada diri sendiri.
Tidak penting, orang itu berasal dari gerakan Islam mana. Jika memang
lebih kuat, tentu harus diambil dan menyepakati pendapat yang lebih kuat
tersebut dan membenarkannya.
Kita semua perlu mengakui
kebenaran kata-kata Al Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, “Kewajiban yang
kita miliki, lebih banyak daripada waktu yang tersedia.” Walaupun saya
tidak menjadi pengikut beliau di gerakan Ikhwanul Muslimin, tetapi saya
mengakui betul bahwa kata-kata tersebut memang benar, dan sangat benar.
Mengapa? Sebab, realitasnya memang demikian. Kewajiban umat Islam memang
sangat banyak (terlepas dari qadhiyah mashiriyahnya), sedangkan waktu
yang ada sangat sedikit.
Oleh karena itu, semoga kita
selalu menjadi orang-orang yang memegang teguh prinsip kebenaran.
Melihat kebenaran dari kebenaran itu sendiri, bukan dari orang atau yang
lainnya.
Semoga bermanfaat..
Assalmu alaikum wrwb!
BalasHapusSaya sudah sering membaca hadist di atas yg mengatakan bahwa setiap muslim yang mati tanpa berbaiat maka matinya adalah mati kafir (naudzubillah suna naudzubillah).
Maka yang jadi pertanyaan sekarang adalah: bagaimana dengan nasib tiap2 diri kita ini? Apakah lalu kita akan mati kafir? Sedangkan kalau kita mau berbaiat lalu berbaiat dengan siapa? Jaman kita ini kan tidak ada khalifah? Lalu bagaimana solusi untuk kita2 semua agar tidak bernasib seperti kata hadis tsb yakni mati kafir karena tidak ada baiat?
Mohon pencerahannya dari siapa saja yang paham soal ini. Jazza kallah khair.
Assalmu alaikum wrwb!
BalasHapusSaya sudah sering membaca hadist di atas yg mengatakan bahwa setiap muslim yang mati tanpa berbaiat maka matinya adalah mati kafir (naudzubillah suna naudzubillah).
Maka yang jadi pertanyaan sekarang adalah: bagaimana dengan nasib tiap2 diri kita ini? Apakah lalu kita akan mati kafir? Sedangkan kalau kita mau berbaiat lalu berbaiat dengan siapa? Jaman kita ini kan tidak ada khalifah? Lalu bagaimana solusi untuk kita2 semua agar tidak bernasib seperti kata hadis tsb yakni mati kafir karena tidak ada baiat?
Mohon pencerahannya dari siapa saja yang paham soal ini. Jazza kallah khair.