Kamis, 24 November 2011

Haji dan Persatuan Umat

Beberapa waktu yang lalu, umat Islam di seluruh dunia menjalankan ibadah haji di Makkah. Seluruh umat bersatu. Umat Islam dari berbagai bangsa di dunia menyatu di tempat yang satu. Mereka mengerjakan ibadah dengan tata urutan yang satu. Menyambut panggilan Tuhan yang satu. Mengikuti sunnah nabi yang satu. Pakaian yang mereka gunakan pun sama. Bahkan ucapan yang mereka lantunkan pun satu, Labbaika Allahumma labbaika, labbaika la syarika laka labbaika, innal hamda wani’mata laka wall mulka, la syarika laka.

Di hadapan Baitullah, mereka tanggalkan segala atribut yang mereka kenakan. Baik itu jabatan, gelar, dan mazhab semua dilepaskan hanya karena mengikuti satu aturan, yaitu aturan ibadah haji. Mereka tidak lagi memandang umat Islam lain sebagai orang yang asing. Orang pengikut mazhab Syafi’i menyatu dengan orang pengikut mazhab Hambali, Maliki, dan Hanafi. Dari sisi politis, orang Indonesia sama dan satu umat dengan orang Palestina. Orang Islam Eropa sama dan satu dengan orang Islam di Afrika. Sekat-sekat nasionalisme pun mereka tanggalkan untuk memenuhi seruan Tuhan yang satu yaitu Allah swt., dan mengikuti sunah yang satu yaitu sunah Rasulullah saw. Terlihat sekali persatuan umat Islam dalam ibadah haji itu. Subhanallah.

Tetapi ibadah haji telah berlalu. Umat Islam kembali lagi pada apa yang pernah mereka tinggalkan. Bagi yang memiliki jabatan, dia akan kembali menjadi pejabat akan dihormati. Bagi yang memiliki kedudukan, dia akan bertambah tinggi kedudukannya dengan label ‘haji’ dan ‘hajjah’ di bagian depan nama mereka. Bagi yang terlibat dalam suatu partai politik dan jamaah Islam, mereka pun kembali pada pemahaman partai dan jamaahnya itu. Dan yang jelas, mereka akan kembali lagi ke negara masing-masing sebagaimana dulu mereka tinggal.

Suasana yang begitu indah ketika menunaikan ibadah haji itu pun akan segera sirna ketika mereka tidak mampu memahami dan memaknai haji sebagaimana mestinya. Suasana yang satu itu akan segera hilang ketika mereka kembali pada ‘kelompok-kelompok’nya. Bagi yang  memakai celana di atas mata kaki, akan kembali memandang berbeda orang yang celananya di bawah mata kaki dan demikian pula sebaliknya. Bagi yang suka memakai qunut dalam salat subuhnya, kembali merasa asing dengan orang yang tidak memakai qunut dalam salat subuhnya, dan sebaliknya. Demikian pula dalam hal pelaksanaan ibadah-ibadah lain yang berbeda. Masing-masing politisi yang mengerjakan ibadah haji kembali bersaing dalam hal ikatan politik mereka. Ini tentu tidak kita inginkan.

Ego kebangsaan antara umat Islam di Indonesia dengan yang ada di Malaysia pun, kembali menguat. Padahal sewaktu di Makkah, mereka dipandang dan merasakan kebersamaan dan persatuan yang luar biasa. Bagi orang yang memiliki kedudukan akan bertambah kebanggaannya terhadap dirinya sendiri setelah gelar ‘haji’ dan ‘hajjah’ dilekatkan di depan nama mereka, kemudian muncullah sifat ujub dalam dirinya. Inilah realitas yang selalu kita dapati di masyarakat selama bertahun-tahun dari sejak dahulu hingga sekarang.

Hikmah Politis Haji
Makna politis haji yang sangat terlihat adalah persatuan umat. Sebagaimana kita telah melihat bersama, di dalam ibadah haji, umat Islam tidak pernah diperlakukan berbeda walaupun mereka berasal dari berbagai macam kalangan; baik itu partai politik, pejabat, mazhab, golongan, bangsa, dan sebagainya. Kalau pun ada, tentu itu berkaitan dengan masalah teknis. Seorang presiden tentu berbeda pelayanannya dengan orang Islam pada umumnya yang beribadah haji. Terlepas dari itu semua, hakikatnya adalah sama. Tidak berbeda antara pejabat dengan seorang muslim dari kalangan rakyat biasa. Demikian pula, dengan orang-orang Islam yang berasal dari organisasi-organisasi massa dan partai-partai politik. Orang Islam yang berasal dari partai sekuler menyatu dengan orang Islam dari partai Islam. Demikian seterusnya, sehingga setiap hal yang membedakan antara satu orang dengan yang lainnya pun luluh di kala ibadah haji dikerjakan.
Termasuk juga, umat Islam bangsa Indonesia dan Malaysia yang beberapa waktu lalu terlibat konflik, maka perasaan mereka pun dihilangkan. Perasaan mereka pun menyatu sebagaimana satunya akidah Islam mereka. Umat Islam Mesir yang pernah menutup pintu perbatasan untuk pelarian diri orang-orang Gaza, pada saat ibadah haji, perasaan permusuhan itu pun dilepaskan.

Demikianlah, ibadah haji menjadi satu ‘magnet’ besar yang mampu menarik umat Islam dari berbagai golongan, bangsa, dan stratifikasi sosial menjadi umat yang satu sebagaimana Islam itu sendiri. Mereka menjadi umat yang satu, yaitu umat Islam, mereka memiliki Tuhan yang satu, yaitu Allah swt.; mereka memiliki nabi yang satu, yaitu Nabi Muhammad saw.; mereka memiliki kitab suci yang satu, yaitu Alquran; mereka memiliki syariat yang satu, yaitu syariat Islam. Dan seharusnya, mereka juga memiliki negara yang satu, yaitu negara Khilafah Islam sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah saw., Khulafaur Rasyidin, dan khalifah-khalifah setelahnya baik pada masa Umayyah, Abbasiyah, maupun Usmaniyah.

Dengan melihat kenyataan di atas, sebenarnya tidak ada alasan bagi umat Islam untuk tidak bersatu. Persatuan mereka, bukan hanya pada saat menunaikan ibadah haji semata. Bukan pula persatuan semu seperti yang diusung Organisasi Konferensi Islam. Tetapi persatuan umat adalah persatuan yang hakiki untuk menyatukan umat Islam sedunia, tanpa sekat apapun. Sehingga kalau pun ada perbedaan, hal itu hanyalah perbedaan dalam masalah cabang (furu’), dan bukan dalam hal yang ushuli (pokok) serta bukan berkaitan dengan persatuan umat. Sebab, perbedaan dalam hal pokok dan persatuan umat, bisa jadi itu adalah suatu perpecahan sebagaimana konsep negara bangsa (nation-state) yang ada saat ini, yang membuat umat Islam bangsa satu memusuhi, tidak mau membantu, dan mengabaikan umat Islam bangsa lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar