Kamis, 24 November 2011

KISAH RASULULLAH SAW. DALAM MENEGAKKAN NEGARA ISLAM

Salah satu kesalahpahaman yang biasa terjadi di kalangan kaum Muslim mengenai agamanya adalah bagaimana hidup dengan Islam sebagai suatu pandangan hidup. Umat seringkali keliru memahami hal ini dengan sekadar melaksanakan ibadah-ibadah yang bersifat individual, sekalipun masyarakat dan negara tempat mereka tinggal tidak diatur dengan aturan-aturan Islam. Hidup dengan Islam sebagai pandangan hidup membutuhkan pengejawantahan yang lebih dari itu. Penerapan aturan-aturan syariat di setiap aspek kehidupan merupakan suatu kewajiban, baik dalam aspek perdagangan, politik, pernikahan, atau pun pendidikan. Maka, keberadaan negara yang akan mengimplementasikan hukum-hukum syariat tersebut merupakan suatu perkara yang sangat prinsip.

Memperkokoh Kekuasaan
Rasulullah saw telah menjadi kepala negara de facto sejak peristiwa Baiat Aqabah yang kedua. Sejak hari-hari permulaan kedatangannya di kota Madinah, beliau saw. menganggap perlunya penyusunan kesepakatan/perjanjian yang menjadi acuan bagi pengaturan kehidupan bermasyarakat. Kesepakatan tersebut tertuang dalam Piagam Madinah yang berisi 47 pasal. Pasal-pasal yang terkandung di dalam piagam tersebut secara efektif merupakan suatu format konstitusi yang mengatur urusan masyarakat Madinah. Konstitusi itu juga mengatur urusan kaum Muhajirin dan urusan kaum Anshar, serta berisi suatu kesepakatan dengan kaum Yahudi mengenai agama dan harta benda milik mereka. Kewajiban masing-masing kelompok juga tercantum dalam piagam ini. Mayoritas ulama sepakat bahwa Rasulullah saw. memang menegakkan negara di Madinah. Hanya ulama-ulama su’ saja yang mengingkarinya.
Rasulullah saw mengawali piagam tersebut dengan pernyataan sebagai berikut:

Surat perjanjian ini dari Muhammad, Nabi saw, yang mengatur hubungan antara orang-orang yang beriman dan orang-orang Islam dari kalangan Quraisy Makkah dengan orang-orang Yatsrib, dan orang-orang yang mengikuti mereka, bergabung dengan mereka, serta berjuang bersama mereka. Mereka adalah umat yang satu, bukan umat atau orang yang lain.

Kemudian beliau saw menjelaskan dalam piagam tersebut bagaimana hubungan antara sesama kaum mukmin. Beliau juga menjelaskan mengenai kaum Yahudi serta bagaimana bentuk hubungan antara kaum mukmin dengan mereka. Dalam piagam itu Rasulullah saw bersabda:

Seorang mukmin tidak boleh membunuh seorang mukmin yang lain demi seorang kafir. Seorang mukmin tidak boleh menolong seorang kafir untuk mengalahkan orang mukmin yang lain. Jaminan Allah atas mereka itu hanya satu. Dia melindungi orang-orang yang lemah atas orang-orang yang kuat. Orang-orang mukmin itu sebagiannya menjadi penolong sebagian yang lain.

Siapa pun dari golongan kaum Yahudi yang telah mengikuti kami, baginya berhak mendapatkan pertolongan dan persamaan. Ia tidak boleh dianiaya dan tidak boleh menganiaya. Perjanjian damai orang-orang mukmin itu satu, tidak boleh seorang mukmin membuat perjanjian damai sendiri dengan meninggalkan seorang mukmin lainnya dalam berperang di jalan Allah, karena mereka itu ada di atas hak yang sama dan keadilan yang sama pula.

Kaum Yahudi yang dimaksud dalam piagam tersebut adalah orang-orang Yahudi yang mau menjadi warga negara Daulah Islamiyah; bukan orang-orang Yahudi yang tinggal di luar kota Madinah. Dengan demikian, orang-orang Yahudi yang menjadi warga negara Daulah Islamiyah akan mendapatkan hak yang sama dan memperoleh perlakuan yang sama, karena mereka dipandang sebagai seorang ahlu dzimmah.

Suku-suku Yahudi yang dimaksud dalam piagam ini terdiri dari kaum Yahudi Bani Auf dan kaum Yahudi Bani Najjar. Kedudukan mereka di hadapan Daulah Islamiyah telah ditetapkan dalam piagam tersebut. Di sana telah ditentukan dengan jelas bahwa hubungan mereka dengan kaum Muslim akan diatur berdasarkan hukum-hukum Islam. Ini berarti bahwa mereka tunduk pada pemerintahan Islam dan wajib menjaga kepentingan Daulah Islamiyah.

Beberapa hal penting yang diatur dalam piagam tersebut adalah:
1.  Kawan-kawan dekat (sekutu) orang-orang Yahudi mempunyai kewajiban sebagaimana orang-orang Yahudi itu sendiri. Tidak seorang pun di antara mereka boleh keluar kecuali dengan seizin Muhammad saw. (kepala negara Daulah Islamiyah).
2.  Kota Yatsrib menjadi tempat yang terhormat bagi orang-orang yang terikat perjanjian tersebut.
3.  Jika terjadi perselisihan yang dikhawatirkan dapat menimbulkan kebinasaan, maka tempat kembalinya adalah Allah Swt dan Rasulullah Muhammad saw.
4.  Orang-orang Quraisy (di Makkah) dan para penolong mereka tidak boleh mendapatkan perlindungan.

Hal-hal yang disebutkan di atas didukung oleh firman Allah Swt dalam Alquran, yaitu:

Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang-orang Yahudi) datang kepadamu (untuk minta keputusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. (QS. Al Maidah: 42)

Piagam Madinah juga menetapkan kedudukan suku-suku Yahudi yang tinggal di sekitar kota Madinah. Piagam tersebut menetapkan ketentuan bahwa mereka tidak boleh keluar dari kota Madinah tanpa seizin Rasulullah saw, atau dengan kata lain tanpa seizin Daulah Islamiyah. Mereka tidak diperbolehkan melanggar kehormatan kota Madinah, baik dengan cara memerangi, atau membantu memerangi penduduknya. Mereka juga tidak boleh membantu orang-orang Quraisy Makkah atau pihak-pihak yang menolong Quraisy; dan mereka terikat pada perjanjian untuk mengembalikan segala perselisihan yang timbul di antara mereka kepada Rasulullah saw.

Kaum Yahudi sepakat dengan tuntutan-tuntutan yang disebutkan dalam piagam; semua suku yang disebut dalam piagam tersebut bersedia menandatangani pemberlakuan piagam tersebut. Mereka adalah Bani Auf, Bani Najjar, Bani Harits, Bani Sa’idah, Bani Jusyam, Bani Aus, dan Bani Tsa’labah. Adapun Yahudi Bani Quraizhah, Bani Nadhir, Bani Khaibar, dan Bani Qainuqa’ yang sebelumnya tidak mau menandatangani piagam itu, namun pada waktu-waktu berikutnya mereka semua secara sukarela bersedia tunduk pada syarat-syarat yang ditetapkan dalam piagam tersebut.

Dengan menyusun piagam tersebut, Rasulullah saw secara tegas telah menentukan bentuk hubungan antarkelompok masyarakat yang ada dalam Daulah Islamiyah. Hubungan antara Daulah dengan suku-suku Yahudi yang tinggal di sekitarnya juga telah ditetapkan secara tegas dengan landasan yang jelas dan spesifik. Dalam kedua perkara ini, yaitu hubungan antara sesama warga negara maupun hubungan dengan suku-suku di luar Madinah, Islam menjadi hakim dan pemutus.

Menyusun Pranata Sosial yang Stabil
Daulah Islamiyah bukanlah sebuah utopia (angan-angan). Ia merupakan negara riil dimana rakyat memenuhi kebutuhannya dan menyelesaikan permasalahannya. Penguasa Quraisy di kota Makkah menghadapi sejumlah permasalahan penting yang berhubungan dengan pranata sosial. Madinah menampung gelombang-gelombang imigran, yakni kaum Muhajirin, yang meninggalkan rumah-rumah, harta benda, dan mata pencaharian mereka semata-mata untuk mematuhi perintah Allah Swt. Telah sekian lama Madinah dipimpin menurut garis kesukuan. Sekarang, negara baru di Madinah itu mengatur hubungan mereka dengan kabilah-kabilah Yahudi, yang selama ini mempunyai suara yang dominan dalam menjalankan urusan kota Yatsrib. Ada pula kelompok orang-orang yang munafik, yang menyimpan dendam terhadap struktur sosial-politik yang baru dan tengah menanti kesempatan untuk meruntuhkan negara.

Rasulullah saw mulai mengorganisir hubungan antara sesama kaum Muslim dengan landasan akidah Islam. Beliau saw mengundang seluruh anggota masyarakat untuk membentuk suatu persaudaraan, yang diharapkan dapat memberikan pengaruh nyata dalam hubungan di antara mereka ketika melakukan aktivitas perdagangan maupun aktivitas kehidupan lainnya. Islam dengan gamblang mewajibkan kaum Muslim untuk saling tolong menolong antar sesamanya. Rasulullah saw bersabda:

Perumpamaan kaum mukmin dalam hal kasih sayang dan rahmat adalah bagaikan satu tubuh. Apabila satu bagian (tubuh itu) menderita (sakit), maka menjalarlah penderitaan itu ke seluruh (bagian) tubuh lainnya, hingga tidak dapat tidur dan demam. (HR. Bukhari Muslim)

Rasulullah saw juga bersabda:

Tidak beriman seseorang di antara kalian hingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. (HR. Bukhari Muslim)

Ikatan persaudaraan itu melibatkan empat puluh lima orang dari kalangan Muhajirin dan empat puluh lima orang dari kalangan Anshar. Atas dasar kebijakannya, Rasulullah saw menetapkan persaudaraannya dengan Ali bin Abi Thalib ra; dan mempersaudarakan pamannya, Hamzah bin Abdul Muththalib ra dengan Zaid bin Haritsah ra, pembantu Rasulullah saw; serta Abu Bakar ra dengan Kharijah bin Zaid ra dengan cara yang sama. Kemudian beliau saw mengundang kaum Muhajirin dan Anshar untuk membentuk persaudaraan yang serupa. Maka Umar bin Khaththab ra dengan Utbah bin Malik Al Khazraji ra saling bersaudara; demikian pula Thalhah bin Ubaidillah ra dengan Abu Ayub Al Anshari ra; dan Abdurrahman bin Auf ra dengan Sa’ad bin al Rabi’ ra.

Ikatan persaudaraan ini ternyata juga membuahkan dampak material, karena ternyata orang-orang Anshar memperlihatkan kemurahan hati yang sangat besar terhadap saudara-saudaranya mereka, kaum Muhajirin, yang membuat ikatan persaudaraan ini menjadi makin bertambah kuat. Kaum Anshar menawarkan uang dan harta benda mereka kepada orang-orang Muhajirin, serta saling berbagi segala hal bersama mereka. Mereka berkata kepada Rasulullah saw, ‘Jika engkau menghendaki, ambillah rumahku’. Mereka juga berdagang dan bertani bersama-sama.

Kaum Anshar bahkan menawarkan kepada Rasulullah saw kebun-kebun kurma milik mereka untuk dibagikan kepada saudara-saudara mereka dari kalangan kaum Muhajirin, mengingat kurma merupakan salah satu sumber penghasilan. Para pedagang dari kalangan kaum Muhajirin pun melakukan segala upaya untuk dapat berdagang. Abdurrahman bin Auf misalnya, dulunya adalah seorang pedagang mentega dan keju; demikian pula kalangan Muhajirin lainnya yang mempunyai kecenderungan berdagang juga melakukan upaya yang sama. Sedangkan bagi yang tidak biasa berdagang, mereka mulai terjun menjadi petani, seperti halnya Abu Bakar ra dan Ali bin Abi Thalib ra yang mengerjakan lahan pemberian kaum Anshar. Rasulullah saw bersabda:

Barangsiapa yang memiliki sebidang tanah, maka hendaklah dia menanaminya, atau (jika tidak) hendaklah dia berikan kepada saudaranya. (HR. Bukhari)

Demikianlah, maka kaum Muslim bekerja untuk mencari nafkah.

Namun demikian masih ada sekelompok Muslim, yang berjumlah sekitar 70 orang, yang tidak mempunyai uang, tidak mendapatkan pekerjaan, dan tidak mempunyai tempat tinggal. Mereka adalah orang-orang miskin yang bukan berasal dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, melainkan orang-orang Arab yang datang ke Madinah dan kemudian masuk Islam. Rasulullah saw mengurus kebutuhan mereka dan menempatkannya di salah satu bagian masjid. Orang-orang tersebut kemudian dikenal sebagai Ahlus Suffah, yang hidup dari bantuan kaum Muslim yang kaya, yang mendapatkan kemurahan berlimpah dari Allah Swt. Selain itu mereka juga mendapatkan bagian dari shadaqah yang dikumpulkan oleh Nabi saw.

Dengan cara itulah Rasulullah saw mengatur dan memantapkan kehidupan kaum Muslim, serta menetapkan hukum yang mengatur hubungan antarmereka di atas landasan yang kuat. Dengan demikian, Rasulullah saw telah berhasil menegakkan masyarakat Madinah di atas fondasi yang berdiri kokoh di atas puing-puing sistem kemasyarakatan kufur, dan mampu bertahan dari makar dan persekongkolan orang-orang munafik dan Yahudi.

Menyusun Struktur Pemerintahan
Masyarakat Madinah bukanlah sekumpulan kaum Muslim yang disatukan dalam ikatan yang longgar. Sebaliknya, masyarakat tersebut mempunyai struktur dan ikatan yang sangat kuat. Rasulullah saw menyusun suatu struktur politik untuk mengatur urusan kemasyarakatan. Struktur tersebut bertugas membantu beliau saw dalam menjalankan roda pemerintahan negara dan menjamin pelaksanaan hukum syariat di tengah-tengah masyarakat. Bagi kaum Muslim saat ini, struktur tersebut menjadi rancangan struktur pemerintahan Negara Islam di masa yang akan datang.

1.  Kepala megara, yaitu imam atau khalifah
Melalui dua kali baiat, maka Rasulullah saw secara de facto menjadi kepala negara. Kekuasaan Rasulullah saw semakin dipertegas lagi dengan penetapan piagam Shahifah. Dengan piagam tersebut, Rasulullah saw mengatur masyarakat dari kalangan Muslim maupun non-Muslim, serta memelihara urusan mereka dari sejak hari pertama beliau saw menapakkan kakinya di Madinah. Begitu Daulah Islamiyah berhasil ditegakkan, beliau saw membentuk suatu masyarakat Islam dimana kesejahteraan umat manusia dipenuhi dengan semestinya. Dalam kapasitas beliau sebagai negarawan, Rasulullah saw membuat perjanjian dengan kaum Yahudi, dengan Bani Dhamrah dan Bani Madlaj. Pada masa-masa berikutnya, Rasulullah saw membuat perjanjian dengan orang-orang Quraisy, dan dengan orang-orang Ayla, Jarba’, dan Uzrah.

2.  Pembantu khalifah, yaitu mu’awin
Rasulullah saw memilih Abu Bakar ra dan Umar bin Khaththab ra sebagai pembantunya. Imam At Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:

Dua orang wazirku dari penduduk bumi adalah Abu Bakar dan Umar.

Arti dari ‘dua orang wazirku’ adalah dua orang pembantuku, karena kata wazir dalam bahasa Arab berarti orang yang membantu. Sedangkan istilah ‘menteri’ yang seringkali dipakai orang sebagai pengganti kata wazir merupakan istilah Barat yang mempunyai pengertian yang berbeda, yakni seorang yang memimpin dan mengatur sebuah departemen. Pengertian ini amat berbeda dengan pengertian dalam sistem pemerintahan Islam. Jelas bahwa kedua orang yang dipilih Rasulullah saw menjadi wazir-nya bukan merupakan orang-orang yang memiliki keahlian khusus dalam memimpin departemen tertentu sebagaimana seorang menteri dalam sistem pemerintahan demokrasi. Namun, kedua orang tersebut merupakan pembantu yang memiliki kekuasaan sebesar tugas yang diamanatkan oleh Khalifah atau imam kepadanya. Oleh karena itu, mereka tidak khusus menangani departemen tertentu.

3.  Panglima Perang dan Angkatan Bersenjata (Amirul Jihad dan Al Jaisy)
Angkatan bersenjata, yang berada di bawah komando Panglima Perang, secara efektif berada di bawah kendali Rasulullah saw. Pada masa-masa selanjutnya, Rasulullah saw mengangkat sejumlah panglima yang memimpin pasukan. Suatu ketika Rasulullah saw pernah mengangkat Abdullah bin Jahsy ra sebagai pemimpin kelompok yang bertugas mengintai pasukan Quraisy. Pada kesempatan lain Rasulullah saw mengangkat Abu Salma bin Abdil Asad ra sebagai panglima sebuah resimen pasukan berkekuatan 150 orang; dan beliau saw menyerahkan panji-panji negara Islam kepadanya. Resimen ini terdiri dari sejumlah pahlawan Islam yang terkenal, seperti Abu Ubaidah bin Al Jarrah ra, Sa’ad bin Abi Waqqash ra, dan Usaid bin Hudhair ra.

4.  Gubernur (Wali)
Setelah wilayah kekuasaan Islam semakin luas, Rasulullah saw sebagai negarawan dan pemimpin Daulah Islamiyah menunjuk sejumlah wali (gubernur) bagi setiap wilayah (provinsi) dan ‘amil (kepala daerah setingkat bupati) bagi setiap kota, yang bertugas membantu Rasulullah saw dalam menyelesaikan berbagai permasalahan dan menjalankan roda pemerintahan, agar dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya sesuai dengan wahyu yang diterima beliau saw. Sebagai contoh, Rasulullah saw mengangkat ‘Utab bin Usaid ra sebagai wali kota Makkah tidak lama setelah Makkah berhasil dibebaskan; demikian pula, setelah Badhan bin Sasan memeluk Islam, beliau saw mengangkatnya sebagai wali di Yaman.

Rasulullah saw juga menunjuk Mu’adz bin Jabal Al Khazraji sebagai wali bagi wilayah Al Janad, dan Khalid bin Sa’id bin Al Ash ra diangkat sebagai ‘amil kota San’a. Begitu pula beliau saw menunjuk Zaid bin Lubaid bin Tsa’labah Al Anshari sebagai wali Hadramaut, Abu Musa Al Asy’ari sebagai wali kawasan Zabid dan Aden, dan ‘Amr bin Al Ash sebagai wali Oman. Di ibukota, Abu Dujanah ditunjuk sebagai amil Madinah. Rasulullah saw juga mengutus Amru bin Hazm ke Yaman untuk menempati posisi sebagai wali yang menangani urusan pemerintahan dan urusan keuangan sesuai petunjuk yang diberikan Rasulullah saw. Demikian pula Farwah bin Sahal yang pernah ditunjuk sebagai ‘amil di wilayah Murad, Zubaid, dan Mudzhij.

Rasulullah saw mengangkat figur-figur teladan dari kalangan kaum Muslim sebagai wali, yang akan memerintahkan pengajaran Islam kepada orang-orang yang menerima Islam serta menerima shadaqah (pembayaran zakat) dari mereka. Dalam banyak kesempatan, Rasulullah saw memberikan tugas kepada para wali untuk mengumpulkan dana sekaligus memerintahkan mereka untuk memberi kabar gembira tentang kehadiran Islam, membina umat dengan Alquran, serta menjadikan umat paham dengan Islam. Rasulullah saw selalu memerintahkan wali agar bersikap lemah lembut dan lunak dalam kebenaran, dan bersikap keras dalam menghadapi pemberontakan dan kezhaliman. Para wali juga berkewajiban menghindarkan umat dari upaya-upaya penyerahan penyelesaian perkara kepada suku-suku atau kabilah-kabilah bila terjadi perselisihan di antara mereka, sehingga mereka menyerahkan penyelesaian perkara kepada ketentuan dan hukum-hukum Allah Swt semata.

5.  Hakim (Qadhi)
Rasulullah saw mengangkat banyak hakim untuk menyelesaikan perselisihan di antara umat. Rasulullah saw menunjuk Ali ra sebagai hakim di Yaman dan ‘Abdullah bin Naufal ra sebagai hakim di Madinah. Beliau saw juga pernah mengangkat Mu’adz bin Jabal ra dan Abu Musa Al Asy’ari ra sebagai hakim di wilayah Yaman. Rasulullah saw menanyai mereka:

Dengan apa engkau akan menghukumi, bila diajukan kepadamu suatu perkara?

Mereka pun menjawab, ‘Apabila kami tidak menemukan keputusan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul, maka kami akan berijtihad dengan pendapat kami sekuat tenaga’. Rasulullah saw pun menyetujui metode penentuan keputusan tersebut.

Rasulullah saw tidak hanya mengangkat Qadhi atau hakim saja, tetapi juga membentuk mahkamah mazhalim untuk menampung segala pengaduan masyarakat mengenai (tuduhan) tindak kezhaliman yang dilakukan oleh aparat pemerintah, seperti yang dilakukan para Qadhi atau wali. Beliau saw mengangkat Rasyid bin Abdullah ra sebagai amir (ketua) para Qadhi dan mahkamah mazhalim dengan wewenang untuk mengawasi kasus-kasus yang diajukan ke depan mahkamah mazhalim tersebut.

6.  Aparat Administrasi (Al Jihazul Idari)
Rasulullah saw mengatur segala aspek urusan umat. Beliau saw mengangkat sejumlah aparat yang mirip dengan pimpinan departemen. Beliau saw mengangkat Ali bin Abi Thalib ra sebagai sekretaris yang bertugas menulis berbagai perjanjian, Al Harits bin Auf ra yang bertugas untuk membawa cap stempel (berbentuk cincin) resmi kenegaraan, Mu’aiqib bin Abi Fatimah ra sebagai pencatat hasil rampasan perang (ghanimah), Hudzaifah bin Al Yaman ra bertugas mencatat hasil panen yang dihasilkan seluruh wilayah Hijaz, Zubair bin Al Awwam ra sebagai pencatat shadaqah (zakat), Mughirah bin Syu’bah ra bertugas mencatat semua perjanjian hutang piutang dan berbagai macam transaksi, serta Surahbil bin Hasanah ra bertugas sebagai penulis surat-surat yang dikirimkan kepada para raja.

Beliau saw juga mengangkat seorang sekretaris atau seorang direktur bagi masing-masing departemen. Rasulullah saw telah mengutus Abdullah bin Rawahah ra ke perkampungan kaum Yahudi di Khaibar untuk mencatat hasil panen dan buah-buahan yang mereka hasilkan, serta memungut kewajiban mereka.

7.  Majelis Syura (Majlisul Ummat)
Keputusan yang diambil Rasulullah saw tidak selalu berasal dari pendapat beliau saw, tetapi beliau sering meminta pendapat dan pertimbangan dari kaum Muslim bilamana dipandang perlu. Beliau saw mengumpulkan kaum Muslim sebelum Perang Uhud, serta meminta pendapat mereka mengenai strategi yang akan mereka lakukan. Demikian pula pada beberapa kesempatan, Rasulullah saw meminta pendapat atau bermusyawarah dengan kaum Muslim. Selain dengan mengumpulkan kaum Muslim, Rasulullah saw secara reguler juga mengundang beberapa orang sahabat dan bermusyawarah dengan mereka. Mereka itu (yang dipandang sebagai tokoh-tokoh umat) adalah Hamzah bin Abdul Muththalib, Abu Bakar, Ja’far bin Abi Thalib, Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Salman Al Farisi, Ammar bin Yasir, Hudzaifah bin Al Yaman, Abu Dzar Al Ghifari, Al Miqdad, dan Bilal bin Rabah. Mereka seperti majelis syura yang menjadi tempat Rasulullah saw meminta pertimbangan dan pendapat secara teratur.

Pertanggungjawaban Pemerintah
Rasulullah saw senantiasa memeriksa para wali dan para pejabat pemerintah lainnya, serta memantau pekerjaan mereka. Beliau saw selalu mendengarkan laporan-laporan tentang aktivitas mereka. Beliau saw pernah mencopot ‘Ala’ bin Al Hadrami dari posisinya sebagai ‘amil Bahrain, setelah utusan Abdul Qais menyampaikan pengaduan mengenai dirinya. Rasulullah saw juga memeriksa hasil pengumpulan berbagai pungutan, serta menghitung pendapatan dan pengeluarannya. Pada suatu ketika diriwayatkan bahwa beliau saw mengangkat seseorang untuk mengumpulkan zakat. Ketika laki-laki tersebut kembali dari tugasnya, ia berkata, ‘(Harta) ini kuserahkan kepadamu, sedangkan (harta) itu adalah hadiah yang diberikan kepadaku’. Mendengar keterangan ini, Rasulullah saw bersabda:

Bagaimana keadaan seseorang yang aku utus, lalu ia datang kepadaku dengan mengatakan, ‘Ini adalah (harta) untuk anda, dan ini adalah (harta) yang dihadiahkan untukku.’ (Jika memang benar itu hadiah), apakah tidak sebaiknya ia duduk saja di rumah bapak atau ibunya (menunggu), lalu apakah hadiah itu akan diberikan kepadanya atau tidak? Demi Dzat yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, tidak akan ia membawa sesuatu melainkan di hari kiamat nanti ia akan memikul (kesalahannya) di atas pundaknya.

Demikianlah Rasulullah saw telah menentukan struktur dan perangkat pemerintahan yang komplet untuk membantu dan memudahkan pelaksanaan pemeliharaan urusan negara. Struktur pemerintahan ini merupakan suatu perkara yang sangat penting dalam penerapan Islam sebagai pandangan hidup. Struktur semacam ini harus diikuti dan diadopsi ketika Daulah Islamiyah ditegakkan. Informasi mengenai segala detil tentang struktur dan perangkat Daulah Islam telah disampaikan dari generasi ke generasi secara tawatur (kesaksian kolektif). Rasulullah saw sejatinya telah memegang tampuk kepemimpinan negara sejak hari-hari pertama beliau saw tiba di Madinah hingga saat wafatnya. Abu Bakar ra dan Umar bin Khaththab ra merupakan dua orang pembantunya. Para sahabat sepakat bahwa setelah wafatnya Rasulullah saw, mereka berkewajiban untuk mengangkat satu orang Khalifah yang akan menggantikan kedudukan beliau sebagai kepala negara, bukan sebagai Rasul atau Nabi, karena beliau saw adalah penutup para Nabi.

Menerapkan Syariat di tengah-tengah Masyarakat
Adalah hukum dan sistem Islam yang mewarnai kehidupan di Madinah. Allah Swt menyatakan dalam Alquran:

Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah. (QS. Al Baqarah: 138)

Wahyu yang diturunkan Allah Swt kepada Rasulullah Muhammad saw seluruhnya disampaikan kepada penduduk Madinah. Wahyu Allah Swt tersebut menjadi landasan untuk menilai segala perbuatan yang dilakukan di tengah-tengah masyarakat. Ayat-ayat Alquran yang berkenaan dengan hukum pidana dan aturan sosial turun pada masa itu untuk melengkapi ayat-ayat tentang ibadah. Kewajiban zakat dan shaum ditetapkan pada tahun ke-2 Hijriyah, adzan juga mulai diperintahkan dan dibawakan oleh Bilal ra lima kali dalam sehari. Khamar dan daging babi diharamkan, serta ayat-ayat tentang hudud diturunkan. Demikian pula ayat-ayat tentang urusan muamalah juga diturunkan; riba pun kemudian diharamkan.

Tatkala sejumlah ayat diturunkan, maka Rasulullah saw akan menjelaskan kepada umat, dan mewajibkan kaum Muslim untuk menaatinya. Beliau saw menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi dan menghukumi perselisihan yang terjadi di antara mereka dengan tindakan-tindakannya, sabda-sabdanya, maupun dengan sikap diam yang diperlihatkan oleh beliau. Kata-kata, perbuatan, dan sikap diam yang ditunjukkan Rasulullah saw merupakan sumber-sumber hukum syariat, seperti yang dinyatakan dalam ayat Alquran:

Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan. (QS. An Najm: 3-4)

Hukum Pidana
Aturan-aturan mengenai hukuman (uqubat) mulai disampaikan dan diterapkan oleh Rasulullah saw. Imam Ahmad bin Al Husain bin Ali Abu Bakar Al Baihaqi dalam kitab Sunan meriwayatkan bahwa Rasulullah saw menyatakan:

Tidak seorang pun berhak menerapkan hukum yang berasal dari hudud tanpa wewenang dari negara.

Hukum-hukum yang berkaitan dengan riddah (murtad) dan hukuman bagi pezina semuanya diberlakukan oleh Rasulullah Muhammad saw.

Aturan Ekonomi
Dalam perannya sebagai seorang kepala negara, Rasulullah Muhammad saw juga mengatur aktivitas perekonomian. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw suatu ketika melewati pasar dan melihat seorang yang menjual makanan (kurma). Lalu beliau saw memasukkan tangannya ke dalam tumpukan kurma tersebut dan mendapati bahwa bagian bawah tumpukan tersebut basah (berair). Maka Rasulullah saw bertanya:

Apa ini, wahai pemilik makanan? Orang itu menjawab, ‘Terkena air dari langit (air hujan), ya Rasulullah’. Kemudian Rasulullah saw berkata, ‘Tidakkah seharusnya yang terkena hujan diletakkan di bagian atasnya, sehingga orang-orang bisa mengetahuinya. (Ingatlah), siapa saja yang menipu, bukan termasuk ummatku’.

Demikianlah, sebagai seorang kepala negara Rasulullah saw menunjukkan perannya sebagai pelindung hak-hak konsumen, dengan jalan menentang penipuan.
Selain itu, negara juga memungut zakat atas dasar firman Allah Swt:

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At Taubah: 60)

Sebagai implementasi ayat di atas, maka Rasulullah saw (sebagai kepala negara) memerintahkan sejumlah aparat untuk mengumpulkan zakat dan mendistribusikannya kepada delapan golongan manusia sebagaimana yang disebutkan ayat itu.

Syariat juga menetapkan suatu standar moneter tertentu bagi masyarakat. Syariat menjadikan emas dan perak sebagai basis nilai tukar uang. Rasulullah saw juga menetapkan aturan untuk membedakan antara kepemilikan individu dengan kepemilikan umum. Rasulullah saw bersabda:

Manusia itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang gembalaan, dan api. (HR. Abu Dawud)

Beliau saw juga menentukan aktivitas-aktivitas yang dihalalkan untuk mendapatkan harta, serta memberikan aturan yang berkaitan dengan hak-hak pekerja serta ijaratul ajir (hubungan kerja).

Aturan Kemasyarakatan
Allah Swt mengharamkan khamar dan judi bersamaan dengan turunnya ayat berikut:

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al Maidah: 90)

Mendengar ayat ini, maka kaum Muslim serentak meninggalkan kebiasaan minum khamar yang telah mendarah-daging di tengah-tengah masyarakat, baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial. Diriwayatkan bahwa kaum Anshar membuang persediaan khamar yang mereka miliki ke jalan-jalan, seraya berkata, ‘Ya Tuhan, kami telah menghentikannya (minum khamar)!

Sebagian besar aturan-aturan syariat tentang kehidupan diturunkan di Madinah. Ayat-ayat tersebut berkaitan dengan muamalat (hubungan antar manusia) dan ibadat (hubungan manusia dengan Allah Swt). Yang telah dijelaskan sebelum ini hanyalah sebagian kecil di antaranya. Satu hal yang perlu dipahami benar adalah bahwa hukum-hukum Allah ini diturunkan untuk diimplementasikan ke tengah-tengah masyarakat muslim maupun non-muslim.

Dengan kata lain, hukum-hukum syariat ini menjadi hukum positif yang berlaku di seluruh negeri. Rasulullah saw selalu berusaha agar seluruh rakyat paham dengan aturan-aturan tersebut. Sebagai kepala negara, Rasulullah saw memberlakukan hukum syariat di tengah-tengah masyarakat, dan menjadikannya sebagai standar perbuatan sehari-hari bagi seluruh anggota masyarakat. Sistem pemerintahan yang beliau saw tetapkan merupakan perkara penting untuk mengatur pemberlakuan hukum-hukum syariat tersebut.

Adalah kaum Muslim yang mempraktekkan Islam di tengah masyarakat yang menjadikan Islam menjadi pandangan hidup. Jika kita membandingkan keadaan saat itu dengan situasi kaum Muslim saat ini, maka sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa kita hidup dalam masyarakat yang berpandangan hidup Islam atau masyarakat Islam. Karena, hukum yang berlaku di negeri-negeri kaum Muslim saat ini adalah hukum-hukum yang bukan berasal dari ketentuan Syari’; sementara sistem pemerintahan yang mereka anut diperoleh dari sistem pemerintahan demokrasi dari Barat. Menjadi suatu perkara yang lazim, ketika kaum Muslim melaksanakan sejumlah aturan Islam di tengah-tengah masyarakat yang berpedoman pada hukum-hukum kufur dan sistem pemerintahan yang tidak Islami.

Oleh sebab itu, tegaknya sebuah Daulah Islamiyah yang akan menerapkan hukum-hukum syariat secara menyeluruh (kaffah) merupakan suatu perkara mendasar yang wajib direalisir agar kaum Muslim dapat hidup dalam masyarakat Islam. Sirah Rasulullah saw menunjukkan bahwa masyarakat Islam (yaitu masyarakat yang berpedoman pada ideologi Islam) tidak akan dapat diwujudkan kecuali dengan tegaknya Daulah Islamiyah.

Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar