Suatu ketika saya pernah membaca buku kontroversial dari ulama yang kontroversial pula. Buku itu adalah buku Al Islam wa Ushul al Hukm
karya mantan syaikh Al Azhar, Syaikh Ali Abdurraziq. Buku ini terbit di
awal abad ke-20 dan sangat kontroversial. Bagaimana tidak, di awal-awal
khilafah Usmaniyah diruntuhkan kaum Kemalis, buku ini hadir dan
menyatakan bahwa Islam tidak pernah mengenal sistem pemerintahan.
Sontak, berbagai ulama mengecamnya dan menyatakan Syaikh Ali Abdurraziq
sebagai zindiq, pendusta, dan ulama su’. Kemudian banyak sekali
bantahan-bantahan yang muncul dari para ulama dengan menulis buku
bantahan seperti Syaikh Muhammad Husain Hudhari dengan bukunya An Naqdh Kitab Al Islam wa Ushul Al Hukm, Dr. Muhammad Dhiya’ Ad Diin Rais dengan bukunya Al Islam wa Al Khilafah fi Al Ashr Al Hadist, juga buku beliau An Nazhariyat Al Siyasah Al Islamiyah, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Dalam
buku tersebut, Syaikh Ali Abdurraziq menyatakan bahwa umat Islam bebas
menjalankan sistempemerintahan apapun, selain khilafah. Dia juga
menyatakan bahwa sistem khilafah merupakan sistem yang tidak wajib untuk
ditegakkan. Inti dari kitab ini (Al Islam wa Ushul Al Hukm)
adalah sekularisasi Islam. Islam ingin dijadikan Kristen yang tidak
mengenal sistem pemerintahan dan sistem politik. Dalam buku itu Syaikh
Ali Abdurraziq menyatakan, “Nabi Muhammad saw. adalah semata-mata rasul
untuk mendakwahkan Islam saja, tidak ada kecenderungan untuk mendirikan
kerajaan dan menyatakan berdirinya negara.” Dia menyatakan, “Al Islam risalatu laa hukm wa diin laa daulah.” Islam adalah risalah, bukan pemerintahan. Dan Islam adalah agama, bukan negara.
Di
Indonesia, Syaikh Ali Abdurraziq diidolakan oleh tokoh-tokoh Gerombolan
Kacung Liberal, semisal Luthfi Asyaukanie. Luthfi menyatakan bahwa Ali
Abdurraziq telah menyelamatkan Islam dari pengamalan-pengamalan politik
negatif yang terjadi sepanjang sejarah Islam.
Bantahan:
Ali Abdurraziq memiliki berbagai argumen untuk ‘menghalalkan’ ide-idenya, antara lain sebagai berikut:
Ali Abdurraziq menyatakan banyak mengutip ayat yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. adalah wakil (pengurus), yaitu di QS. Al An’am: 66. Rasulullah juga bukanlah musaitir
(penguasa), yaitu di QS. Al Ghashiyah: 88. Sebaliknya, menurut dia
Rasulullah itu hanyalah penyampai risalah seperti dalam QS. Ali Imran:
20, dan mubasyir (pemberi kabar), yaitu di QS. Al Isra: 105).
Argumentasi
Ali Abdurraziq itu mudah dibantah. Ayat-ayat yang dia sampaikan adalah
ayat-ayat Makiyah. Padahal pendirian negara Islam di Madinah bukanlah
terjadi pada periode Makkah. Menurut Mukhtar Abdul Lathif dalam bukunya
Kontroversi Ali Abdurraziq, kesalahan-kesalahan Ali Abdurraziq pula,
bahwa ayat-ayat tersebut dipahami bukan sebagaimana mestinya. Sebab
ayat-ayat tersebut harus dipahami sebagaimana sebab turunnya ayat-ayat
tersebut, yaitu konteksnya ketika Rasulullah saw. dan para sahabatnya
mengalami gangguan pada periode Makkah sebelum hijrah.
Ali
Abdurraziq juga mengutip dua hadis untuk ‘menghalalkan’ idenya
tersebut. Hadis yang pertama berkaitan dengan kisah: ada seseorang
datang menghadap Rasulullah saw. karena ada sesuatu yang ingin
disampaikan. Tetapi setelah bertemu beliau, orang tersebut justru
gemetar dan seperti ketakutan. Lalu Rasulullah saw. berkata, “Tenangkan dirimu. Aku ini bukan raja. Aku adalah anak seorang wanita dari suku Quraisy…”
(HR. Bukhari). Dalam pandangan dia, ketika Rasulullah menyatakan
dirinya bukan raja, itu menunjukkan Rasululah tidak memiliki
pemerintahan.
Hadis kedua yang digunakan Ali Abdurraziq adalah hadis yang menyatakan bahwa, “Antum a’lamu bi syu’uuni dunyaakum/kamu
lebih mengetahui urusan duniamu.” (HR. Muslim). Menurut Ali Abdurraziq,
kekuasaan itu adalah urusan dunia, maka sebaiknya orang-orang yang
ingin memikirkan urusan kekuasaan tidak membawa-bawa Islam, jadi
terserah orang mau mengatur kekuasaan dengan kekuasaan macam apa.
Demikian pemikiran Ali Abdurraziq.
Kesalahan Ali Abdurraziq adalah sebagai berikut.
Hadis
yang pertama itu sebenarnya tidak menafikan otoritas (kekuasaan
politik) Nabi Muhammad saw., tetapi hanya menafikan sifat kejam dan
zalim sebagaimana para raja yang ada pada waktu itu. Sebab, pada masa
itu para raja umumnya memang zalim dan kejam. Sebab itulah Rasulullah
saw. berusaha menenangkan orang tersebut dengan menyatakan bahwa dirinya
bukan raja yang zalim.
Kesalahan pada penerapan hadis kedua adalah sebagai berikut.
Menurut
Mukhtar Abdul Lathif, asbabul wurud hadis kedua adalah berkaitan dengan
persilangan pohon kurma melalui eksperimen. Oleh karena itu, tidak
tepat jika dikaitkan dengan pemerintahan. Hadis ini konteksnya adalah
menyerahkan urusan manusia dalam hal teknis (menurut asbabul wurudnya
adalah eksperimen kurma), yang tidak ada dalam Alquran dan Sunah.
Masalah kekuasaan bukanlah termasuk masalah duniawi (teknis) tetapi
masalah yang memang telah ditentukan di dalam Alquran, Sunah, dan Ijma’
Sahabat.
Ali Abdurraziq juga menggunakan dalil sejarah
untuk ‘menghalalkan’ pemikirannya. Dalil sejarah sahabat yang dipakai
ada dua: pertama dalil untuk membuktikan bahwa Islam tidak mengatur
urusan pemerintahan, dalil kedua untuk membuktikan bahwa ijma tidak
layak dijadikan dalil wajibnya khilafah.
Berkaitan dengan
dalil pertama, Ali Abdurraziq menyatakan, “Jika Rasulullah memang
bertugas mendirikan negara, tentu beliau akan menunjuk orang sebagai
pengganti beliau. Sebaliknya, justru beliau membiarkan dan tidak
menunjuk pengganti.” Hal ini dapat dibantah dengan mudah.
Pertama,
tidak benar beliau saw. membiarkan urusan pemerintahan menjadi tidak
jelas sepeninggal beliau, sebab meski beliau tidak menunjuk pengganti,
Rasulullah telah menunjukkan thariqah suksesi kepemimpinan sepeninggal
beliau, yaitu dengan jalan baiat. Ini berarti Rasulullah telah
menunjukkan urusan kekuasaan ini dengan sangat jelas, bukan kabur.
Kedua,
fokus perbedaan pendapat di kalangan sahabat terjadi berkaitan dengan
person penggantinya, bukan wajib ada atau tidak. Ketiga, pemerintahan
yang dipegang oleh para sahabat memang berdasarkan agama. Oleh karena
itu, Rasulullah menggelari para sahabat itu dengan Khulafaur Rsyidin.
Abu Bakar bin Abu Quhafah adalah khalifah pertama. Umar Al Faruq yang
kedua. Usman Dzu Nurrain yang ketiga. Dan Ali Karamallahu Wajhah adalah
yang keempat.
Sedangkan dalil sejarah yang kedua, yang
menolak ijma sahabat tentang wajibnya kepemimpinan Islam, maka itu juga
bisa dibantah dengan mudah. Ali Abdurraziq ingin membuktikan bahwa ijma
(baik ijma sahabat, ulama, maupun kaum muslimin) tidak bisa dijadikan
dalil. Dia membuktikan bahwa proses pembaiatan Yazid bin Muawiyah bin
Abu Sufyan berlangsung di bawah ancaman pedang. Menurut Ali Abdurraziq,
bagaimana mungkin ada baiat, sedangkan pada waktu itu berada dalam
sebuah ancaman yang besar?
Pendapat ini sangat bodoh dan
mudah dibantah. Pertama, peristiwa sejarah pembaiatan Yazid tidak bisa
dijadikan hujjah dalam penerapan syariat Islam. Baiat itu salah satu
syariat Islam. Tetapi baiat terhadap seseorang, tetap tidak bisa
dijadikan dalil penegakkan syariat Islam, terlepas dari sah tidaknya
baiat tersebut. Adapun peristiwa pembaiatan Yazid hanyalah peristiwa
sejarah belaka yang tidak bisa membuktikan apapun selain kebodohan
Yazid. Tidak juga membuktikan bahwa menegakkan khilafah itu tidak wajib.
Tidak juga membuktikan bahwa ijma itu bathal. Sebab ijma yang paling
sahih hanyalah ijma sahabat.
Kemudian yang kedua, ijma
sahabat menurut pemahaman ulama adalah ijma dalam hal wajibnya
menegakkan khilafah, bukan waib memilih person. Jadi Pemikiran Ali
Abdurraziq ini sangat ngawur dan salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar