Kamis, 24 November 2011

Membantah Syaikh Ali Abdurraziq

Suatu ketika saya pernah membaca buku kontroversial dari ulama yang kontroversial pula. Buku itu adalah buku Al Islam wa Ushul al Hukm karya mantan syaikh Al Azhar, Syaikh Ali Abdurraziq. Buku ini terbit di awal abad ke-20 dan sangat kontroversial. Bagaimana tidak, di awal-awal khilafah Usmaniyah diruntuhkan kaum Kemalis, buku ini hadir dan menyatakan bahwa Islam tidak pernah mengenal sistem pemerintahan. Sontak, berbagai ulama mengecamnya dan menyatakan Syaikh Ali Abdurraziq sebagai zindiq, pendusta, dan ulama su’. Kemudian banyak sekali bantahan-bantahan yang muncul dari para ulama dengan menulis buku bantahan seperti Syaikh Muhammad Husain Hudhari dengan bukunya An Naqdh Kitab Al Islam wa Ushul Al Hukm, Dr. Muhammad Dhiya’ Ad Diin Rais dengan bukunya Al Islam wa Al Khilafah fi Al Ashr Al Hadist, juga buku beliau An Nazhariyat Al Siyasah Al Islamiyah, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Dalam buku tersebut, Syaikh Ali Abdurraziq menyatakan bahwa umat Islam bebas menjalankan sistempemerintahan apapun, selain khilafah. Dia juga menyatakan bahwa sistem khilafah merupakan sistem yang tidak wajib untuk ditegakkan. Inti dari kitab ini (Al Islam wa Ushul Al Hukm) adalah sekularisasi Islam. Islam ingin dijadikan Kristen yang tidak mengenal sistem pemerintahan dan sistem politik. Dalam buku itu Syaikh Ali Abdurraziq menyatakan, “Nabi Muhammad saw. adalah semata-mata rasul untuk mendakwahkan Islam saja, tidak ada kecenderungan untuk mendirikan kerajaan dan menyatakan berdirinya negara.” Dia menyatakan, “Al Islam risalatu laa hukm wa diin laa daulah.” Islam adalah risalah, bukan pemerintahan. Dan Islam adalah agama, bukan negara.

Di Indonesia, Syaikh Ali Abdurraziq diidolakan oleh tokoh-tokoh Gerombolan Kacung Liberal, semisal Luthfi Asyaukanie. Luthfi menyatakan bahwa Ali Abdurraziq telah menyelamatkan Islam dari pengamalan-pengamalan politik negatif yang terjadi sepanjang sejarah Islam.

Bantahan:
Ali Abdurraziq memiliki berbagai argumen untuk ‘menghalalkan’ ide-idenya, antara lain sebagai berikut:

Ali Abdurraziq menyatakan banyak mengutip ayat yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. adalah wakil (pengurus), yaitu di QS. Al An’am: 66. Rasulullah juga bukanlah musaitir (penguasa), yaitu di QS. Al Ghashiyah: 88. Sebaliknya, menurut dia Rasulullah itu hanyalah penyampai risalah seperti dalam QS. Ali Imran: 20, dan mubasyir (pemberi kabar), yaitu di QS. Al Isra: 105).

Argumentasi Ali Abdurraziq itu mudah dibantah. Ayat-ayat yang dia sampaikan adalah ayat-ayat Makiyah. Padahal pendirian negara Islam di Madinah bukanlah terjadi pada periode Makkah. Menurut Mukhtar Abdul Lathif dalam bukunya Kontroversi Ali Abdurraziq, kesalahan-kesalahan Ali Abdurraziq pula, bahwa ayat-ayat tersebut dipahami bukan sebagaimana mestinya. Sebab ayat-ayat tersebut harus dipahami sebagaimana sebab turunnya ayat-ayat tersebut, yaitu konteksnya ketika Rasulullah saw. dan para sahabatnya mengalami gangguan pada periode Makkah sebelum hijrah.

Ali Abdurraziq juga mengutip dua hadis untuk ‘menghalalkan’ idenya tersebut. Hadis yang pertama berkaitan dengan kisah: ada seseorang datang menghadap Rasulullah saw. karena ada sesuatu yang ingin disampaikan. Tetapi setelah bertemu beliau, orang tersebut justru gemetar dan seperti ketakutan. Lalu Rasulullah saw. berkata, “Tenangkan dirimu. Aku ini bukan raja. Aku adalah anak seorang wanita dari suku Quraisy…” (HR. Bukhari). Dalam pandangan dia, ketika Rasulullah menyatakan dirinya bukan raja, itu menunjukkan Rasululah tidak memiliki pemerintahan.

Hadis kedua yang digunakan Ali Abdurraziq adalah hadis yang menyatakan bahwa, “Antum a’lamu bi syu’uuni dunyaakum/kamu lebih mengetahui urusan duniamu.” (HR. Muslim). Menurut Ali Abdurraziq, kekuasaan itu adalah urusan dunia, maka sebaiknya orang-orang yang ingin memikirkan urusan kekuasaan tidak membawa-bawa Islam, jadi terserah orang mau mengatur kekuasaan dengan kekuasaan macam apa. Demikian pemikiran Ali Abdurraziq.

Kesalahan Ali Abdurraziq adalah sebagai berikut.
Hadis yang pertama itu sebenarnya tidak menafikan otoritas (kekuasaan politik) Nabi Muhammad saw., tetapi hanya menafikan sifat kejam dan zalim sebagaimana para raja yang ada pada waktu itu. Sebab, pada masa itu para raja umumnya memang zalim dan kejam. Sebab itulah Rasulullah saw. berusaha menenangkan orang tersebut dengan menyatakan bahwa dirinya bukan raja yang zalim.

Kesalahan pada penerapan hadis kedua adalah sebagai berikut.
Menurut Mukhtar Abdul Lathif, asbabul wurud hadis kedua adalah berkaitan dengan persilangan pohon kurma melalui eksperimen. Oleh karena itu, tidak tepat jika dikaitkan dengan pemerintahan. Hadis ini konteksnya adalah menyerahkan urusan manusia dalam hal teknis (menurut asbabul wurudnya adalah eksperimen kurma), yang tidak ada dalam Alquran dan Sunah. Masalah kekuasaan bukanlah termasuk masalah duniawi (teknis) tetapi masalah yang memang telah ditentukan di dalam Alquran, Sunah, dan Ijma’ Sahabat.

Ali Abdurraziq juga menggunakan dalil sejarah untuk ‘menghalalkan’ pemikirannya. Dalil sejarah sahabat yang dipakai ada dua: pertama dalil untuk membuktikan bahwa Islam tidak mengatur urusan pemerintahan, dalil kedua untuk membuktikan bahwa ijma tidak layak dijadikan dalil wajibnya khilafah.

Berkaitan dengan dalil pertama, Ali Abdurraziq menyatakan, “Jika Rasulullah memang bertugas mendirikan negara, tentu beliau akan menunjuk orang sebagai pengganti beliau. Sebaliknya, justru beliau membiarkan dan tidak menunjuk pengganti.” Hal ini dapat dibantah dengan mudah.

Pertama, tidak benar beliau saw. membiarkan urusan pemerintahan menjadi tidak jelas sepeninggal beliau, sebab meski beliau tidak menunjuk pengganti, Rasulullah telah menunjukkan thariqah suksesi kepemimpinan sepeninggal beliau, yaitu dengan jalan baiat. Ini berarti Rasulullah telah menunjukkan urusan kekuasaan ini dengan sangat jelas, bukan kabur.

Kedua, fokus perbedaan pendapat di kalangan sahabat terjadi berkaitan dengan person penggantinya, bukan wajib ada atau tidak. Ketiga, pemerintahan yang dipegang oleh para sahabat memang berdasarkan agama. Oleh karena itu, Rasulullah menggelari para sahabat itu dengan Khulafaur Rsyidin. Abu Bakar bin Abu Quhafah adalah khalifah pertama. Umar Al Faruq yang kedua. Usman Dzu Nurrain yang ketiga. Dan Ali Karamallahu Wajhah adalah yang keempat.

Sedangkan dalil sejarah yang kedua, yang menolak ijma sahabat tentang wajibnya kepemimpinan Islam, maka itu juga bisa dibantah dengan mudah. Ali Abdurraziq ingin membuktikan bahwa ijma (baik ijma sahabat, ulama, maupun kaum muslimin) tidak bisa dijadikan dalil. Dia membuktikan bahwa proses pembaiatan Yazid bin Muawiyah bin Abu Sufyan berlangsung di bawah ancaman pedang. Menurut Ali Abdurraziq, bagaimana mungkin ada baiat, sedangkan pada waktu itu berada dalam sebuah ancaman yang besar?

Pendapat ini sangat bodoh dan mudah dibantah. Pertama, peristiwa sejarah pembaiatan Yazid tidak bisa dijadikan hujjah dalam penerapan syariat Islam. Baiat itu salah satu syariat Islam. Tetapi baiat terhadap seseorang, tetap tidak bisa dijadikan dalil penegakkan syariat Islam, terlepas dari sah tidaknya baiat tersebut. Adapun peristiwa pembaiatan Yazid hanyalah peristiwa sejarah belaka yang tidak bisa membuktikan apapun selain kebodohan Yazid. Tidak juga membuktikan bahwa menegakkan khilafah itu tidak wajib. Tidak juga membuktikan bahwa ijma itu bathal. Sebab ijma yang paling sahih hanyalah ijma sahabat.

Kemudian yang kedua, ijma sahabat menurut pemahaman ulama adalah ijma dalam hal wajibnya menegakkan khilafah, bukan waib memilih person. Jadi Pemikiran Ali Abdurraziq ini sangat ngawur dan salah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar