Persoalan ini adalah persoalan yang tidak sepele. Persoalan ini harus
benar-benar dipecahkan agar seseorang tidak jatuh ke dalam konsep
takfir (mudah mengkafirkan orang lain). Mengapa? Sebab, hakikatnya,
kafir tidaknya seseorang sangat berkaitan dengan akidah (keyakinan)
seorang muslim.
Kita semua telah mengetahui bahwa khilafah adalah wajib adanya. Hal ini telah ditegaskan dalam banyak dalil, antara lain:
1. Nash-nash Alquran
Di
dalam Alquran ada banyak sekali perintah untuk menjalankan sanksi
hukum, seperti: potong tangan bagi pencuri (QS. Al Maidah: 38), hukum
cambuk bagi orang yang berzina (QS. An Nur: 2), penerapan rajam dan
qishash (QS. Al Baqarah: 178), dan masih banyak yang lainnya. Hal
tersebut hanya bisa dijalankan jika ada negara yang menerapkannya.
Negara apa? Tidak lain sebuah negara yang menerapkan syariat Islam
secara total, bukan setengah-setengah. Tidak lain negara itu adalah
negaranya Rasulullah saw., yaitu negara khilafah Islam. Kaidah ushul
menyatakan, “Maa laa yatimmul waajibu illaa bihi fahuwa waajib/Sebuah
kewajiban yang tidak sempurna dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu
yang lain itu juga menjadi wajib adanya.” Jika penerapan syariat Islam
tidak akan sempurna tanpa adanya sebuah negara, maka mendirikan negara
(yang menerapkan syariah Islam) itu juga wajib adanya.
2. Hadis
Begitu
banyak hadis yang mewajibkan agar orang melakukan baiat dan mencela
orang yang tidak membaiat khalifah atau melepaskan baiat terhadap
khalifah, antara lain, “Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari
ketaatan, maka kelak di hari akhir ia akan bertemu dengan Allah swt
tanpa memiliki hujjah. Barangsiapa mata, sedangkan di lehernya tidak
ada bai’at maka, matinya seperti mati jahiliyyah. (HR. Muslim), “Barangsiapa
yang membenci sesuatu dari tindakan penguasanya, hendaklah ia bersabar,
karena sesungguhnya orang yang meninggalkan penguasanya walupun hanya
sejengkal, maka ia mati seperti mati di jaman jahiliyyah. (Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin), dan “Barangsiapa
yang membenci sesuatu dari tindakan penguasanya, hendaklah ia bersabar,
karena sesungguhnya orang yang meninggalkan penguasanya walupun hanya
sejengkal, maka ia mati seperti mati di jaman jahiliyyah. (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Ijmak sahabat
Ijmak
sahabat telah menyatakan bahwa wajib mengangkat pengganti Rasulullah
saw. untuk mengurusi urusan umat dan menerapkan hukum Syariat. Lihatlah
bagaimana sikap Abu Bakar ketika Rasulullah wafat. Beliau menyatakan, “Ingat, Muhammad memang telah meninggal, sedangkan urusan agama ini tetap harus ada yang menjalankannya.”
Pada saat itu, tidak ada satu pun sahabat yang menolak perkataan Abu
Bakar. Ini merupakan kesepakatan para sahabat tentang wajibnya
mengangkat satu kepemimpinan untuk menjalankan urusan agama (menerapkan
syariat Islam).
Tidak hanya itu. Bahkan semua ulama, baik
dari kalangan Ahlussunnah, Syiah, Khawarij (kecuali sekte An Najadat)
dan Muktazilah (kecuali sekter Al Asham dan Fuwathi) telah menyepakati
bahwa kepemimpinan tunggal yang disebut imam itu wajib adanya. Pandangan
mereka bisa ditemukan dalam kitab-kitab seperti Ghayatul Maram karya
Imam Al Amidi, Siyasah Syar’iyah karya Ibnu Taimiyah, dan Ma’atsirul
Inafah fi Ma’alimul Khilafah karya Al Qalqasyandi. Juga dalam banyak
kitab lainnya. Imam Ibnu Abidin menyebut kewajiban menegakkan khilafah
(imamah) adalah kewajiban paling agung.
Para ulama juga
tidak berbeda pendapat bahwa hukum menegakkan khilafah adalah fardu
kifayah. Akan tetapi, Imam Asy Syathibi dalam kitab Al Muwafaqat
menyatakan bahwa statusnya sebagai hukum yang terkait dengan orang
maupun hukum lain, maka fardu kifayah tersebut harus diberlakukan secara
umum kepada semua orang mukallaf (yang telah terbebani hukum), agar
kondisi umum (yang menyempurnakan orang maupun hukum secara khusus,
dalam hal ini fardhu ‘ain) bisa tetap tegak. Bagian fardu kifayah ini
sesungguhnya menyempurnakan fardu kifayah sehingga status keduanya
sama-sama dharuri (sangat penting).
Imam Asy Syathibi juga
menegaskan bahwa hukum fardu kifayah itu pada umumnya disyariatkan
untuk hal-hal yang memiliki kaitan dengan kemashlahatan umum. Beliau
mencontohkan tentang khilafah, wizarah (pembantu khalifah), niqabah
(perwakilan para pemuka dalam majelis ummah), qadha’ (peradilan), imamah
salat (kepemimpinan salat), jihad, dan lain sebagainya. Hal-hal
tersebut jika diasumsikan tidak ada, atau orang meninggalkannya maka
sistem kehidupan akan menjadi berantakan.
Oleh karena itu
beliau menegaskan bahwa setiap mukallaf tetap dituntut agar fardu
tersebut tetap ditunaikan. Sebagian ada yang mampu sehingga dia
berkwajiban menunaikannya. Tetapi bagia sebagian yang lain, sekalipun
tidak mampu menunaikannya, tetap berusaha agar menghadirkan orang-orang
yang mampu.
Lalu jika khilafah ini adalah bagian dari
hukum syariah yang berkaitan dengan kemashlahatan umat, bagaimana status
orang yang mengingkarinya atau berusaha menghalangi tegaknya khilafah?
1) Imam Ibnu Abidin dalam kitab Syarhul Maniyyah menyebut orang yang mengingkari kefarduan adanya khilafah sebagai mubtadi’ yukaffaru biha
atau ahli bid’ah yang kebid’ahannya bisa menyebabkan dirinya jatuh ke
dalam kekafiran. Namun sebagian memilih sikap berhati-hati (ikhtiyath), tidak mau mengkafirkannya.
2)
Jika meninggalkan kewajiban menegakkan khilafah ini, jelas hal itu
merupakan perbuatan haram dan orang yang meninggalkannya berdosa.
Tetapi, tetap harus dibedakan dengan orang yang tidak melakukan
penegakkan khilafah itu karena tidak tahu cara mendirikannya. Orang yang
tidak berjuang menegakkan khilafah itu ada dua, yaitu ulama dan orang
awam. Bagi orang awam, kesalahannya bisa saja diampuni. Mengapa? Sebab,
tata cara tersebut memang belum pernah dirumuskan oleh ulama-ulama
sebelumnya, dan untuk itu perlu ijtihad baru tentang hal ini. Tetapi
bagi ulama, hal seperti ini bisa mengakibatkan dirinya berdosa. Sebab,
dia adalah ahli ilmu yang memiliki kewajiban untuk menggali tata cara
menegakkan khilafah.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar