Kamis, 24 November 2011

Mengingkari dan Menentang Kewajiban Menegakkan Khilafah

Persoalan ini adalah persoalan yang tidak sepele. Persoalan ini harus benar-benar dipecahkan agar seseorang tidak jatuh ke dalam konsep takfir (mudah mengkafirkan orang lain). Mengapa? Sebab, hakikatnya, kafir tidaknya seseorang sangat berkaitan dengan akidah (keyakinan) seorang muslim.

Kita semua telah mengetahui bahwa khilafah adalah wajib adanya. Hal ini telah ditegaskan dalam banyak dalil, antara lain:

1.   Nash-nash Alquran
Di dalam Alquran ada banyak sekali perintah untuk menjalankan sanksi hukum, seperti: potong tangan bagi pencuri (QS. Al Maidah: 38), hukum cambuk bagi orang yang berzina (QS. An Nur: 2), penerapan rajam dan qishash (QS. Al Baqarah: 178), dan masih banyak yang lainnya. Hal tersebut hanya bisa dijalankan jika ada negara yang menerapkannya. Negara apa? Tidak lain sebuah negara yang menerapkan syariat Islam secara total, bukan setengah-setengah. Tidak lain negara itu adalah negaranya Rasulullah saw., yaitu negara khilafah Islam. Kaidah ushul menyatakan, “Maa laa yatimmul waajibu illaa bihi fahuwa waajib/Sebuah kewajiban yang tidak sempurna dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu juga menjadi wajib adanya.” Jika penerapan syariat Islam tidak akan sempurna tanpa adanya sebuah negara, maka mendirikan negara (yang menerapkan syariah Islam) itu juga wajib adanya.

2.   Hadis
Begitu banyak hadis yang mewajibkan agar orang melakukan baiat dan mencela orang yang tidak membaiat khalifah atau melepaskan baiat terhadap khalifah, antara lain, “Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan, maka kelak di hari akhir ia akan bertemu dengan Allah swt tanpa memiliki hujjah.  Barangsiapa mata, sedangkan di lehernya tidak ada bai’at maka, matinya seperti mati jahiliyyah. (HR. Muslim), “Barangsiapa yang membenci sesuatu dari tindakan penguasanya, hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya orang yang meninggalkan penguasanya walupun hanya sejengkal, maka ia mati seperti mati di jaman jahiliyyah. (Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin), dan “Barangsiapa yang membenci sesuatu dari tindakan penguasanya, hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya orang yang meninggalkan penguasanya walupun hanya sejengkal, maka ia mati seperti mati di jaman jahiliyyah. (HR. Bukhari dan Muslim)

3.   Ijmak sahabat
Ijmak sahabat telah menyatakan bahwa wajib mengangkat pengganti Rasulullah saw. untuk mengurusi urusan umat dan menerapkan hukum Syariat. Lihatlah bagaimana sikap Abu Bakar ketika Rasulullah wafat. Beliau menyatakan, “Ingat, Muhammad memang telah meninggal, sedangkan urusan agama ini tetap harus ada yang menjalankannya.” Pada saat itu, tidak ada satu pun sahabat yang menolak perkataan Abu Bakar. Ini merupakan kesepakatan para sahabat tentang wajibnya mengangkat satu kepemimpinan untuk menjalankan urusan agama (menerapkan syariat Islam).

Tidak hanya itu. Bahkan semua ulama, baik dari kalangan Ahlussunnah, Syiah, Khawarij (kecuali sekte An Najadat) dan Muktazilah (kecuali sekter Al Asham dan Fuwathi) telah menyepakati bahwa kepemimpinan tunggal yang disebut imam itu wajib adanya. Pandangan mereka bisa ditemukan dalam kitab-kitab seperti Ghayatul Maram karya Imam Al Amidi, Siyasah Syar’iyah karya Ibnu Taimiyah, dan Ma’atsirul Inafah fi Ma’alimul Khilafah karya Al Qalqasyandi. Juga dalam banyak kitab lainnya. Imam Ibnu Abidin menyebut kewajiban menegakkan khilafah (imamah) adalah kewajiban paling agung.

Para ulama juga tidak berbeda pendapat bahwa hukum menegakkan khilafah adalah fardu kifayah. Akan tetapi, Imam Asy Syathibi dalam kitab Al Muwafaqat menyatakan bahwa statusnya sebagai hukum yang terkait dengan orang maupun hukum lain, maka fardu kifayah tersebut harus diberlakukan secara umum kepada semua orang mukallaf (yang telah terbebani hukum), agar kondisi umum (yang menyempurnakan orang maupun hukum secara khusus, dalam hal ini fardhu ‘ain) bisa tetap tegak. Bagian fardu kifayah ini sesungguhnya menyempurnakan fardu kifayah sehingga status keduanya sama-sama dharuri (sangat penting).

Imam Asy Syathibi juga menegaskan bahwa hukum fardu kifayah itu pada umumnya disyariatkan untuk hal-hal yang memiliki kaitan dengan kemashlahatan umum. Beliau mencontohkan tentang khilafah, wizarah (pembantu khalifah), niqabah (perwakilan para pemuka dalam majelis ummah), qadha’ (peradilan), imamah salat (kepemimpinan salat), jihad, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut jika diasumsikan tidak ada, atau orang meninggalkannya maka sistem kehidupan akan menjadi berantakan.

Oleh karena itu beliau menegaskan bahwa setiap mukallaf tetap dituntut agar fardu tersebut tetap ditunaikan. Sebagian ada yang mampu sehingga dia berkwajiban menunaikannya. Tetapi bagia sebagian yang lain, sekalipun tidak mampu menunaikannya, tetap berusaha agar menghadirkan orang-orang yang mampu.

Lalu jika khilafah ini adalah bagian dari hukum syariah yang berkaitan dengan kemashlahatan umat, bagaimana status orang yang mengingkarinya atau berusaha menghalangi tegaknya khilafah?

1)  Imam Ibnu Abidin dalam kitab Syarhul Maniyyah menyebut orang yang mengingkari kefarduan adanya khilafah sebagai mubtadi’ yukaffaru biha atau ahli bid’ah yang kebid’ahannya bisa menyebabkan dirinya jatuh ke dalam kekafiran. Namun sebagian memilih sikap berhati-hati (ikhtiyath), tidak mau mengkafirkannya.

2)  Jika meninggalkan kewajiban menegakkan khilafah ini, jelas hal itu merupakan perbuatan haram dan orang yang meninggalkannya berdosa. Tetapi, tetap harus dibedakan dengan orang yang tidak melakukan penegakkan khilafah itu karena tidak tahu cara mendirikannya. Orang yang tidak berjuang menegakkan khilafah itu ada dua, yaitu ulama dan orang awam. Bagi orang awam, kesalahannya bisa saja diampuni. Mengapa? Sebab, tata cara tersebut memang belum pernah dirumuskan oleh ulama-ulama sebelumnya, dan untuk itu perlu ijtihad baru tentang hal ini. Tetapi bagi ulama, hal seperti ini bisa mengakibatkan dirinya berdosa. Sebab, dia adalah ahli ilmu yang memiliki kewajiban untuk menggali tata cara menegakkan khilafah.

Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar