Kamis, 24 November 2011

Mush’ab bin Umair: Duta Islam yang Membuka Kota Yatsrib, Pembuka Ahlul Quwwah

Berhadapan dengan keluarga
Siapakah yang tidak kenal Mush’ab bin Umair. Dialah tokoh yang sangat berjasa terhadap tegaknya Daulah Islam. Dialah yang begitu tinggi kesetiaannya terhadap Islam sehingga rela melepaskan diri dari ibunya yang masih musyrik. Dialah yang disebut para muarrikh (ahli sejarah) dan ahli riwayat sebagai ‘Seorang warga kota Makkah yang mempunyai nama paling harum’. Dialah tokoh besar yang syahidnya ‘sangat syahid sekali’. Dialah Mush’ab bin Umair, duta pertama Islam.

Ia lahir dan dibesarkan dalam ligkungan kesenangan. Lingkungan orang kaya. Lingkungan yang membuatnya mengenal harta yang sangat banyak. Orang tuanya sangat menyayanginya. Segala yang diminta, dituruti. Betapa bahagianya menjadi seorang Mush’ab kecil. Betapa senangnya andai seorang anak diperlakukan demikian. Memang Mush’ab adalah anak orang kaya. Pakaian mewah, harta melimpah. Tampan dan bersih raganya. Sungguh pemuda yang sangat didambakan siapapun juga.

Suatu ketika Mush’ab mendengar ada seseorang yang bernama Muhammad yang mendakwakan diri sebagai nabi. Muhammad mengaku sebagai seorang utusan Allah. Benarkah demikian? Rasa ingin tahu Mush’ab pun semakin mendorongnya untuk mencari tahu akan kebenaran berita tersebut. Dia pun menuju Bukit Shafa di suatu senja dan mendatangi rumah Arqam bin Abu Arqam, sebuah rumah yang dijadikan ‘maktab’ yang digunakan oleh Muhammad sebagai pusat dakwahnya.

Di dalam rumah tersebut Rasulullah Muhammad saw. sedang mengajarkan para sahabatnya tentang Alquran. Mush’ab pun dipersilakan masuk kemudian duduk mendengarkan halqah indah yang datang dari lisan seorang utusan Allah, yaitu Muhammad saw. Keindahan perhalqahan itu pun akhirnya membuat Mush’ab tersentuh dan menyatakan keislamannya. Subhanallah..

Beberapa hari berlalu sejak keislamannya. Khunais binti Malik, ibu Mush’ab yang masih musyrik itu pun akhirnya mendengar pula berita tentang keislaman anaknya. Gemparlah di kalangan keluarga Mush’ab. Di keluarga sana, Mush’ab dibicarkan. Di keluarga sini, Mush’ab pun dibicarakan. Ibunya merasakan malu yang luar biasa. Khunais sering merasa tersindir, sebagai seorang kaya dan berkedudukan, ternyata tidak mampu mendidik anaknya untuk menyembah berhala-berhala. Ya, Khunais pun memutuskan untuk meminta keterangan terhadap anaknya tersebut.

Mush’ab yang merasakan perbedaan sikap kaumnya terhadapnya, mulai menyadari. Mush’ab tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah hal yang sangat beresiko. Oleh karena itulah, kemudian Mush’ab pun berpikir keras untuk menyembunyikan keislamannya. Apa yang dilakukan Mush’ab bukanlah bentuk taqiyyah. Tetapi Mush’ab hanya mengikuti gharizatul baqa’ yang ada dalam dirinya. Ya, Mush’ab memang takut terhadap ibunya. Tetapi rasa takut itu lebih didasarkan pada rasa hormat dirinya terhadap ibu yang telah melahirkan dan membesarkannya itu.

Suatu ketika, seorang musyrik warga Makkah yang bernama Usman bin Thalhah melihat Mush’ab mondar mandir ke rumah Arqam bin Abu Arqam. Sudah bukan rahasia lagi bahwa rumah tersebut memang sering digelar ‘pengajian misterius’ yangdilakukan Muhammad dengan beberapa orang. Usman yang melihat kejadian tersebut, akhirnya melaporkan semuanya kepada Khunais.

Meledaklah amarah sang ibu. Dikumpulkanlah beberapa tokoh Quraisy dan keluarga besar Khunais. Tujuannya adalah ‘mengadili’ Mush’ab atas tindakan yang telah dilakukannya, yaitu murtad dari agama nenek moyangnya dan lebih memilih mengikuti agama baru yang dibawa Muhammad. Di dalam forum tersebut, Mush’ab berdiri sendirian menyatakan tentang keislamannya. Membacakan ayat-ayat Allah kepada hadirin yang datang, dan mengajak mereka masuk Islam. Tetapi apa daya. Tabir gelap setan telah menutup rapat hati dan akal mereka. Mush’ab ditertawakan, diejek, dan dicaci maki.

Khunais pun maju dan hendak memukul putranya yang telah ‘murtad’ itu. Satu tamparan keras dari tangan seorang ibu hendak mendarat di wajah anaknya yang dicintainya tersebut sebagai tebusan rasa malu yang dideritanya. Tetapi Allah memang Maha Perkasa. Rasa benci Khunais terhadap anaknya yang sudah berpindah agama itu pun terhenti. Tangan yang sedianya digunakan untuk memukul anaknya tergentung tanpa menghasilkan sebuah tamparan. Rasa keibuannya mendorongnya untuk menghentikan itu semua. Khunais pun tidak tega melihat darah dagingnya harus terkena tamparan seorang ibu. Kemudian, Khunais memutuskan agar Mush’ab dikurung, dipenjara karena telah berani mengkhianati agama nenek moyangnya yang secara turun temurun diajarkan para orang tua.

Beberapa waktu Mush’ab tinggal di dalam penjara sampai beberapa orang pengikut Rasulullah mulai berhijrah ke Habsyi. Mendengar hal ini, akhirnya Mush’ab pun berusaha untuk melarikan diri, dan ternyata berhasil. Para penjaga dan ibunya sendiri tidak mengetahui kepergian Mush’ab. Maha Besar Allah dengan segala keperkasaan-Nya yang telah memperturutkan Mush’ab dalam perjalanan menuju Habsyi.

Mush’ab yang sekarang
Pada suatu hari, Mush’ab tampil di hadapan beberapa orang Islam yang sedang duduk di sekeliling Rasulullah saw. Demi memandang Mush’ab, mereka sama menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang basah matanya karena duka. Mereka melihat Mush’ab memakai jubah usang yang ditambal-tambal. Padahal belum hilang dari ingatan mereka bagaimana Mush’ab yang dulu gagah perkasa, berpakaian bagus dan disegani banyak orang. Harum semerbak wangi tubuhnya. Tetapi lihatlah sekarang ia..

Sedangkan Rasulullah saw. sendiri memandang Mush’ab dengan penuh arti, disertai cinta kasih dan rasa syukur yang luar biasa, kemudian beliau bersabda,
Dahulu saya melihat Mush’ab ini tidak ada yang mengimbagi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya. Kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Sejak Mush’ab masuk Islam, ibunya menghentikan semua pemberian kepada anaknya itu. Harta yang dulu melimpah, kini hilang sudah. Ibunya seolah tidak lagi menganggapnya sebagai darah dagingnya. Ia tak sudi makanannya dimakan oleh seorang laki-laki pengikut Muhammad, walaupun itu adalah anak kandungnya sendiri.

Ketika kepulangannya dari Habsyi, Mush’ab mendapati ibunya menyuruh beberapa orang untuk memenjarakannya sekali lagi. Oleh karena itu, akhrnya dia pun bersumpah akan membunuh setiap utusan ibunya yang memaksanya kembali ke penjara. Ibunya mengetahui kebesaran tekad anaknya tersebut. Kemudian berlinanglah air mata sang ibunda. Khunais menangisi anaknya yang sudah tidak lagi menurut kepadanya. Demikian pula Mush’ab. Ia sama sekali tidak hendak menyakiti siapapun, termasuk ibu kandungnya sendiri. Mush’ab menangis. Bersedih, karena tidak bisa membimbing ibunya untuk bersama-sama masuk Islam.

Ibunya pun mengusirnya dari rumah sambil berkata, “Pergilah sesuka hatimu! Aku bukan ibumu lagi!” Kemudian Mush’ab pun menjawab dengan jawaban yang penuh kasih sayang, “Wahai bunda! Telah ananda sampaikan nasihat kepada bunda, dan ananda menaruh kasihan kepada bunda. Karena itu saksikanlah bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”

Dengan murka, ibunya menyahut, “Demi bintang! Sekali-kali aku tidak akan masuk ke dalam agamamu itu! Otakku bisa jadi rusak, dan buah pikiranku tidak akan diindahkan orang lagi!”

Demikianlah..

Akhirnya Mush’ab pun harus berpisah dengan ibunya, untuk berjuang bersama Rasulullah saw.

Kisah Mush’ab membuka Yatsrib (Madinah)
Dalam perjalanan dakwah bersama kutlah dakwah Rasulullah saw. Mush’ab memegang peranan yang sangat penting sekali. Rasulullah saw. mengutus Mush’ab bin Umair menuju Yatsrib sebagai duta untuk mencari ahlul quwwah sebagai salah satu upaya untuk melakukan thalabun nushrah. Yatsrib adalah sebuah kota yang di dalamnya banyak sekali dihuni oleh orang-orang Yahudi dari berbagai bani; ada Bani Quraizhah, ada Bani Qainuqa’, dan lain-lain. Ada juga orang Islam, tetapi hanya beberapa saja. Sangat sedikit. Di antara mereka ada Suwaid bin Shamit, Iyas bin Muadz, Abu Dzar Al Ghifari, Thufail bin Amr Ad Dausi, Dhimad Al Azdi, As’ad bin Zurarah, Auf bin Harist, bin Rifa’ah, rafi’ bin Malik bin Al Ajlan, Quthbah bin Amr bin Hadidah, Uqbah bin Amr bin Nabiy, dan Jabir bin Abdullah bin Riab, dan beberapa yang lainnya.

Di dalam kota itu juga banyak sekali ditemukan orang-orang pengikut atheis dan Nasrani. Tetapi ada dua suku besar yang mendiami kota tersebut. Kebesaran kedua suku itu melebihi kekuatan kaum Yahudi. Kedua suku tersebut adalah suku Aus dan Khazraj. Kedua suku besar ini selalu terlibat pertempuran dan tidak pernah akur selama ratusan tahun. Semangat kebangsaan (ashabiyah) yang begitu tinggi telah menghalangi keduanya untuk bersatu. Sungguh, Mush’ab memiliki tugas yang amat berat, yaitu mencari ahlul quwwah untuk menopang dakwah Islam.

Sesampainya di Yatsrib (Madinah), didapatinya kaum muslimin di sana tidak lebih dari dua belas orang. Amat sedikit. Yaitu mereka yang telah melakukan baiat di bukit ‘Aqabah. Di Yatsrib, Mush’ab tinggal di rumah As’ad bin Zurarah. Dengan didampigi As’ad, Mush’ab mengunjungi kabilah-kabilah, tempat pertemuan, dan seluruh tempat yang biasanya digunakan untuk berkumpul. Di sana Mush’ab menyerukan agar mereka masuk Islam, dan melindungi dakwah Islam. Apa yang akan diterima mereka jauh lebih besar, yaitu kemuliaan hidup di dunia dan akhirat. Tetapi dakwah memang membutuhkan proses. Tidak seketika itu berhasil. Mush’ab pun didiamkan, dibiarkan saja, dan tidak dipedulikan.

Suatu ketika Mush’ab mengadakan sebuah halqah kecil di kebun milik Bani Zhafar. Dia diampingi oleh As’ad bin Zurarah. Kemudian salah seorang pemuka Yatsrib yang bernama Saad bin Muadz segera memerintahkan seorang kawannya yang bernama Usaid bin Hudhair untuk mendatangi Mush’ab dan As’ad. Saad berkata, “Pergilah dan temuilah dua orang yang datang dan membodohkan orang-orang lemah di antara kita. Hardiklah dan halangilah mereka berdua agar tidak mendatangi tempat kita. Karena As’ad bin Zurarah masih terhidung anak bibiku. Andaikata tidak ada hubungan kekerabatan ini, tentu aku sendiri yang akan menghadapinya.”

Lalu Usaid mengambil tombaknya dan menemui Mush’ab dan As’ad. Tatkala usaid sudah berada di depan halqah tersebut, As’ad membisikkan kepada Mush’ab, “Dia adalah pemimpin kaumnya yang sengaja datang hendak menemuimu. Percayakan urusan dirinya kepada Allah.” Mush’ab berkata, “Jika dia mau duduk, maka aku akan berbicara dengannya.”

Seraya mengacungkan tombak ke dada Mush’ab, kemudian Usaid berkata, “Apa yang kalian bawa kepada kami? Apakah kalian berdua hendak membodoh-bodohkan orang-orang yang lemah di antara kami? Jauhilah kami jika kalian ada keperluan untuk diri kalian sendiri.” Dengan tenang Mush’ab berkata, “Silahkan duduk agar engkau bisa mendengar apa yang hendak aku sampaikan. Jika engkau suka terhadap apa yang aku sampaikan, engkau bisa menerimanya. Tetapi jika tidak suka, engkau tidak perlu menerianya.” Usaid berkata, “Engkau cukup adil.” Usaid menancapkan tombaknya ke tanah dan duduk di perhalqahan Mush’ab dan mulai mendengarkan.

Mush’ab menjelaskan tentang Islam dan membacakan ayat-ayat Alquran kepadanya. Mush’ab berkata, “Demi Allah, aku sudah bisa melihat rona Islam di wajahnya sebelum dia sempat berbicara. Aku bisa melihatnya lewat keceriaan wajahnya dan bibirnya yang komat kamit.”

Usaid lalu berkata, “Alangkah bagus dan indahnya semua ini.” Kemudian dia melanjutkan, “Apa yang kalian lakukan jika hendak memasuki agama ini?” Mereka berdua menajwab, “Hendaklah engkau mandi (junub), bersihkan pakaian, kemudian berikan kesaksian yang benar, kemudian salat dua rekaat.”

Usaid langsung beranjak mandi, membersihkan bajunya, membaca syahadat, dan salat dua rekaat. Setelah itu dia berkata, “Di belakangku ada seorang laki-laki. Jika dia mau mengikuti seruan kalian berdua, maka tak seorang pun dari kaumnya yang menyalahinya. Saat ini pula aku akan membawa dia ke hadapan kalian berdua.” Orang yang dimaksud adalah Saad bin Muadz.

Tidak berapa lama kemudian, Saad bin Muadz sang pemuka Yatsrib pun langsung masuk Islam. Subhanallah wal hamdulillah..

Berita keislaman tokoh tokoh tersebut memancing orang lain untuk ikut masuk Islam, termasuk di antaranya. Tokoh pemuka Anshar ini pun segera masuk Islam ketika para pemuka lainnya juga menyatakan keislamannya. Sejak saat itu, kaum Aus dan Khazraj menjadi ahlul quwwah yang melindungi dakwah Islam hingga Rasulullah memerintahkan kaum muslimin di Makkah berhijrah menuju Yatsrib yang kelak disebut Madinah. Mush’ab bin Umair, selamat atasmu.. Sang duta Islam..

Kisah syahidnya Mush’ab bin Umair
Perang Uhud adalah perang yang tidak akan pernah terlupakan dari benak kaum muslim. Perang Uhud telah menyisakan kesedihan tatkala kekalahan itu menewaskan begitu banyak sahabat Rasulullah saw. termasuk salah satunya adalah Mush’ab bin Umair.

Peperangan berkobar, berkecamuk dengan sengitnya. Suasana semakin genting ketika kekuatan kafir Quraisy semakin menguat. Mush’ab menyadari suasana genting ini. Maka diacung-acungkan bendera rasulullah saw. setinggi-tingginya dan bagaikan auman singa ia bertakbir sekeras-kerasnya. Ia mengobrak-abrik semua yang dihadapinya. Pasukan Quraisy pun kocar kacir dibuatnya.

Mush’ab tetap gagah di atas kudanya, sebagai seorang prajurit, tentara Allah akan melumat siapa saja yang dihadapinya. Baginya, dalam peperangan hanya ada dua hal: membunuh atau dibunuh. Tangannya memegang bendera Rasulullah bagaikan tameng kesaktian, sedangkan tangan sebelahnya lagi memegang pedang yang sangat tajam yang siap menebas leher-leher kekafiran.

Kisah pilu syahidnya Mush’ab bin Umair bermula dari sini.
Mush’ab bin Umair adalah pembawa bendera di Perang Uhud. Tatkala barisan kaum muslimin terpecah, Mush’ab tetap bertahan pada kedudukannya. Tetap pada posisinya mengobrak abrik berisan lawan yang menuju ke arahnya. Tiba-tiba datanglah seorang musuh berkuda yang bernama Ibnu Qami’ah. Dari belakang dia melaju cepat dan seketika itu menebas tangan Mush’ab bin Umair hingga putus. Pedang tidak lagi di tangannya. Ketika hal itu terjadi, Mush’ab berkata “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa rasul.” Maka dipegangnya bendera dengan tangan kirinya sambil membungkukkan badan untuk melindungi bendera tersebut. Tetapi Ibnu Qami’ah lebih cepat. Sabetan pedangnya membuat tangan kiri Mush’ab juga terputus. Mush’ab membungkukkan badan dan menjepit bendera Rasulullah saw. dengan sisa-sisa tangan yang ada dalam tubuhnya. Bendera itu dijapit dan ditempelkan ke dada seraya berkata, “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa rasul.” Kemudian, denga bersusah payah dengan tangannya yang buntung, Mush’ab berusaha menghindari serangan Ibnu Qami’ah. Tetapi orang Quraisy ini lebih sigap dengan kesempurnaan fisik yang dimilikinya. Ketika Mush’ab membelakangi Ibnu Qami’ah, seketika itu juga Ibnu Qami’ah melemparkan tombak ke tubuh Mush’ab dari belakang sebanyak tiga kali. Kemudian serangan itu diakhiri dengan ditusukkannya sebuah tombak ke tubuh Mush’ab hingga tombak itu terputus. Mush’ab pun syahid seketika bermandikan darah keagungan. Inna lillahi wa inna ilaihi raajii’uun..

Setelah pertempuran usai, ditemukanlah jasad Mush’ab bin Umair dengan wajah menelungkup ke tanah dan dikelilingi darah perjuangan. Rasulullah yang melihat jenazah syuhada Uhud itu kemudian menitikkan air mata.

Salah seorang sahabat yang bernama Khabab bin Al Arrat berkata, “Kami hijrah di jalan Allah bersama Rasulullah saw. dengan mengharap keridhaan-Nya, hingga pastilh sudah pahala di sisi Allah. Di antara kami ada yang berlalu sebelum menikmati pahalanya di dunia ini sedikit pun juga. Di antaranya adalah Mush’ab bin Umair yang syahid di Perang Uhud. Tak sehelai pun kain untuk menutupinya selain sehelai burdah. Andai ditutupkan ke kepalanya, maka kakinya kelihatan, dan jika ditutupkan hingga ke kakinya, maka kepalanya kelihatan. Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Tutupkanlah ke bagian kepalanya, dan kakinya tutupilah dengan rumput idzkhir.”

Dalam perjalanan pulang menuju Madinah, Rasulullah berpapasan dengan Hamnah binti Jahsy, istri Mush’ab. Rasulullah memberitakan syahidnya saudaranya di medan Uhud, kemudian Hamnah berkata, “Inna lillahi…” Tetapi ketika Rasululah memberitakan betapa tragisnya kematian suaminya, Hamnah pun akhirnya menjerit dan menangis. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya suami wanita itu mempunyai tempat tersendiri di hatinya.”

Selamat jalan duta pertama Islam..
Selamat jalan Mush’ab bin Umair…

Rujukan:
1.  Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, Syaikh Khalid Muhammad Khalid
2.  Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury

Tidak ada komentar:

Posting Komentar