Berhadapan dengan keluarga
Siapakah yang tidak
kenal Mush’ab bin Umair. Dialah tokoh yang sangat berjasa terhadap
tegaknya Daulah Islam. Dialah yang begitu tinggi kesetiaannya terhadap
Islam sehingga rela melepaskan diri dari ibunya yang masih musyrik.
Dialah yang disebut para muarrikh (ahli sejarah) dan ahli riwayat
sebagai ‘Seorang warga kota Makkah yang mempunyai nama paling harum’.
Dialah tokoh besar yang syahidnya ‘sangat syahid sekali’. Dialah Mush’ab
bin Umair, duta pertama Islam.
Ia lahir dan dibesarkan
dalam ligkungan kesenangan. Lingkungan orang kaya. Lingkungan yang
membuatnya mengenal harta yang sangat banyak. Orang tuanya sangat
menyayanginya. Segala yang diminta, dituruti. Betapa bahagianya menjadi
seorang Mush’ab kecil. Betapa senangnya andai seorang anak diperlakukan
demikian. Memang Mush’ab adalah anak orang kaya. Pakaian mewah, harta
melimpah. Tampan dan bersih raganya. Sungguh pemuda yang sangat
didambakan siapapun juga.
Suatu ketika Mush’ab mendengar
ada seseorang yang bernama Muhammad yang mendakwakan diri sebagai nabi.
Muhammad mengaku sebagai seorang utusan Allah. Benarkah demikian? Rasa
ingin tahu Mush’ab pun semakin mendorongnya untuk mencari tahu akan
kebenaran berita tersebut. Dia pun menuju Bukit Shafa di suatu senja dan
mendatangi rumah Arqam bin Abu Arqam, sebuah rumah yang dijadikan
‘maktab’ yang digunakan oleh Muhammad sebagai pusat dakwahnya.
Di
dalam rumah tersebut Rasulullah Muhammad saw. sedang mengajarkan para
sahabatnya tentang Alquran. Mush’ab pun dipersilakan masuk kemudian
duduk mendengarkan halqah indah yang datang dari lisan seorang utusan
Allah, yaitu Muhammad saw. Keindahan perhalqahan itu pun akhirnya
membuat Mush’ab tersentuh dan menyatakan keislamannya. Subhanallah..
Beberapa
hari berlalu sejak keislamannya. Khunais binti Malik, ibu Mush’ab yang
masih musyrik itu pun akhirnya mendengar pula berita tentang keislaman
anaknya. Gemparlah di kalangan keluarga Mush’ab. Di keluarga sana,
Mush’ab dibicarkan. Di keluarga sini, Mush’ab pun dibicarakan. Ibunya
merasakan malu yang luar biasa. Khunais sering merasa tersindir, sebagai
seorang kaya dan berkedudukan, ternyata tidak mampu mendidik anaknya
untuk menyembah berhala-berhala. Ya, Khunais pun memutuskan untuk
meminta keterangan terhadap anaknya tersebut.
Mush’ab yang
merasakan perbedaan sikap kaumnya terhadapnya, mulai menyadari. Mush’ab
tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah hal yang sangat
beresiko. Oleh karena itulah, kemudian Mush’ab pun berpikir keras untuk
menyembunyikan keislamannya. Apa yang dilakukan Mush’ab bukanlah bentuk
taqiyyah. Tetapi Mush’ab hanya mengikuti gharizatul baqa’ yang ada dalam
dirinya. Ya, Mush’ab memang takut terhadap ibunya. Tetapi rasa takut
itu lebih didasarkan pada rasa hormat dirinya terhadap ibu yang telah
melahirkan dan membesarkannya itu.
Suatu ketika, seorang
musyrik warga Makkah yang bernama Usman bin Thalhah melihat Mush’ab
mondar mandir ke rumah Arqam bin Abu Arqam. Sudah bukan rahasia lagi
bahwa rumah tersebut memang sering digelar ‘pengajian misterius’
yangdilakukan Muhammad dengan beberapa orang. Usman yang melihat
kejadian tersebut, akhirnya melaporkan semuanya kepada Khunais.
Meledaklah
amarah sang ibu. Dikumpulkanlah beberapa tokoh Quraisy dan keluarga
besar Khunais. Tujuannya adalah ‘mengadili’ Mush’ab atas tindakan yang
telah dilakukannya, yaitu murtad dari agama nenek moyangnya dan lebih
memilih mengikuti agama baru yang dibawa Muhammad. Di dalam forum
tersebut, Mush’ab berdiri sendirian menyatakan tentang keislamannya.
Membacakan ayat-ayat Allah kepada hadirin yang datang, dan mengajak
mereka masuk Islam. Tetapi apa daya. Tabir gelap setan telah menutup
rapat hati dan akal mereka. Mush’ab ditertawakan, diejek, dan dicaci
maki.
Khunais pun maju dan hendak memukul putranya yang
telah ‘murtad’ itu. Satu tamparan keras dari tangan seorang ibu hendak
mendarat di wajah anaknya yang dicintainya tersebut sebagai tebusan rasa
malu yang dideritanya. Tetapi Allah memang Maha Perkasa. Rasa benci
Khunais terhadap anaknya yang sudah berpindah agama itu pun terhenti.
Tangan yang sedianya digunakan untuk memukul anaknya tergentung tanpa
menghasilkan sebuah tamparan. Rasa keibuannya mendorongnya untuk
menghentikan itu semua. Khunais pun tidak tega melihat darah dagingnya
harus terkena tamparan seorang ibu. Kemudian, Khunais memutuskan agar
Mush’ab dikurung, dipenjara karena telah berani mengkhianati agama nenek
moyangnya yang secara turun temurun diajarkan para orang tua.
Beberapa
waktu Mush’ab tinggal di dalam penjara sampai beberapa orang pengikut
Rasulullah mulai berhijrah ke Habsyi. Mendengar hal ini, akhirnya
Mush’ab pun berusaha untuk melarikan diri, dan ternyata berhasil. Para
penjaga dan ibunya sendiri tidak mengetahui kepergian Mush’ab. Maha
Besar Allah dengan segala keperkasaan-Nya yang telah memperturutkan
Mush’ab dalam perjalanan menuju Habsyi.
Mush’ab yang sekarang
Pada
suatu hari, Mush’ab tampil di hadapan beberapa orang Islam yang sedang
duduk di sekeliling Rasulullah saw. Demi memandang Mush’ab, mereka sama
menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang basah
matanya karena duka. Mereka melihat Mush’ab memakai jubah usang yang
ditambal-tambal. Padahal belum hilang dari ingatan mereka bagaimana
Mush’ab yang dulu gagah perkasa, berpakaian bagus dan disegani banyak
orang. Harum semerbak wangi tubuhnya. Tetapi lihatlah sekarang ia..
Sedangkan
Rasulullah saw. sendiri memandang Mush’ab dengan penuh arti, disertai
cinta kasih dan rasa syukur yang luar biasa, kemudian beliau bersabda,
“Dahulu
saya melihat Mush’ab ini tidak ada yang mengimbagi dalam memperoleh
kesenangan dari orang tuanya. Kemudian ditinggalkannya semua itu demi
cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Sejak Mush’ab
masuk Islam, ibunya menghentikan semua pemberian kepada anaknya itu.
Harta yang dulu melimpah, kini hilang sudah. Ibunya seolah tidak lagi
menganggapnya sebagai darah dagingnya. Ia tak sudi makanannya dimakan
oleh seorang laki-laki pengikut Muhammad, walaupun itu adalah anak
kandungnya sendiri.
Ketika kepulangannya dari Habsyi,
Mush’ab mendapati ibunya menyuruh beberapa orang untuk memenjarakannya
sekali lagi. Oleh karena itu, akhrnya dia pun bersumpah akan membunuh
setiap utusan ibunya yang memaksanya kembali ke penjara. Ibunya
mengetahui kebesaran tekad anaknya tersebut. Kemudian berlinanglah air
mata sang ibunda. Khunais menangisi anaknya yang sudah tidak lagi
menurut kepadanya. Demikian pula Mush’ab. Ia sama sekali tidak hendak
menyakiti siapapun, termasuk ibu kandungnya sendiri. Mush’ab menangis.
Bersedih, karena tidak bisa membimbing ibunya untuk bersama-sama masuk
Islam.
Ibunya pun mengusirnya dari rumah sambil berkata,
“Pergilah sesuka hatimu! Aku bukan ibumu lagi!” Kemudian Mush’ab pun
menjawab dengan jawaban yang penuh kasih sayang, “Wahai bunda! Telah
ananda sampaikan nasihat kepada bunda, dan ananda menaruh kasihan kepada
bunda. Karena itu saksikanlah bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”
Dengan murka,
ibunya menyahut, “Demi bintang! Sekali-kali aku tidak akan masuk ke
dalam agamamu itu! Otakku bisa jadi rusak, dan buah pikiranku tidak akan
diindahkan orang lagi!”
Demikianlah..
Akhirnya Mush’ab pun harus berpisah dengan ibunya, untuk berjuang bersama Rasulullah saw.
Kisah Mush’ab membuka Yatsrib (Madinah)
Dalam
perjalanan dakwah bersama kutlah dakwah Rasulullah saw. Mush’ab
memegang peranan yang sangat penting sekali. Rasulullah saw. mengutus
Mush’ab bin Umair menuju Yatsrib sebagai duta untuk mencari ahlul quwwah
sebagai salah satu upaya untuk melakukan thalabun nushrah. Yatsrib
adalah sebuah kota yang di dalamnya banyak sekali dihuni oleh
orang-orang Yahudi dari berbagai bani; ada Bani Quraizhah, ada Bani
Qainuqa’, dan lain-lain. Ada juga orang Islam, tetapi hanya beberapa
saja. Sangat sedikit. Di antara mereka ada Suwaid bin Shamit, Iyas bin
Muadz, Abu Dzar Al Ghifari, Thufail bin Amr Ad Dausi, Dhimad Al Azdi,
As’ad bin Zurarah, Auf bin Harist, bin Rifa’ah, rafi’ bin Malik bin Al
Ajlan, Quthbah bin Amr bin Hadidah, Uqbah bin Amr bin Nabiy, dan Jabir
bin Abdullah bin Riab, dan beberapa yang lainnya.
Di dalam
kota itu juga banyak sekali ditemukan orang-orang pengikut atheis dan
Nasrani. Tetapi ada dua suku besar yang mendiami kota tersebut.
Kebesaran kedua suku itu melebihi kekuatan kaum Yahudi. Kedua suku
tersebut adalah suku Aus dan Khazraj. Kedua suku besar ini selalu
terlibat pertempuran dan tidak pernah akur selama ratusan tahun.
Semangat kebangsaan (ashabiyah) yang begitu tinggi telah menghalangi
keduanya untuk bersatu. Sungguh, Mush’ab memiliki tugas yang amat berat,
yaitu mencari ahlul quwwah untuk menopang dakwah Islam.
Sesampainya
di Yatsrib (Madinah), didapatinya kaum muslimin di sana tidak lebih
dari dua belas orang. Amat sedikit. Yaitu mereka yang telah melakukan
baiat di bukit ‘Aqabah. Di Yatsrib, Mush’ab tinggal di rumah As’ad bin
Zurarah. Dengan didampigi As’ad, Mush’ab mengunjungi kabilah-kabilah,
tempat pertemuan, dan seluruh tempat yang biasanya digunakan untuk
berkumpul. Di sana Mush’ab menyerukan agar mereka masuk Islam, dan
melindungi dakwah Islam. Apa yang akan diterima mereka jauh lebih besar,
yaitu kemuliaan hidup di dunia dan akhirat. Tetapi dakwah memang
membutuhkan proses. Tidak seketika itu berhasil. Mush’ab pun didiamkan,
dibiarkan saja, dan tidak dipedulikan.
Suatu ketika
Mush’ab mengadakan sebuah halqah kecil di kebun milik Bani Zhafar. Dia
diampingi oleh As’ad bin Zurarah. Kemudian salah seorang pemuka Yatsrib
yang bernama Saad bin Muadz segera memerintahkan seorang kawannya yang
bernama Usaid bin Hudhair untuk mendatangi Mush’ab dan As’ad. Saad
berkata, “Pergilah dan temuilah dua orang yang datang dan membodohkan
orang-orang lemah di antara kita. Hardiklah dan halangilah mereka berdua
agar tidak mendatangi tempat kita. Karena As’ad bin Zurarah masih
terhidung anak bibiku. Andaikata tidak ada hubungan kekerabatan ini,
tentu aku sendiri yang akan menghadapinya.”
Lalu Usaid
mengambil tombaknya dan menemui Mush’ab dan As’ad. Tatkala usaid sudah
berada di depan halqah tersebut, As’ad membisikkan kepada Mush’ab, “Dia
adalah pemimpin kaumnya yang sengaja datang hendak menemuimu. Percayakan
urusan dirinya kepada Allah.” Mush’ab berkata, “Jika dia mau duduk,
maka aku akan berbicara dengannya.”
Seraya mengacungkan
tombak ke dada Mush’ab, kemudian Usaid berkata, “Apa yang kalian bawa
kepada kami? Apakah kalian berdua hendak membodoh-bodohkan orang-orang
yang lemah di antara kami? Jauhilah kami jika kalian ada keperluan untuk
diri kalian sendiri.” Dengan tenang Mush’ab berkata, “Silahkan duduk
agar engkau bisa mendengar apa yang hendak aku sampaikan. Jika engkau
suka terhadap apa yang aku sampaikan, engkau bisa menerimanya. Tetapi
jika tidak suka, engkau tidak perlu menerianya.” Usaid berkata, “Engkau
cukup adil.” Usaid menancapkan tombaknya ke tanah dan duduk di
perhalqahan Mush’ab dan mulai mendengarkan.
Mush’ab
menjelaskan tentang Islam dan membacakan ayat-ayat Alquran kepadanya.
Mush’ab berkata, “Demi Allah, aku sudah bisa melihat rona Islam di
wajahnya sebelum dia sempat berbicara. Aku bisa melihatnya lewat
keceriaan wajahnya dan bibirnya yang komat kamit.”
Usaid
lalu berkata, “Alangkah bagus dan indahnya semua ini.” Kemudian dia
melanjutkan, “Apa yang kalian lakukan jika hendak memasuki agama ini?”
Mereka berdua menajwab, “Hendaklah engkau mandi (junub), bersihkan
pakaian, kemudian berikan kesaksian yang benar, kemudian salat dua
rekaat.”
Usaid langsung beranjak mandi, membersihkan
bajunya, membaca syahadat, dan salat dua rekaat. Setelah itu dia
berkata, “Di belakangku ada seorang laki-laki. Jika dia mau mengikuti
seruan kalian berdua, maka tak seorang pun dari kaumnya yang
menyalahinya. Saat ini pula aku akan membawa dia ke hadapan kalian
berdua.” Orang yang dimaksud adalah Saad bin Muadz.
Tidak berapa lama kemudian, Saad bin Muadz sang pemuka Yatsrib pun langsung masuk Islam. Subhanallah wal hamdulillah..
Berita
keislaman tokoh tokoh tersebut memancing orang lain untuk ikut masuk
Islam, termasuk di antaranya. Tokoh pemuka Anshar ini pun segera masuk
Islam ketika para pemuka lainnya juga menyatakan keislamannya. Sejak
saat itu, kaum Aus dan Khazraj menjadi ahlul quwwah yang melindungi
dakwah Islam hingga Rasulullah memerintahkan kaum muslimin di Makkah
berhijrah menuju Yatsrib yang kelak disebut Madinah. Mush’ab bin Umair,
selamat atasmu.. Sang duta Islam..
Kisah syahidnya Mush’ab bin Umair
Perang
Uhud adalah perang yang tidak akan pernah terlupakan dari benak kaum
muslim. Perang Uhud telah menyisakan kesedihan tatkala kekalahan itu
menewaskan begitu banyak sahabat Rasulullah saw. termasuk salah satunya
adalah Mush’ab bin Umair.
Peperangan berkobar, berkecamuk
dengan sengitnya. Suasana semakin genting ketika kekuatan kafir Quraisy
semakin menguat. Mush’ab menyadari suasana genting ini. Maka
diacung-acungkan bendera rasulullah saw. setinggi-tingginya dan bagaikan
auman singa ia bertakbir sekeras-kerasnya. Ia mengobrak-abrik semua
yang dihadapinya. Pasukan Quraisy pun kocar kacir dibuatnya.
Mush’ab
tetap gagah di atas kudanya, sebagai seorang prajurit, tentara Allah
akan melumat siapa saja yang dihadapinya. Baginya, dalam peperangan
hanya ada dua hal: membunuh atau dibunuh. Tangannya memegang bendera
Rasulullah bagaikan tameng kesaktian, sedangkan tangan sebelahnya lagi
memegang pedang yang sangat tajam yang siap menebas leher-leher
kekafiran.
Kisah pilu syahidnya Mush’ab bin Umair bermula dari sini.
Mush’ab
bin Umair adalah pembawa bendera di Perang Uhud. Tatkala barisan kaum
muslimin terpecah, Mush’ab tetap bertahan pada kedudukannya. Tetap pada
posisinya mengobrak abrik berisan lawan yang menuju ke arahnya.
Tiba-tiba datanglah seorang musuh berkuda yang bernama Ibnu Qami’ah.
Dari belakang dia melaju cepat dan seketika itu menebas tangan Mush’ab
bin Umair hingga putus. Pedang tidak lagi di tangannya. Ketika hal itu
terjadi, Mush’ab berkata “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul
yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa rasul.” Maka dipegangnya
bendera dengan tangan kirinya sambil membungkukkan badan untuk
melindungi bendera tersebut. Tetapi Ibnu Qami’ah lebih cepat. Sabetan
pedangnya membuat tangan kiri Mush’ab juga terputus. Mush’ab
membungkukkan badan dan menjepit bendera Rasulullah saw. dengan
sisa-sisa tangan yang ada dalam tubuhnya. Bendera itu dijapit dan
ditempelkan ke dada seraya berkata, “Muhammad itu tiada lain hanyalah
seorang Rasul yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa rasul.”
Kemudian, denga bersusah payah dengan tangannya yang buntung, Mush’ab
berusaha menghindari serangan Ibnu Qami’ah. Tetapi orang Quraisy ini
lebih sigap dengan kesempurnaan fisik yang dimilikinya. Ketika Mush’ab
membelakangi Ibnu Qami’ah, seketika itu juga Ibnu Qami’ah melemparkan
tombak ke tubuh Mush’ab dari belakang sebanyak tiga kali. Kemudian
serangan itu diakhiri dengan ditusukkannya sebuah tombak ke tubuh
Mush’ab hingga tombak itu terputus. Mush’ab pun syahid seketika
bermandikan darah keagungan. Inna lillahi wa inna ilaihi raajii’uun..
Setelah
pertempuran usai, ditemukanlah jasad Mush’ab bin Umair dengan wajah
menelungkup ke tanah dan dikelilingi darah perjuangan. Rasulullah yang
melihat jenazah syuhada Uhud itu kemudian menitikkan air mata.
Salah
seorang sahabat yang bernama Khabab bin Al Arrat berkata, “Kami hijrah
di jalan Allah bersama Rasulullah saw. dengan mengharap keridhaan-Nya,
hingga pastilh sudah pahala di sisi Allah. Di antara kami ada yang
berlalu sebelum menikmati pahalanya di dunia ini sedikit pun juga. Di
antaranya adalah Mush’ab bin Umair yang syahid di Perang Uhud. Tak
sehelai pun kain untuk menutupinya selain sehelai burdah. Andai
ditutupkan ke kepalanya, maka kakinya kelihatan, dan jika ditutupkan
hingga ke kakinya, maka kepalanya kelihatan. Kemudian Rasulullah
bersabda, ‘Tutupkanlah ke bagian kepalanya, dan kakinya tutupilah dengan
rumput idzkhir.”
Dalam perjalanan pulang menuju Madinah,
Rasulullah berpapasan dengan Hamnah binti Jahsy, istri Mush’ab.
Rasulullah memberitakan syahidnya saudaranya di medan Uhud, kemudian
Hamnah berkata, “Inna lillahi…” Tetapi ketika Rasululah memberitakan
betapa tragisnya kematian suaminya, Hamnah pun akhirnya menjerit dan
menangis. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya suami wanita itu mempunyai
tempat tersendiri di hatinya.”
Selamat jalan duta pertama Islam..
Selamat jalan Mush’ab bin Umair…
Rujukan:
1. Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, Syaikh Khalid Muhammad Khalid
2. Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury
Tidak ada komentar:
Posting Komentar