Beberapa waktu yang lalu, umat Islam di seluruh dunia menjalankan
ibadah haji di Makkah. Seluruh umat bersatu. Umat Islam dari berbagai
bangsa di dunia menyatu di tempat yang satu. Mereka mengerjakan ibadah
dengan tata urutan yang satu. Menyambut panggilan Tuhan yang satu.
Mengikuti sunnah nabi yang satu. Pakaian yang mereka gunakan pun sama.
Bahkan ucapan yang mereka lantunkan pun satu, Labbaika Allahumma labbaika, labbaika la syarika laka labbaika, innal hamda wani’mata laka wall mulka, la syarika laka.
Di
hadapan Baitullah, mereka tanggalkan segala atribut yang mereka
kenakan. Baik itu jabatan, gelar, dan mazhab semua dilepaskan hanya
karena mengikuti satu aturan, yaitu aturan ibadah haji. Mereka tidak
lagi memandang umat Islam lain sebagai orang yang asing. Orang pengikut
mazhab Syafi’i menyatu dengan orang pengikut mazhab Hambali, Maliki, dan
Hanafi. Dari sisi politis, orang Indonesia sama dan satu umat dengan
orang Palestina. Orang Islam Eropa sama dan satu dengan orang Islam di
Afrika. Sekat-sekat nasionalisme pun mereka tanggalkan untuk memenuhi
seruan Tuhan yang satu yaitu Allah swt., dan mengikuti sunah yang satu
yaitu sunah Rasulullah saw. Terlihat sekali persatuan umat Islam dalam
ibadah haji itu. Subhanallah.
Tetapi ibadah haji telah
berlalu. Umat Islam kembali lagi pada apa yang pernah mereka tinggalkan.
Bagi yang memiliki jabatan, dia akan kembali menjadi pejabat akan
dihormati. Bagi yang memiliki kedudukan, dia akan bertambah tinggi
kedudukannya dengan label ‘haji’ dan ‘hajjah’ di bagian depan nama
mereka. Bagi yang terlibat dalam suatu partai politik dan jamaah Islam,
mereka pun kembali pada pemahaman partai dan jamaahnya itu. Dan yang
jelas, mereka akan kembali lagi ke negara masing-masing sebagaimana dulu
mereka tinggal.
Suasana yang begitu indah ketika
menunaikan ibadah haji itu pun akan segera sirna ketika mereka tidak
mampu memahami dan memaknai haji sebagaimana mestinya. Suasana yang satu
itu akan segera hilang ketika mereka kembali pada
‘kelompok-kelompok’nya. Bagi yang memakai celana di atas mata kaki,
akan kembali memandang berbeda orang yang celananya di bawah mata kaki
dan demikian pula sebaliknya. Bagi yang suka memakai qunut dalam salat
subuhnya, kembali merasa asing dengan orang yang tidak memakai qunut
dalam salat subuhnya, dan sebaliknya. Demikian pula dalam hal
pelaksanaan ibadah-ibadah lain yang berbeda. Masing-masing politisi yang
mengerjakan ibadah haji kembali bersaing dalam hal ikatan politik
mereka. Ini tentu tidak kita inginkan.
Ego kebangsaan
antara umat Islam di Indonesia dengan yang ada di Malaysia pun, kembali
menguat. Padahal sewaktu di Makkah, mereka dipandang dan merasakan
kebersamaan dan persatuan yang luar biasa. Bagi orang yang memiliki
kedudukan akan bertambah kebanggaannya terhadap dirinya sendiri setelah
gelar ‘haji’ dan ‘hajjah’ dilekatkan di depan nama mereka, kemudian
muncullah sifat ujub dalam dirinya. Inilah realitas yang selalu kita dapati di masyarakat selama bertahun-tahun dari sejak dahulu hingga sekarang.
Hikmah Politis Haji
Makna
politis haji yang sangat terlihat adalah persatuan umat. Sebagaimana
kita telah melihat bersama, di dalam ibadah haji, umat Islam tidak
pernah diperlakukan berbeda walaupun mereka berasal dari berbagai macam
kalangan; baik itu partai politik, pejabat, mazhab, golongan, bangsa,
dan sebagainya. Kalau pun ada, tentu itu berkaitan dengan masalah
teknis. Seorang presiden tentu berbeda pelayanannya dengan orang Islam
pada umumnya yang beribadah haji. Terlepas dari itu semua, hakikatnya
adalah sama. Tidak berbeda antara pejabat dengan seorang muslim dari
kalangan rakyat biasa. Demikian pula, dengan orang-orang Islam yang
berasal dari organisasi-organisasi massa dan partai-partai politik.
Orang Islam yang berasal dari partai sekuler menyatu dengan orang Islam
dari partai Islam. Demikian seterusnya, sehingga setiap hal yang
membedakan antara satu orang dengan yang lainnya pun luluh di kala
ibadah haji dikerjakan.
Termasuk juga, umat Islam bangsa Indonesia
dan Malaysia yang beberapa waktu lalu terlibat konflik, maka perasaan
mereka pun dihilangkan. Perasaan mereka pun menyatu sebagaimana satunya
akidah Islam mereka. Umat Islam Mesir yang pernah menutup pintu
perbatasan untuk pelarian diri orang-orang Gaza, pada saat ibadah haji,
perasaan permusuhan itu pun dilepaskan.
Demikianlah,
ibadah haji menjadi satu ‘magnet’ besar yang mampu menarik umat Islam
dari berbagai golongan, bangsa, dan stratifikasi sosial menjadi umat
yang satu sebagaimana Islam itu sendiri. Mereka menjadi umat yang satu,
yaitu umat Islam, mereka memiliki Tuhan yang satu, yaitu Allah swt.;
mereka memiliki nabi yang satu, yaitu Nabi Muhammad saw.; mereka
memiliki kitab suci yang satu, yaitu Alquran; mereka memiliki syariat
yang satu, yaitu syariat Islam. Dan seharusnya, mereka juga memiliki
negara yang satu, yaitu negara Khilafah Islam sebagaimana telah
dicontohkan oleh Rasulullah saw., Khulafaur Rasyidin, dan
khalifah-khalifah setelahnya baik pada masa Umayyah, Abbasiyah, maupun
Usmaniyah.
Dengan melihat kenyataan di atas, sebenarnya
tidak ada alasan bagi umat Islam untuk tidak bersatu. Persatuan mereka,
bukan hanya pada saat menunaikan ibadah haji semata. Bukan pula
persatuan semu seperti yang diusung Organisasi Konferensi Islam. Tetapi
persatuan umat adalah persatuan yang hakiki untuk menyatukan umat Islam
sedunia, tanpa sekat apapun. Sehingga kalau pun ada perbedaan, hal itu
hanyalah perbedaan dalam masalah cabang (furu’), dan bukan dalam hal
yang ushuli (pokok) serta bukan berkaitan dengan persatuan
umat. Sebab, perbedaan dalam hal pokok dan persatuan umat, bisa jadi itu
adalah suatu perpecahan sebagaimana konsep negara bangsa (nation-state) yang ada saat ini, yang membuat umat Islam bangsa satu memusuhi, tidak mau membantu, dan mengabaikan umat Islam bangsa lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar