1. Hakikat Khilafah
Khilafah, secara
etimologis, adalah kedudukan pengganti yang menggantikan orang
sebelumnya. Menurut terminologi syar'i, khilafah diartikan sebagai
kepimpinan umum, yang menjadi hak seluruh kaum muslimin di dunia untuk
menegakkan hukum syariat Islam (hukum Allah) dan mengemban dakwah Islam
ke seluruh dunia.
Batasan “kepimpinan umum” mempunyai
konotasi, bahwa khilafah Islam bertugas mengurusi seluruh urusan, yang
meliputi pelaksanaan semua hukum syara’ terhadap rakyat, tanpa
terkecuali meliputi muslim dan non-muslim. Mulai dari masalah akidah,
ibadah, ekonomi, sosial, pendidikan, politik dalam dan luar negeri,
semuanya diurus oleh khilafah Islam.
Jika Anda membuka kitab Lisanul Arab karya Imam Ibnu Mandzur, maka Anda semua akan mendapatkan definisi seperti ini.
Bentuk dan sistem pemerintahan Islam adalah sebagai berikut:
a. Negara Islam tidak berbentuk federasi ataupun persemakmuran (commonwealth), tetapi berbentuk kesatuan (union).
b.
Sistem pemerintahan Islam tidak berbentuk kerajaan (monarki), baik
absolut, seperti kerajaan Saudi Arabia, maupun perlementer, seperti
kerajaan Malaysia. Juga tidak berbentuk republik, baik presidensial,
seperti Indonesia, maupun parlementer, seperti Rusia. Tetapi sistem
pemerintahan Islam adalah sistem khilafah, dimana khalifah tidak seperti
presiden, juga tidak seperti perdana menteri, atau raja.
c.
Sistem pemerintahan Islam juga tidak berbentuk demokrasi, teokrasi,
ataupun autokrasi. Tetapi, sistem pemerintahan Islam adalah sistem
khilafah yang tidak sama dengan model pemerintahan yang ada di dunia
saat ini.
d. Sistem pemerintahan Islam berbentuk sentralisasi, sedangkan administrasi atau birokrasinya menganut sistem desentralisasi.
e. Bentuk negara Islam yang sesungguhnya juga bukanlah bentuk negara bangsa (nation-state)
seperti yang digagas oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo dengan
Negara Islam Indonesianya. Tetapi bentuk negara Islam adalah bentuk
negara global internasional, sebagai bentuk persatuan umat Islam
sedunia.
Sistem khilafah adalah sistem pemerintahan Islam
global yang menerapkan hukum-hukum Allah Tuhan Semesta Alam yang
diperuntukkan bagi manusia. Banyak hukum yang mengatur masalah khilafah
Islam ini telah dibahas oleh ulama fiqih, yang sudah tidak terhitung
jumlahnya, baik yang ditulis ulama klasik maupun kontemporer. Ini bisa
kita temukan dalam pembahasan kitab fiqih klasik, seperti Ahkamus
Sulthaniyah, karya Imam Al Mawardi, Qawaninul Wuzara’ wa Siyasatul Mulk,
juga karya Imam Al Mawardi, Ahkamus Sulthaniyah, karya Abu Ya’la Al
Farra’, dan Siyasah Syar’iyah karya Ibnu Taimiyah.
Sedangkan
dalam karya fiqih yang ditulis oleh ulama fiqih modern, pasca jatuhnya
khilafah Islam, di samping pembahasan mengenai struktur dan peranan
setiap struktur negara, juga dibahas bentuk negara, sistem pemerintahan,
serta model ideal negara khilafah Islam yang sesuai dengan perkembangan
baru. Kajian yang paling lengkap dalam masalah ini adalah buku Nizhamul
Hukmi fil Islam, karya Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, juga Abul A’la Al
Maududi. Meskipun karya yang terakhir ini banyak pandangan yang tidak
orisinal Islam, dan masih terpengaruh dengan konsep baru yang berkembang
pada zamannya, seperti konsep Theodemocracy yang diperkenalkan oleh
penulisnya.
2. Khilafah adalah janji Allah
Allah swt. berfirman,
“Allah
telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di
antara kalian, bahwa Dia akan menjadikan mereka berkuasan di bumi
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa…” (QS. An Nur: 55)
Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini menyatakan, “Inilah
janji Allah swt. kepada Rasulullah saw. bahwa Allah swt. akan
menjadikan umat Nabi Muhammad saw. sebagai khulafa’ul ardh, yaitu
pemimpin dan pelindung manusia. Dengan merekalah (yaitu para khalifah),
akan terjadi perbaikan negeri dan seluruh hamba Allah akan tunduk kepada
mereka.”
Imam Ath Thabari menyatakan, “Sungguh,
Allah akan mewariskan bumi kaum musyrik dari kalangan Arab dan non-Arab
kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih. Sungguh pula Allah
akan menjadikan mereka peguasa dan pengaturnya.” Lihat dalam Tafsir Ath Thabari.
Imam Asy Syaukani berkata dalam kitabnya Fathul Qadir, “Inilah
janji dari Allah swt. kepada orang yang beriman kepada-Nya dan
melaksanakan amal salih tentang kekhilafahan bagi mereka di muka bumi
sebagaimana Allah pernah mengangkat sebagai penguasa orang-orang sebelum
mereka. Inilah janji yang berlaku umum bagi seluruh generasi umat. Ada
yang menyatakan bahwa janji ini hanya berlaku bagi sahabat saja.
Sesungguhnya pendapat ini tidak memiliki dasar sama sekali. Alasannya,
iman dan amal salih tidak hanya khusus ada para sahabat saja, namun bisa
saja dipenuhi oleh setiap generasi dari umat ini.”
Rasulullah saw. bersabda,
“‘Di
tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap
ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya.
Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan
atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia
berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) yang
zalim. Ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan
mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada
kekuasaan (kerajaan) diktator yang menyengsarakan. Ia juga ada dan atas
izin Allah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada khilafah yang mengikuti
manhaj kenabian.’ Kemudian beliau diam.” (HR. Ahmad dan Al Bazaar)
Hadis
di atas adalah kabar dari Rasulullah bahwa suatu saat akan datang
kembali sistem khilafah yang diterapkan dengan metode kenabian.
Rasulullah
juga menyatakan bahwa orang yang akan menggantikan beliau, mengurusi
urusan agama dan dunia adalah seorang khalifah. Beliau bersabda,
“’Sesungguhnya
tidak ada nabi setelahku, lalu akan ada para khalifah yang banyak.’
Mereka bertanya, ‘Apa yang Anda perintahkan kepada kami?’ Nabi saw.
menjawab, ‘Tunaikanlah baiat khalifah yang pertama saja.’” (HR. Bukhari)
Di
sini Nabi Muhammad saw. menyebut penggantinya bukanlah nabi, sebab
tidak ada nabi lagi melainkan para khulafa’ dan jumlahnya banyak.
3. Dalil wajibnya keberadaan Khilafah Islamiyah
Banyak
nash syara’, baik Alquran maupun Assunnah, yang memerintahkan kaum
muslimin untuk merealisasikan adanya khilafah Islam, antara lain:
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta orang-orang yang menjadi pemimpin di antara kalian.” (QS. An Nisa’: 59)
Ayat
ini memerintahkan ketaatan kepada Allah, dan Rasul serta pemimpin,
dimana hukum ketaatan tersebut adalah wajib. Maka, baik Allah maupun
Rasul, keberadaannya sama-sama pasti, karena itu hukum menaatinya adalah
pasti; tidak berubah menjadi tidak wajib hanya karena ketiadaan objek
yang ditaati. Sebaliknya, jika diperintahkan untuk menaati, maka hukum
mewujudkan objek yang ditaati menjadi pasti (wajib). Sebab, tidak pernah
ada hukum wajib diperintahkan atas sesuatu yang keberadaannya tidak
ada.
Di samping ayat di atas, juga banyak ayat lain yang
berkaitan dengan kewajiban untuk melaksanakan hukum potong tangan
terhadap pencuri, cambuk atas orang yang berzina (ghairul muhshan),
dan sebagainya, yang tidak mungkin dilaksanakan kecuali dengan adanya
khilafah Islam. Maka, hukum adanya khilafah Islam adalah wajib, sebagai
bagian dari hukum wajibnya melaksanakan hudud tersebut. Ini sebagaimana
yang dinyatakan oleh kaidah ushul:
“Suatu kewajiban tidak akan
bisa dilaksanakan dengan sempurna, kecuali dengan adanya sesuatu yang
lain, maka sesuatu yang lain itu menjadi wajib pula.”
Sedangkan nash hadis adalah sebagaimana sabda Nabi saw. yang menyatakan:
“Sesungguhnya
imam adalah laksana perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di
belakangnya dan dia akan dijadikan sebagai pelindung.” (HR. Muslim)
Hadis di atas memberikan ikhbar
(pemberitahuan) yang berisi pujian, yaitu “imam adalah laksana
perisai”. Jika adanya “sesuatu yang dipuji” tersebut membawa akibat
tegaknya hukum Islam dan sebaliknya apabila “sesuatu yang dipuji”
tersebut tidak ada, hukum Islam tidak akan tegak, maka pujian tersebut
merupakan qarinah jazimah (indikasi yang tegas), bahwa “sesuatu yang dipuji tersebut” hukumnya adalah wajib.
Ada juga hadis Nabi Muhammad saw. tentang baiat, yaitu dari Abdullah bin Umar,
Barangsiapa
yang melepaskan tangannya dari ketaatan, maka kelak di hari akhir ia
akan bertemu dengan Allah swt tanpa memiliki hujjah. Barangsiapa mata,
sedangkan di lehernya tidak ada bai’at maka, matinya seperti mati
jahiliyyah. (HR. Muslim)
Nabi Muhammad saw. telah
mewajibkan kaum muslim agar di atas pundak mereka terdapat baiat. Beliau
mensifati orang yang meninggal sedangkan di pundaknya tidak ada baiat
seperti mati jahiliyah. Baiat itu hanya diberikan kepada khalifah, bukan
yang lain.
Rasululah telah mewajibkan agar di atas pundak
mereka terdapat baiat kepada khalifah, namun beliau tidak mewajibkan
setiap muslim untuk melakukan baiat. Karena yang wajib hanyalah adanya
baiat di atas pundak setiap muslim, yaitu adanya seorang khalifah.
Sehingga dengan adanya seorang khalifah itu maka baiat bisa diwujudkan.
Adanya khalifahlah yang esensinya yang menentukan ada dan tidaknya baiat
di atas pundak setiap muslim. Baik mereka membaiatnya secara langsung
atau pun tidak. Karena itu hadis di atas adalah dalil wajibnya
menegakkan khilafah bukan dalil wajibnya baiat. Karena yang dikecam oleh
Rasulullah adalah tidak adanya baiat di atas pundak kaum muslimin,
hingga mereka mati, dan bukan mengecam tidak adanya baiat itu sendiri.
4. Para ulama mewajibkan diterapkannya syariah Islam dalam naungan khilafah Islam
Sesuatu
yang dipuji itu tidak ada lain adalah adanya khilafah Islam, yang akan
menjadi “perisai” bagi kaum muslimin. Karena itu, semua ulama sepakat
mengenai kewajiban mengangkat dan menegakkan khilafah Islam, jika
institusi tersebut tidak ada, baik dari kalangan Ahlusunnah wal Jamaah,
Syiah, Khawarij maupun Mu’tazilah. Semuanya berpendapat, bahwa umat ini
harus mempunyai seorang imam dan hukum mengangkatnya adalah wajib.
Imam Ahmad mengatakan: “Fitnah akan terjadi manakala tidak ada imam yang melaksanakan urusan orang banyak.”
Imam An Nawawi berkata: “Mereka (para imam mazhab) sepakat bahwa mengangkat khalifah (kepala negara khilafah) adlaah wajib adanya.” Silahkan dilihat dalam Syarh Sahih Muslim.
Imam Al Mawardi berkata: “Mengangkat
imam (khalifah) bagi yang menegakkannya di tengah-tengah umat,
merupakan kewajiban berdasarkan ijma’ atau kesepakatan para sahabat Nabi
Muhammad saw.” Hal ini terdapat dalam kitab beliau Ahkamus Sulthaniyah.
Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah berkata: “Wajib
menjadikan kepemimpinan (khilafah) sebagai bagian dari agama dan sarana
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Taqarrub kepada Allah di dalam
kepemimpinan (kekhalifahan) itu diraih dengan menaati Allah dan
rasul-Nya, adalah termasuk dalam taqarub yang paling utama.” Hal ini terdapat dalam kitab Majmu Fatawa, sebuah kitab beliau yang sangat terkenal.
Imam Al Qurthubi, seorang mufassir dari mazhab Maliki, ketika menafsirkan QS. Al Baqarah: 30 menyatakan, “Ayat
ini merupakan dalil pasling asal (mendasar) mengenai kewajiban
mengangkat seorang imam/khalifah yang wajib didengar dan ditaati, untuk
menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum khalifah. Tidak ada
perselisihan pendapat tentang kewajiban tersebut di kalangan umat Islam
maupun di kalangan ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari Al Asham.” Pernyataan Imam Al Qurthubi ini terdapat dalam kitab beliau Al Jami’ li Ahkamul Quran.
Dalam kitab tersebut pula, Imam Al Qurthubi menyatakan, “Seandainya
keharusan adanya imam itu tidak wajib baik untuk golongan Quraisy
maupun yang lain, lalu mengapa terjadi perdebatan tentang imamah?”
Imam Ibnu Hajar Al Haitsami menyatakan, “Ketahuilah,
para sahabat radhiyallahu anhum seluruhnya bersepakat bahwa mengangkat
seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya masa kenabian adalah wajib.
Bahkan mereka telah menjadikan kewajiban ini sebagai hal yang paling
penting. Buktinya, para sahabat lebih menyibukkan diri dengan perkara
ini dibandingkan dengan mengurusi jenazah Rasulullah saw. Perselisihan
mereka dalam hal siapa yang akan menjadi pemimpin tidak merusak ijma
yang telah disebutkan tadi.” Silahkan dilihat dalam kitab beliau Ash Shawaiqul Muhriqah.
Imam Al Iji dalam kitab beliau Al Mawaqif dinyatakan, “Maksud
Asy Syari’ (Allah swt) dalam apa yang telah disyariahkan berupa
muamalah, munakahat, jihad, hudud, peradilan, serta syiar-syiar Islam
lainnya semuanya tidak lain adalah kemaslahatan-kemaslahatan yang
kembali kepada manusia. Semua ini tidak akan terwujud kecuali dengan
adaya seorang imam (khalifah) yang menjadi rujukan dalam apa-apa yang
diperselisihkan oleh para hamba.”
Imam ‘Alauddin Al Kassani dari mazhab Hanafi menyatakan dalam kitab beliau Bada’ish Shanai’ fi Tartibusy Syarai’, “Sesungguhnya
mengangkat imam agung (khalifah) adalah fardhu. Tidak ada perbedaan
pendapat di antara ahlul haq mengenai masalah ini. Penyelisihan oleh
sebagian kelompok Qadariyah mengenai masalah ini sama sekali tidak
bernilai karena persoalan ini telah ditetapkan berdasarkan ijma sahabat,
juga karena kebutuhan umat Islam akan imam yang agung tersebut, demi
keterikatan dengan hukum, untuk menyelamatkan orang-orang yang dizalimi
dari orang-orang yang zalim, untuk memutuskan perselisihan yang menjadi
sumber kerusakan, dan kemasalahatan-kemaslahatan lainnya yang tidak akan
terwujud kecuali dengan adanya imam.”
Imam Umar bin Ali bin Adil Al Hambali dari mazhab Hambali menyatakan, “Ayat
ini (QS. Al Baqarah: 30) adalah dalil atas kewajiban mengangkat
imam/khalifah. Tidak ada perselisihan di kalangan ulama tentang pendapat
tersebut kecuali yang diriwayatkan Al Asham dan para pengikutnya.” Lihat dalam kitab Tafsirul Lubab fi Ulumul Kitab.
Imam Al Syanqithi menyatakan dalam kitab beliau ‘Adhwa’ul Bayan, “Termasuk
perkara yang sudah jelas (ma’lumun minad din bidh dharurah) bahwa kaum
muslim wajib mengangkat seorang imam (khalifah) yang kepadanya terhimpun
kalimat dan menerapkan hukum-hukum Allah di bumi-Nya.”
Imam Ibnu Hazm Al Andalusi Azh Zhahiri dari mazhab Zhahiri menyatakan, “Para
ulama sepakat bahwa imamah (kekhalifahan) adalah fardhu dan keberadaan
seorang imam itu merupakan suatu keharusan, kecuali An Najadat. Pendapat
mereka benar-benar telah menyalahi ijma sahabat dan pembahasan mengenai
mereka telah dijelaskan sebelumnya. Para ulama sepakat bahwa tidak
boleh ada dua imam (khalifah) bagi kaum muslim pada satu waktu di
seluruh dunia baik mereka sepakat atau tidak, baik mereka berada di dua
tempat atau tidak.” Pernyataan beliau ini terdapat dalam kitab Maratibul Ijma’.
Di kitabnya yang lain Ibnu Hazm menyatakan, “Mayoritas
Ahlus Sunnah, Murjiah, Syiah, dan Khawarij sepakat mengenai kewajiban
menegakkan imamah (khilafah). Mereka juga bersepakat bahwa umat Islam
wajib mentaati imam (khalifah) yang adil yang menerapkan hukum Allah di
tengah-tengah mereka dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syariah yang
dibawa Rasulullah saw.” Lihat kitab beliau yang sangat terkenal Al Fashl fil Milal wan Nihal.
Jadi,
tidak diragukan lagi, bahwa hukum menegakkan khilafah Islam adalah
wajib, kecuali setelah timbulnya bencana yang dipicu oleh Najadat (dari
golongan Mu’tazilah), Al Asham dan Hisyam Al Ghautsi (dari golongan
Khawarij), serta Ali bin Abdurraziq (dari ulama su’ yang
Modern-Sekuler), yang menolak kewajiban di atas. Orang yang terakhir
ini, Ali Abdurraziq telah dipecat dari Dewan Ulama Al Azhar disebabkan
statemennya bahwa tidak ada sistem khilafah dalam Islam. Inilah hukum
mengenai kewajiban adanya khilafah Islam, yang sekaligus menunjukkan
kedudukan hukum tersebut sebagai sifat hukum metode Islam, yaitu
“wajib”.
Kewajiban menerapkan syariah Islam juga
disuarakan oleh ulama Indonesia yang sangat masyhur, beliau adalah
Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari dalam kitab beliau Adabul Alim wal
Muta’alim. Beliau menyatakan, “Sebagian dari mereka (para ulama)
menyatakan tauhid itu mewajibkan iman. Karena itu, tidak ada iman bagi
orang yang tidak ada tauhid pada dirinya. Iman itu mewajibkan syariah.
Karena itu pula, orang yang tidak ada syariah padanya tidak ada iman
padanya dan tentu tidak ada tauhid baginya.”
Pada
tahun 1920, sesaat menjelang diruntuhkannya khilafah Usmaniyah, seorang
ulama asal India yang bernama Maulana Abul Kalam Azat Al Hindi
menyatakan, “Tanpa adanya khilafah tidak mungkin Islam dapat
diwujudkan secara sempurna, padahal tututan-Nya adalah sempurna. Oleh
sebab itu, wajib atas kaum muslim untuk mencurahkan usaha mereka dalam
rangka mencegah runtuhnya khilafah.”
Pada masa modern
saat ini juga banyak sekali ulama-ulama yang bukan hanya berasal dari
Hizbut Tahrir yang mewajibkan tegaknya khilafah.
Al ‘Alim Syaikh Khalid Abdul Fatah, seorang ulama asal Libanon menyatakan, “Sungguh,
tidak ada harapan sama sekali untuk mengembalikan kemuliaan umat Islam
kecuali dengan kembali pada agamanya, berjuang untuk mengokohkan
hukum-hukum Allah, mengembalikan khilafah Islam dan mengangkat seorang
khalifah untuk memimpin kaum muslim.”
Syaikh Muhammad Abu Zahrah dalam kitab beliau tarikhul Madzahibul Islamiyah menyatakan, “Sungguh,
jumhur (mayoritas) ulama telah bersepakat bahwa wajib ada seorang imam
(khalifah) yang menegakkan salat Jumat, mengatur para jamaah,
melaksanakan hudud, mengumpulkan harta dari orang kaya untuk dibagikan
kepada orang miskin, menjaga perbatasan, menyelesaikan perselisihan di
antara manusia dengan hakim-hakim yang diagkatnya, menyatukan kalimat
(pendapat) umat, menerapkan hukum-hukum syariah, mempersatukan golongan
yang bercerai berai, menyelesaikan berbagai problem, dan mewujudkan
masyarakat yang utama.”
Ulama Turki yang bernama Syaikh Syahi Mirdan Shari menyatakan, “Sesungguhnya
umat Islam itu tidak ubahnya dengan satu tubuh, sedangkan khilafah
tidak ubahnya dengan kepala dari tubuh tersebut, sementara tubuh (betapa
pun besarnya), ketika tanpa kepala maka tidak akan dapat bergerak.”
Demikianlah
para ulama dari berbagai masa bersuara tentang wajibnya khilafah
ditegakkan. Pertanyaannya: Apakah sesuatu yang diwajibkan Allah dan
Rasulullah serta dikuatkan oleh para ulama akan menjadi bencana bagi
umat Islam, sebagaimana yang disangkakan orang-orang yang tidak bertanggung jawab? Apakah sesuatu yang dijanjikan Allah adalah sesuatu yang
buruk bagi umat Islam? Apakah khilafah Islam yang diwajibkan oleh para
ulama di atas adalah sebagai sebuah bentuk penjajahan? Jawabannya, jelas tidak.
Assalmu alaikum wrwb!
BalasHapusSaya sudah sering membaca hadist di atas yg mengatakan bahwa setiap muslim yang mati tanpa berbaiat maka matinya adalah mati kafir (naudzubillah suna naudzubillah).
Maka yang jadi pertanyaan sekarang adalah: bagaimana dengan nasib tiap2 diri kita ini? Apakah lalu kita akan mati kafir? Sedangkan kalau kita mau berbaiat lalu berbaiat dengan siapa? Jaman kita ini kan tidak ada khalifah? Lalu bagaimana solusi untuk kita2 semua agar tidak bernasib seperti kata hadis tsb yakni mati kafir karena tidak ada baiat?
Mohon pencerahannya dari siapa saja yang paham soal ini. Jazza kallah khair.
Musyrik parah...!!!
BalasHapusAki sohak ada ngk??
BalasHapusAki sohak ada ngk??
BalasHapus