Ada yang menyatakan bahwa ideologi itu buatan manusia. Oleh karena
itu, ketika Islam dikatakan sebagai ideologi, maka hal itu tidak tepat.
Sebab, Islam berasal dari Allah swt., bukan berasal dari manusia.
Kesimpulan ini didapatkan ketika seseorang melihat Islam hanya dari satu
sisi, sedangkan sisi yang lain tidak dilihat. Sisi yang pertama
berkaitan dengan akidahnya, sedangkan yang lain adalah dari sisi
syariatnya.
Anggapan tersebut sangat dipengaruhi oleh
pemikiran Barat tentang sekulerisme. Anggapan bahwa agama harus
dijauhkan dari kehidupan politik dan urusan duniawi, menjadi pangkal
kemerosotan akidah umat. Tidak heran jika kaum muslimin banyak sekali
yang tidak pernah memahami tentang syariah Islam. Dalam pandangan
mereka, syariah Islam itu ‘hanyalah’ salat, puasa, zakat, haji ke
Baitullah, sedekah, dan lain sebagainya. Sehingga pemahaman terhadap
Islam semakin menyempit.
Istilah Ideologi
Kita
semua harus menyadari kata ‘ideologi’ adalah kata baru. Kata yang belum
pernah ada sebelumnya dalam Islam. Dalam bahasa Arab menjadi idiyuluji.
Tetapi, bukan berarti kata ini kemudian dikatakan bid’ah atau yang
sejenisnya. Sebuah kata, yang benar-benar baru atau tidak ada dalam
Alquran dan Sunah bukan berarti bertentangan dengan Islam. Misalnya kata
akidah. Kata akidah (sesuai dengan pengertian akidah) tidak pernah
ditemui dalam Alquran dan Sunah. Yang ada hanya kata-kata bentukan
seperti aqada, aqad, dan sebagainya. Kata akidah baru
digunakan oleh ulama ushuluddin ketika membahas tentang ilmu kalam. Kata
akidah ini sama padanannya dengan kata ‘iman’ di dalam Alquran dan Sunah. Tetapi nyatanya, kata akidah tetap bisa diterima oleh umat Islam.
Kemudian cotoh yang lainnya adalah kata dustur dan qanun.
Kedua kata ini tidak pernah ditemukan pada masa Rasulullah saw. Baru
pada masa setelahnya, ketika terjadi interaksi antara kaum muslim dengan
bangsa-bangsa di Eropa yang memiliki UUD dan UU, maka kaum muslimin pun
memunculkan istilah dustur (UUD) dan qanun (UU) atau dalam istilah para ulama diseut dengan ad dustuur wal qawaaniin. Tetapi, walaupun kata ini baru, tetapi nyatanya para ulama serta kaum muslimin pun akhirnya menerimanya.
Adapun
yang berkaitan dengan ideologi, semua itu tinggal dikembalikan pada
faktanya saja. Dalam pandangan orang yang dimaksud dengan ideologi
adalah sebuah pemikiran mendasar yang akan melahirkan pemikiran cabang.
Atau dalam definisi lain disebutkan, sebuah pemikiran yang darinya
dibangun pemikiran-pemikiran tertentu (pemikiran derivasinya). Definisi
seperti ini, dan yang senada, dalam Islam disebut dengan mabda’. Mabda’
secara bahasa disebut dengan sumber pertama. Dalam penjelasan hakikat
kahidupan dunia, mabda’ berarti asal-muasal kehidupan, tempat kembali
setelah kehidupan, dan hubungan kehidupan dengan keduanya.
Jadi, Islam memang ideologi.
Hakikat Ideologi
Ustadz Muhammad Muhammad Ismail dalam bukunya Fikrul Islam, menyatakan bahwa idelogi (mabda’) merupakan ‘aqidah ‘aqliyyah yanbatsiqu ‘anhan nizhaam. Artinya, akidah rasional yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan (nizham).
Muhaqqiq kitab Ahkamus Sulthaniyah, Ustadz Khalid Abdul Lathif Sab’il
Alim menyatakan bahwa Islam adalah akidah yang aplikatif, yaitu akidah
yang menghasilkan nizham (peraturan-peraturan) yang universal dan integral.
Oleh karena itu, dari definisi ideologi secara umum dapat diambil kesimpulan bahwa ideologi itu mengandung dua unsur, yaitu fikrah (pemikiran) dan thariqah
(cara untuk menerapkan pemikiran itu). Satu contoh, ideologi
kapitalisme sekuler yang di dalamnya terkandung berbagai pemikiran
seperti liberalisme ekonomi, pasar bebas, penjualan aset negara, riba,
kebebasan mengemukakan pendapat, liberalisasi agama, dan lain-lain
membutuhkan metode untuk menerapkannya, antara lain dengan isti’mar
(penjajahan) atas masyarakat lain.
Para kapitalis, untuk
mendapatkan sumber daya alam yang ada di Indonesia caranya adalah dengan
melakukan penjajahan. Penjajahan itu dibungkus dengan istilah kerja
sama. Para kapitalis, ketika ingin mendapatkan harta yang banyak dan
pengaruh yang kuat di negeri orang, caranya adalah dengan melakukan
penjajahan politik terhadap undang-undang yang ada di negeri tersebut.
Caranya bagaimana?
Caranya adalah melakukan intervensi
politik terhadap penguasa setempat, agar segala regulasi atau
undang-undang yang dihasilkan berpihak kepada mereka (para kapitalis
itu). Makanya, tidak heran jika terjadi kongkalikong antara penguasa
dengan pengusaha (para kapitalis busuk tersebut). Untuk mencari amannya
dan tidak ketahuan, para kapitalis itu bersembunyi dalam lembaga-lembaga
keuangan seperti Asia Development Bank, Bank Dunia, USAID,
IMF, dan lain sebagainya. Dan jalan untuk menerapkannya (thariqah)
adalah dengan diemban oleh negara. Penerapan fikrah-fikrah dalam
ideologi kapitalisme ini tidak akan berjalan ketika thariqah yang
digunakan untuk menjalankannya tidak ada yang mengembannya. Apa itu?
Yaitu negara yang menerapkan dan menyebarkannya. Inilah fikrah dan
thariqah ideologi kapitalisme.
Demikian pula Pancasila.
Anggaplah (misalkan), Pancasila itu sebuah ideologi. Di dalamnya
terkandung fikrah-fikrah tertentu seperti demokrasi Pancasila, ekonomi
Pancasila, dan lain sebagainya. Untuk menerapkannya, dibutuhkan negara
yang mengembannya, yaitu Indonesia. Jadi, berbagai pemikiran (fikrah)
yang kahir dari Pancasila itu tidak akan bisa diterapkan kecuali ada
pihak yang memperjuangkannya dan negara yang menerapkannya. Pihak yang
memperjuangkannya bisa individu bisa juga kelompok. Sedangkan negara
yang menerapkannya adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keberadaan
‘ideologi’ Pancasila akan bisa dipertahankan ketika negara memang
benar-benar menjadi thariqah untuk mempertahankannya. Pihak-pihak yang
bertentangan dengan sistem demokrasi Pancasila akan ditindak tegas dan
diberangus. Inilah metodenya.
Islam juga demikian. Islam
bukan saja berisi akidah tentang keimanan kepada Allah, Malaikat,
Kitab-kitab, nabi dan rasul, Hari Kiamat, dan qadha’ dan qadar (baik
buruknya dari Allah). Tetapi, dari sana terpancar berbagai sistem aturan
yang diperuntukkan manusia baik yang berkaitan dengan dirinya sendiri
(seperti makanan, minuman, akhlak, dan pakaian), hubungan dirinya dengan
Alah (seperti ibadah-ibadah ritual seperti salat dan haji), juga
hubungan manusia dengan manusia lainnya/muamalah (seperti jual beli,
sewa-menyewa, hutang-piutang, hukum, politik, sosial, ekonomi, politik
pendidikan, politik kesehatan, politik luar negeri dan dalam negeri, dan
lain sebagainya). Semuanya itu tidak akan pernah bisa diterapkan tanpa
adanya peran negara. Jika fikrah Islam ingin ditegakkan secara total,
maka negara harus menerapkannya secara menyeluruh tanpa terkecuali.
Jadi, Islam memang sebuah ideologi. Ini fakta.
Allah berfirman,
“Dan
kami turunkan kepada kamu kitab ini untuk menerangkan semua perkara
dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang
berserah diri…” (QS. An Nahl: 89)
“…Hari ini
telah Aku sempurnakan agama kamu dan telah Aku cukupkan nikmatKu
untukmu, serta Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu…” (QS. Al Maidah: 3)
Dari
dalil di atas, jelas bahwa Islam telah sempurna sehingga pastilah tidak
ada satu hal pun yang tidak diatur oleh Islam. Dari masalah yang sangat
sederhana seperti memindahkan duri dari tengah jalan sampai masalah
yang sangat kompleks seperti pemerintahan, Islam mengaturnya. Namun
demikian, penjelasan yang menerangkan segala urusan tersebut secara
umumnya dinyatakan dalam bentuk amarat (tanda-tanda umum) serta tanda-tanda yang perlu penggalian hukum untuk menguraikannya.
Orang
yang bertugas untuk menggali hukum-hukum tersebut dan menyampaikannya
kepada umat haruslah seorang mujtahid. Agar hasil ijtihad dari mujtahid
itu benar maka syarat-syarat ijtihad seperti pendalaman bahasa Arab,
ilmu hadits, ilmu Alquran, dan tsaqafah Islam yang lainnya mutlak
diperlukan bagi seorang mujtahid. Adanya mujtahid untuk melakukan
ijtihad merupakan fardhu kifayah. Sehingga, tidak boleh dalam suatu
kurun waktu tidak ada orang yang melakukan ijtihad untuk disampaikan
kepada umat.
Dari uraian di atas nampak bahwa syariat
Islam adalah syariat yang lengkap yang mengatur seluruh urusan manusia
seperti ibadah, ekonomi, sosial, politik, pemerintahan , pendidikan, dan
yang lainnya. Namun semua hukum-hukum Islam tersebut hanya akan
sempurna dilaksanakan umat Islam tatkala segala perangkat yang
melaksanakannya ada. Dalam hal ini adanya Daulah tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Daulah Khilafah Islamiyah itulah thariqah untuk
menerapkan Islam. Bila sekarang tidak ada sistem tersebut maka kewajiban
kaum musliminlah untuk mengadakan sistem tersebut sehingga segala
hukum-hukum Islam dapat diterapkan dengan sempurna. Sebab bagi orang
yang beriman, Allah SWT telah memerintahkan untuk masuk ke da lam Islam
secara keseluruhan dan tidak boleh melaksanakannya sebagian-sebagian.
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah: Apakah setiap agama adalah ideologi?
Untuk
mengujinya, maka harus dengan dua pertanyaan: Pertama, apakah agama
tersebut akidah rasional atau tidak? Kedua, apakah akidah dari agama
tersebut bisa memancarkan nizham sebagaimana yang dimaksudkan
Ustadz Khalid Abdul Lathif Sab’il Alim atau tidak. Jika tidak, maka
tidak bisa dianggap sebagai ideologi. Contohnya adalah agama Kristen dan
Budha. Kedua agama ini tidak bisa menjadi ideologi. Mengapa? Sebab
keduanya tidak berangkat dari akidah rasional, melainkan doktrin
sebagaimana pemahaman orang-orang jahiliyah sebelum datangnya Rasulullah
saw. Keduanya hanyalah agama moral dan ritual. Keduanya juga tidak
memiliki peraturan-peraturan (nizham) untuk mengaplikasiannya.
Islam adalah Ideologi Penebar Rahmat
Allah berfirman,
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiya’: 107)
Ideologi
Islam memiliki fikrah tentang sistem sosial yang paling baik, termasuk
berkaitan dengan kafir dzimmi (nonmuslim). Imam As Suyuthi dalam
kitabnya Jami’ush Shaghir mengutip hadis Rasulullah saw.,
“Siapa
saja yang menyakiti kafir dzimmi, maka dia akan berurusan denganku.
Siapa saja yang berurusan dengaku, maka aku akan memperkarakannya pada
hari kiamat.”
Rasulullah saw. juga bersabda,
“Siapa
saja yang membunuh kafir mu’ahad, dia tidak akan mencium wanginya
surga, padahal wangi surga itu sudah tercium dari jarak perjalanan 40
tahun.” (HR. Bukhari)
Kafir dzimmi adalah kafir yang
rela tunduk diperintah oleh syariat Islam, sedangkan kafir mu’ahad
adalah kafir yang terikat perjanjian dengan negara Islam.
Islam juga tidak akan memaksa seseorang nonmuslim untuk keluar dari agamanya dan memeluk Islam. Allah berfirman,
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…” (QS. Al Baqarah: 256)
Urwah bin Zubair bin Al Awwam berkata, bahwa Rasulullah saw. pernah menulis surat kepada penduduk Yaman: Siapa
saja yang tetap memeluk agama Nasrani dan Yahudi, mereka tidak akan
dipaksa untuk keluar dari agamanya. Hanya saja mereka wajib membayar
jizyah.
Jizyah adalah sejumlah pembayaran yang harus
diberikan orang kafir dzimmi kepada negara Khilafah Islam sebagai
kompensasi atas dilindunginya harta, jiwa, kehormatan, agama, dan
keluarga mereka. Jizyah hanya ditarik kepada laki-laki kafir dzimmi yang
sudah dewasa. Nafi’ meriwayatkan dari Aslam, maula Umar yang
menyatakan, Umar pernah menulis surat kepada para pemimpin pasukan, agar
mereka memungut jizyah. Mereka tidak boleh memungut jizyah dari wanita
dan anak kecil.
Negara Khilafah Islam yang mengemban
ideologi Islam juga akan memberikan jaminan terhadap kesejahteraan
masyarakat. Rasulullah saw. bersabda,
“Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat. Dia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya.” (HR. Muslim)
Dalam
Islam, salah datu fungsi negara adalah mendistribusikan harta agar
tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja. Ini artinya,
negara harus menjamin agar setiap rakyat dapat hidup sejahtera, sebab
salah satu faktor tidak sejahteranya rakyat adalah harta itu hanya
beredar di kalangan orang-orang kaya saja. Orang miskin tidak mendapat
bagian. Ini tidak akan terjadi. Allah berfirman,
“Apa saja
harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta
benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah,
untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di
antara orang-orang kaya saja di antara kamu…” (QS. Al Hasyr: 7)
Negara
khilafah Islam pengemban ideologi Islam juga akan melindungi rakyatnya
dari kejahatan tindak kriminalitas. Allah akan menghukum berat siapa
saja yang melakukan tindak kriminal dan kejahatan serta pelanggaran
syariat.
Allah berfirman,
“Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan
bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Maidah: 38)
Tetapi
syariat Islam tidak akan sembarangan memotong tangan orang yang
mencuri. Orang yang mencuri harus diadili terlebih dahulu apa sebab ia
mencuri. Jika dia mencuri karena lapar dan membutuhkan makanan atau
membutuhkan harta sementara tidak ada yang menolongnya, maka negara
tidak akan memotong tangannya. Negara justru akan memberikan santunan
dan menjamin kehidupannya, memberinya modal untuk bekerja, dan lain
sebagainya. Ingat, kepala negara itu bertanggung jawab atas urusan
rakyatnya. Dan kepala negara itu akan dimintai pertanggungjawabannya
atas kepemimpinannya.
Bagi orang yang melakukan
perampokan, negara Islam juga akan menghukumnya dengan berat, sehingga
orang akan enggan untuk merampok. Allah berfirman,
“Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan
membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib,
atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik,
atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu
(sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka
beroleh siksaan yang besar,” (QS. Al Maidah: 33)
Islam
juga akan melindungi wanita baik-baik dari fitnah zina. Jika ada waita
baik-baik tetapi dia difitnah oleh seseorang telah melakukan zina, maka
orang yang menfitnah itu akan mendapatkan hukuman. Apa hukumannya? Allah
berfirman,
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah (cambuklah)
mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu
terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah
orang-orang yang fasik.” (QS. An Nur: 4)
Sedangkan bagi orang yang berzina, maka dia juga akan mendapatkan hukuman sebagai berikut.
“Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang
dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu
beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS. An Nur: 2)
Negara
khilafah Islam yang menegakkan ideologi Islam juga akan menetapkan
hukum Qishash (balas) bagi para pelaku kejahatan. Allah berfirman,
“Dan
Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya
jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung,
telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada
kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan
hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 45)
Walaupun
ayat ini berkenaan dengan orang Yahudi yang tidak menghukumi orang
dengan hukum Allah, tetapi ayat ini bersifat umum. Ini pendapat jumhur
(mayoritas) mufassir.
Negara khilafah juga akan menghukum siapa saja yang melakukan pembunuhan. Allah berfirman,
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang
mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).
Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa
yang sangat pedih.” (QS. Al Baqarah: 178)
Dengan
melihat hukuman-hukuman yang ditetapkan Allah, maka niscaya orang enggan
untuk melakukan kejahatan. Sehingga rakyat bisa terlindungi dari
berbagai macam kejahatan yang akan menimpanya.
Negara
khilafah yang menegakkan ideologi Islam juga membolehkan untuk mengelola
tanah yang mati, yaitu tanah yang tidak dikelola. Rasulullah saw.
bersabda,
“Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Bukhari, At Tirmizi, dan Abu Dawud)
Ini
semua, baru sebagian sistem yang ada di dalam Islam. Masih banyak
rincian-rincian yang lainnya yang tidak bisa disampaikan dalam sekali
waktu. Perlu kajian yang mendalam. Oleh karena itu, semua ini harus
dipelajari untuk diterapkan.
Jadi, Islam memang ideologi.
Bagi yang masih tidak sepakat, biasanya akan mencari-cari pembenaran dan
beramai-ramai mengkonter. Tidak masalah, selama itu memiliki hujjah
yang lebih kuat. Wallahu a’lam..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar