Kamis, 24 November 2011

Islam Memang Ideologi

Ada yang menyatakan bahwa ideologi itu buatan manusia. Oleh karena itu, ketika Islam dikatakan sebagai ideologi, maka hal itu tidak tepat. Sebab, Islam berasal dari Allah swt., bukan berasal dari manusia. Kesimpulan ini didapatkan ketika seseorang melihat Islam hanya dari satu sisi, sedangkan sisi yang lain tidak dilihat. Sisi yang pertama berkaitan dengan akidahnya, sedangkan yang lain adalah dari sisi syariatnya.

Anggapan tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran Barat tentang sekulerisme. Anggapan bahwa agama harus dijauhkan dari kehidupan politik dan urusan duniawi, menjadi pangkal kemerosotan akidah umat. Tidak heran jika kaum muslimin banyak sekali yang tidak pernah memahami tentang syariah Islam. Dalam pandangan mereka, syariah Islam itu ‘hanyalah’ salat, puasa, zakat, haji ke Baitullah, sedekah, dan lain sebagainya. Sehingga pemahaman terhadap Islam semakin menyempit.

Istilah Ideologi
Kita semua harus menyadari kata ‘ideologi’ adalah kata baru. Kata yang belum pernah ada sebelumnya dalam Islam. Dalam bahasa Arab menjadi idiyuluji. Tetapi, bukan berarti kata ini kemudian dikatakan bid’ah atau yang sejenisnya. Sebuah kata, yang benar-benar baru atau tidak ada dalam Alquran dan Sunah bukan berarti bertentangan dengan Islam. Misalnya kata akidah. Kata akidah (sesuai dengan pengertian akidah) tidak pernah ditemui dalam Alquran dan Sunah. Yang ada hanya kata-kata bentukan seperti aqada, aqad, dan sebagainya. Kata akidah baru digunakan oleh ulama ushuluddin ketika membahas tentang ilmu kalam. Kata akidah ini sama padanannya dengan kata ‘iman’ di dalam Alquran dan Sunah. Tetapi nyatanya, kata akidah tetap bisa diterima oleh umat Islam.

Kemudian cotoh yang lainnya adalah kata dustur dan qanun. Kedua kata ini tidak pernah ditemukan pada masa Rasulullah saw. Baru pada masa setelahnya, ketika terjadi interaksi antara kaum muslim dengan bangsa-bangsa di Eropa yang memiliki UUD dan UU, maka kaum muslimin pun memunculkan istilah dustur (UUD) dan qanun (UU) atau dalam istilah para ulama diseut dengan ad dustuur wal qawaaniin. Tetapi, walaupun kata ini baru, tetapi nyatanya para ulama serta kaum muslimin pun akhirnya menerimanya.

Adapun yang berkaitan dengan ideologi, semua itu tinggal dikembalikan pada faktanya saja. Dalam pandangan orang yang dimaksud dengan ideologi adalah sebuah pemikiran mendasar yang akan melahirkan pemikiran cabang. Atau dalam definisi lain disebutkan, sebuah pemikiran yang darinya dibangun pemikiran-pemikiran tertentu (pemikiran derivasinya). Definisi seperti ini, dan yang senada, dalam Islam disebut dengan mabda’. Mabda’ secara bahasa disebut dengan sumber pertama. Dalam penjelasan hakikat kahidupan dunia, mabda’ berarti asal-muasal kehidupan, tempat kembali setelah kehidupan, dan hubungan kehidupan dengan keduanya.

Jadi, Islam memang ideologi.

Hakikat Ideologi
Ustadz Muhammad Muhammad Ismail dalam bukunya Fikrul Islam, menyatakan bahwa idelogi (mabda’) merupakan ‘aqidah ‘aqliyyah yanbatsiqu ‘anhan nizhaam. Artinya, akidah rasional yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan (nizham). Muhaqqiq kitab Ahkamus Sulthaniyah, Ustadz Khalid Abdul Lathif Sab’il Alim menyatakan bahwa Islam adalah akidah yang aplikatif, yaitu akidah yang menghasilkan nizham (peraturan-peraturan) yang universal dan integral.

Oleh karena itu, dari definisi ideologi secara umum dapat diambil kesimpulan bahwa ideologi itu mengandung dua unsur, yaitu fikrah (pemikiran) dan thariqah (cara untuk menerapkan pemikiran itu). Satu contoh, ideologi kapitalisme sekuler yang di dalamnya terkandung berbagai pemikiran seperti liberalisme ekonomi, pasar bebas, penjualan aset negara, riba, kebebasan mengemukakan pendapat, liberalisasi agama, dan lain-lain membutuhkan metode untuk menerapkannya, antara lain dengan isti’mar (penjajahan) atas masyarakat lain.

Para kapitalis, untuk mendapatkan sumber daya alam yang ada di Indonesia caranya adalah dengan melakukan penjajahan. Penjajahan itu dibungkus dengan istilah kerja sama. Para kapitalis, ketika ingin mendapatkan harta yang banyak dan pengaruh yang kuat di negeri orang, caranya adalah dengan melakukan penjajahan politik terhadap undang-undang yang ada di negeri tersebut. Caranya bagaimana?

Caranya adalah melakukan intervensi politik terhadap penguasa setempat, agar segala regulasi atau undang-undang yang dihasilkan berpihak kepada mereka (para kapitalis itu). Makanya, tidak heran jika terjadi kongkalikong antara penguasa dengan pengusaha (para kapitalis busuk tersebut). Untuk mencari amannya dan tidak ketahuan, para kapitalis itu bersembunyi dalam lembaga-lembaga keuangan seperti Asia Development Bank, Bank Dunia, USAID, IMF, dan lain sebagainya. Dan jalan untuk menerapkannya (thariqah) adalah dengan diemban oleh negara. Penerapan fikrah-fikrah dalam ideologi kapitalisme ini tidak akan berjalan ketika thariqah yang digunakan untuk menjalankannya tidak ada yang mengembannya. Apa itu? Yaitu negara yang menerapkan dan menyebarkannya. Inilah fikrah dan thariqah ideologi kapitalisme.

Demikian pula Pancasila. Anggaplah (misalkan), Pancasila itu sebuah ideologi. Di dalamnya terkandung fikrah-fikrah tertentu seperti demokrasi Pancasila, ekonomi Pancasila, dan lain sebagainya. Untuk menerapkannya, dibutuhkan negara yang mengembannya, yaitu Indonesia. Jadi, berbagai pemikiran (fikrah) yang kahir dari Pancasila itu tidak akan bisa diterapkan kecuali ada pihak yang memperjuangkannya dan negara yang menerapkannya. Pihak yang memperjuangkannya bisa individu bisa juga kelompok. Sedangkan negara yang menerapkannya adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keberadaan ‘ideologi’ Pancasila akan bisa dipertahankan ketika negara memang benar-benar menjadi thariqah untuk mempertahankannya. Pihak-pihak yang bertentangan dengan sistem demokrasi Pancasila akan ditindak tegas dan diberangus. Inilah metodenya.

Islam juga demikian. Islam bukan saja berisi akidah tentang keimanan kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab, nabi dan rasul, Hari Kiamat, dan qadha’ dan qadar (baik buruknya dari Allah). Tetapi, dari sana terpancar berbagai sistem aturan yang diperuntukkan manusia baik yang berkaitan dengan dirinya sendiri (seperti makanan, minuman, akhlak, dan pakaian), hubungan dirinya dengan Alah (seperti ibadah-ibadah ritual seperti salat dan haji), juga hubungan manusia dengan manusia lainnya/muamalah (seperti jual beli, sewa-menyewa, hutang-piutang, hukum, politik, sosial, ekonomi, politik pendidikan, politik kesehatan, politik luar negeri dan dalam negeri, dan lain sebagainya). Semuanya itu tidak akan pernah bisa diterapkan tanpa adanya peran negara. Jika fikrah Islam ingin ditegakkan secara total, maka negara harus menerapkannya secara menyeluruh tanpa terkecuali. Jadi, Islam memang sebuah ideologi. Ini fakta.

Allah berfirman,
Dan kami turunkan kepada kamu kitab ini untuk menerangkan semua perkara  dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri…” (QS. An Nahl: 89)

“…Hari ini telah Aku sempurnakan agama kamu dan telah Aku cukupkan nikmatKu untukmu, serta Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu…” (QS. Al Maidah: 3)

Dari dalil di atas, jelas bahwa Islam telah sempurna sehingga pastilah tidak ada satu hal pun yang tidak diatur oleh Islam. Dari masalah yang sangat sederhana seperti memindahkan duri dari tengah jalan sampai masalah yang sangat kompleks seperti pemerintahan, Islam mengaturnya. Namun demikian, penjelasan yang menerangkan segala urusan tersebut secara umumnya dinyatakan dalam bentuk amarat (tanda-tanda umum) serta tanda-tanda yang perlu penggalian hukum untuk menguraikannya.

Orang yang bertugas untuk menggali hukum-hukum tersebut dan menyampaikannya kepada umat haruslah seorang mujtahid. Agar hasil ijtihad dari mujtahid itu benar maka syarat-syarat ijtihad seperti pendalaman bahasa Arab, ilmu hadits, ilmu Alquran, dan tsaqafah Islam yang lainnya mutlak diperlukan bagi seorang mujtahid. Adanya mujtahid untuk melakukan ijtihad merupakan fardhu kifayah. Sehingga, tidak boleh dalam suatu kurun waktu tidak ada orang yang melakukan ijtihad untuk disampaikan kepada umat.

Dari uraian di atas nampak bahwa syariat Islam adalah syariat yang lengkap yang mengatur seluruh urusan manusia seperti ibadah, ekonomi, sosial, politik, pemerintahan , pendidikan, dan yang lainnya. Namun semua hukum-hukum Islam tersebut hanya akan sempurna dilaksanakan umat Islam tatkala segala perangkat yang melaksanakannya ada. Dalam hal ini adanya Daulah tidak bisa ditawar-tawar  lagi. Daulah Khilafah Islamiyah itulah thariqah untuk menerapkan Islam. Bila sekarang tidak ada sistem tersebut maka kewajiban kaum musliminlah untuk mengadakan sistem tersebut sehingga segala hukum-hukum Islam dapat diterapkan dengan sempurna. Sebab bagi orang yang beriman, Allah SWT telah memerintahkan untuk masuk ke da lam Islam secara keseluruhan dan tidak boleh melaksanakannya sebagian-sebagian.

Lalu yang menjadi pertanyaan adalah: Apakah setiap agama adalah ideologi?

Untuk mengujinya, maka harus dengan dua pertanyaan: Pertama, apakah agama tersebut akidah rasional atau tidak? Kedua, apakah akidah dari agama tersebut bisa memancarkan nizham sebagaimana yang dimaksudkan Ustadz Khalid Abdul Lathif Sab’il Alim atau tidak. Jika tidak, maka tidak bisa dianggap sebagai ideologi. Contohnya adalah agama Kristen dan Budha. Kedua agama ini tidak bisa menjadi ideologi. Mengapa? Sebab keduanya tidak berangkat dari akidah rasional, melainkan doktrin sebagaimana pemahaman orang-orang jahiliyah sebelum datangnya Rasulullah saw. Keduanya hanyalah agama moral dan ritual. Keduanya juga tidak memiliki peraturan-peraturan (nizham) untuk mengaplikasiannya.

Islam adalah Ideologi Penebar Rahmat
Allah berfirman,
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiya’: 107)

Ideologi Islam memiliki fikrah tentang sistem sosial yang paling baik, termasuk berkaitan dengan kafir dzimmi (nonmuslim). Imam As Suyuthi dalam kitabnya Jami’ush Shaghir mengutip hadis Rasulullah saw.,
Siapa saja yang menyakiti kafir dzimmi, maka dia akan berurusan denganku. Siapa saja yang berurusan dengaku, maka aku akan memperkarakannya pada hari kiamat.

Rasulullah saw. juga bersabda,
Siapa saja yang membunuh kafir mu’ahad, dia tidak akan mencium wanginya surga, padahal wangi surga itu sudah tercium dari jarak perjalanan 40 tahun.” (HR. Bukhari)

Kafir dzimmi adalah kafir yang rela tunduk diperintah oleh syariat Islam, sedangkan kafir mu’ahad adalah kafir yang terikat perjanjian dengan negara Islam.

Islam juga tidak akan memaksa seseorang nonmuslim untuk keluar dari agamanya dan memeluk Islam. Allah berfirman,
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)” (QS. Al Baqarah: 256)

Urwah bin Zubair bin Al Awwam berkata, bahwa Rasulullah saw. pernah menulis surat kepada penduduk Yaman: Siapa saja yang tetap memeluk agama Nasrani dan Yahudi, mereka tidak akan dipaksa untuk keluar dari agamanya. Hanya saja mereka wajib membayar jizyah.

Jizyah adalah sejumlah pembayaran yang harus diberikan orang kafir dzimmi kepada negara Khilafah Islam sebagai kompensasi atas dilindunginya harta, jiwa, kehormatan, agama, dan keluarga mereka. Jizyah hanya ditarik kepada laki-laki kafir dzimmi yang sudah dewasa. Nafi’ meriwayatkan dari Aslam, maula Umar yang menyatakan, Umar pernah menulis surat kepada para pemimpin pasukan, agar mereka memungut jizyah. Mereka tidak boleh memungut jizyah dari wanita dan anak kecil.

Negara Khilafah Islam yang mengemban ideologi Islam juga akan memberikan jaminan terhadap kesejahteraan masyarakat. Rasulullah saw. bersabda,
Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat. Dia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya.” (HR. Muslim)

Dalam Islam, salah datu fungsi negara adalah mendistribusikan harta agar tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja. Ini artinya, negara harus menjamin agar setiap rakyat dapat hidup sejahtera, sebab salah satu faktor tidak sejahteranya rakyat adalah harta itu hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja. Orang miskin tidak mendapat bagian. Ini tidak akan terjadi. Allah berfirman,
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” (QS. Al Hasyr: 7)

Negara khilafah Islam pengemban ideologi Islam juga akan melindungi rakyatnya dari kejahatan tindak kriminalitas. Allah akan menghukum berat siapa saja yang melakukan tindak kriminal dan kejahatan serta pelanggaran syariat.
Allah berfirman,
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”  (QS. Al Maidah: 38)

Tetapi syariat Islam tidak akan sembarangan memotong tangan orang yang mencuri. Orang yang mencuri harus diadili terlebih dahulu apa sebab ia mencuri. Jika dia mencuri karena lapar dan membutuhkan makanan atau membutuhkan harta sementara tidak ada yang menolongnya, maka negara tidak akan memotong tangannya. Negara justru akan memberikan santunan dan menjamin kehidupannya, memberinya modal untuk bekerja, dan lain sebagainya. Ingat, kepala negara itu bertanggung jawab atas urusan rakyatnya. Dan kepala negara itu akan dimintai pertanggungjawabannya atas kepemimpinannya.

Bagi orang yang melakukan perampokan, negara Islam juga akan menghukumnya dengan berat, sehingga orang akan enggan untuk merampok. Allah berfirman,
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,” (QS. Al Maidah: 33)

Islam juga akan melindungi wanita baik-baik dari fitnah zina. Jika ada waita baik-baik tetapi dia difitnah oleh seseorang telah melakukan zina, maka orang yang menfitnah itu akan mendapatkan hukuman. Apa hukumannya? Allah berfirman,
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah (cambuklah) mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An Nur: 4)

Sedangkan bagi orang yang berzina, maka dia juga akan mendapatkan hukuman sebagai berikut.
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS. An Nur: 2)

Negara khilafah Islam yang menegakkan ideologi Islam juga akan menetapkan hukum Qishash (balas) bagi para pelaku kejahatan. Allah berfirman,
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 45)

Walaupun ayat ini berkenaan dengan orang Yahudi yang tidak menghukumi orang dengan hukum Allah, tetapi ayat ini bersifat umum. Ini pendapat jumhur (mayoritas) mufassir.

Negara khilafah juga akan menghukum siapa saja yang melakukan pembunuhan. Allah berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. Al Baqarah: 178)

Dengan melihat hukuman-hukuman yang ditetapkan Allah, maka niscaya orang enggan untuk melakukan kejahatan. Sehingga rakyat bisa terlindungi dari berbagai macam kejahatan yang akan menimpanya.

Negara khilafah yang menegakkan ideologi Islam juga membolehkan untuk mengelola tanah yang mati, yaitu tanah yang tidak dikelola. Rasulullah saw. bersabda,
Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Bukhari, At Tirmizi, dan Abu Dawud)

Ini semua, baru sebagian sistem yang ada di dalam Islam. Masih banyak rincian-rincian yang lainnya yang tidak bisa disampaikan dalam sekali waktu. Perlu kajian yang mendalam. Oleh karena itu, semua ini harus dipelajari untuk diterapkan.

Jadi, Islam memang ideologi. Bagi yang masih tidak sepakat, biasanya akan mencari-cari pembenaran dan beramai-ramai mengkonter. Tidak masalah, selama itu memiliki hujjah yang lebih kuat. Wallahu a’lam..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar