Kamis, 24 November 2011

Tajassus

Beberapa waktu yang lalu, tanggal 11 Oktober 2011 telah disahkan RUU Intelijen menjadi UU Intelijen. UU kontroversial tersebut tetap disahkan, dalam kondisi tetap menjadi kontroversi mengingat berbagai pasal karet yang sangat multitafsir. Terlepas dari itu semua, aktivitas intelijen yang dilakukan intelijen Indonesia adalah aktivitas pencarian informasi secara tersembunyi. Ini berarti bahwa negara melakukan aktivitas ‘memata-matai’ rakyatnya demi ‘kepentingan negara’.

Pencarian suatu berita yang berkonotasi mengorek-ngorek suatu berita, dalam Islam disebut dengan tajassus. Dalam bahasa kita disebut dengan spionase. Berita yang dicari, tidak terbatas. Artinya, berita yang dicari tersebut bisa berita yang tertutup (kabur, belum jelas) atau berita yang benar-benar sudah jelas.

Jika suatu berita bisa didapatkan tanpa harus sembunyi-sembunyi, tidak termasuk tajassus. Sebab, yang disebut dengan mencari-cari berita atau tajassus adalah, mencari-cari (mengorek-ngorek), mengusut-usut berita, dengan tujuan untuk menelitinya lebih dalam.

Orang yang hanya mencari berita atau mengumpulkan berita, baik dianalisis atau tidak, kemudian disebarkan ke tengah-tengah masyarakat, tidak termasuk tajassus. Di sinilah letak perbedaan antara wartawan dengan intelijen. Aktivitas intelijen adalah aktivitas tajassus sedangkan aktivitas wartawan adalah aktivitas pencarian berita. Namun jika seorang wartawan mencari dan mengorek-orek berita secara sembunyi-sembunyi, ini disebut tajassus. Jadi, bukan profesi yang membatasi, tetapi jenis aktivitasnya yang membatasi, apakah perbuatan tersebut termasuk tajassus atau tidak.

Demikian pula, jika ada orang di facebook yang mencari-cari tahu orang atau sekelompok orang (atau bisa juga organisasi) secara sembunyi-sembunyi, tentang keburukan-keburukannya, maka hal itu haram hukumnya. Jika masih juga dilakukan, hal itu merupakan bentuk perlawanan terhadap hukum tajassus itu.

Contoh:
Ada seseorang dengan sadar dan sengaja memata-matai orang lain atau sekelompok orang dengan sembunyi-sembunyi, maka hal itu haram. Maksud dari sembunyi-sembunyi di sini banyak modus. Ada yang berpura-pura (sekedar) melihat-lihat satu link diskusi, tetapi hakikatnya untuk mencari tahu kelemahan atau keburukan pihak-pihak di dalam link diskusi tersebut. Walaupun orang ini nyata-nyata terjun di dalam link, tetapi hakikatnya dia ingin mencari tahu kelemahan orang lain. Dia menyembunyikan niatnya. Ada seseorang di akun facebook saya, yang kerjaannya seperti ini. Ketika dia berinteraksi dengan saya, dia menyodorkan kepada saya kejelekan orang lain. Orang seperti ini disebut dengan mata-mata. Mata-mata untuk siapa? Wallahu a’lam.. Mungkin juga Anda mengenalnya..

Kembali ke permasalahan di atas, dilihat dari perbuatannya, tajassus bisa dihukumi haram, mubah, atau wajib sesuai dengan qarinah (indikasi) yang ada.

Allah melarang kaum muslimin secara umum untuk melakukan tajassus,
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanykan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus)..” [QS. Al Hujurat: 12]

Sebagian mufassirin, seperti Abu Raja’, dan  Al Hasan, membacanya dengan tahassasuu (dengan ha’ bukan dengan jim).  Al Akhfasy menyatakan, bahwa makna keduanya (tajassasuu dan tahassasuu) tidaklah berbeda jauh, sebab, tahassasuu bermakna al bahtsu ‘ammaa yaktumu ‘anka (membahas/meneliti apa-apa yang tersembunyi bagi kamu). Ada pula yang mengartikan, bahwa tahassasuu adalah apa yang bisa dijangkau oleh sebagian indera manusia. Sedangkan tajassasuu adalah memata-matai sesuatu.

Ada pula yang menyatakan, kalau, tajassasuu itu adalah aktivitas mata-mata yang dilakukan oleh orang lain, atau dengan utusan, sedangkan tahassasuu, aktivitas mata-mata yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Hal ini bisa dilihat dalam Tafsir Al Qurthubi, surat 49: 12. Imam Qurthubi mengartikan firman Allah, di atas dengan, “Ambilah hal-hal yang nampak, dan janganlah kalian membuka aurat kaum muslimin, yakni, janganlah seorang diantara kalian meneliti aurat saudaranya, sehingga ia mengetahui auratnya, setelah Allah swt menutupnya (auratnya).”

Rasulullah saw. juga bersabda, “….Janganlah kalian saling memata-matai, janganlah kalian saling menyelidiki, janganlah kalian saling berlebih-lebihan, janganlah kalian saling membuat kerusakan….” (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah)

Juga dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, “Dirahmatilah kiranya orang yang begitu sibuk dengan kesalahan dirinya sendiri, sehingga ia tidak peduli dengan kesalahan orang lain.” (HR. Al Bazaar)

Dari Abu Umamah, Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh, seorang amir (pemimpin) akan mendurhakai rakyatnya, bila ia memburu kecurigaan pada mereka.” (HR. Abu Dawud)

Rasulullah saw. juga bersabda, Jika seseorang melihatmu dalam keadaan tanpa pakaian, tanpa ijinmu, lalu kamu membutakan kedua matanya dengan lemparan batu, tidak ada celaan atas perbuatanmu itu.” (HR. Muslim)

Dalam kitab Mu’jam Al Kabir disebutkan, “Orang yang menyadap pembicaraan orang lain dan mendengarkan apa yang mereka tidak akan suka bila tahu ia telah mendengarnya, kedua telinganya akan dituangi dengan cairan kuningan nanti pada hari Kiamat.” (HR. Ath Thabrani)

Rasulullah saw. juga bersabda, “Orang yang biasa mencuri-curi dengar tidak akan masuk surga.” (HR. Bukhari)

Dalil-dalil di atas adalah larangan untuk melakukan aktivitas memata-matai orang lain. Karena larangan, maka nekat aktivitas tersebut adalah dosa. Dan dosa, akan membuat pelakunya masuk neraka.

Islam juga menolak setiap bukti-bukti yang didapat dari aktivitas spionase. Beda dengan UU Intelijen sekarang, yang malah membolehkan hasil spionase sebagai barang bukti. Itu sama seperti perbuatan orang-orang kafir yang biasa dilakukan seperti menyewa detektif, menyadap, dan sebagainya.

Dalam tradisi hukum Islam, bukti yang didapat dari jalan spionase tidak boleh dijadikan bukti di sidang pengadilan.  Dalilnya adalah riwayat dari Al A’masy bin Zaid, ia menceritakan bahwa Al Walid bin ‘Uqbah dihadapkan kepada Ibnu Mas’ud dan dituduh ketahuan terdapat tetesan khamr di jenggotnya.  Ibnu Mas’ud berkata, “Kita dilarang memata-matai, tetapi bila terdapat bukti yang tampak, kita akan menggunakannya.” (HR. Abu Dawud)

Demikian pula, haramnya melakukan tajassus juga berlaku bagi kafir dzimmi, yaitu orang-orang kafir yang rela tunduk di bawah hukum Islam. Sedangkan memata-matai kafir harbi, hukumnya boleh (mubah). Bahkan bagi negara, hal ini menjadi wajib.

Dalam Sirah Ibnu Hisyam diceritakan, bahwa Nabi saw pernah mengutus Abdullah bin Jahsy  bersama delapan orang dari kalangan Muhajirin. Kemudian Rasulullah saw memberikan sebuah surat kepada  Abdullah bin Jahsy, dan beliau saw menyuruhnya agar tidak melihat isinya.  Ia boleh membuka surat itu setelah berjalan kira-kira dua hari lamanya.  Selanjutnya mereka bergegas pergi.  Setelah menempuh perjalanan selama dua hari, barulah Abdullah bin Jahsy membuka surat, dan membaca isinya.  Isinya adalah, “Jika engkau telah melihat suratku ini, berjalanlah terus hingga sampai kebun korma antara Makkah dan Tha’if, maka intailah orang-orang Quraisy, dan kabarkanlah kepada kami berita tentang mereka (orang Quraisy).”

Dalam surat itu, Rasulullah saw memerintah Abdullah bin Jahsy untuk memata-matai orang Quraisy, dan mengabarkan berita tentang mereka kepada Rasul.  Akan tetapi, beliau saw memberikan pilihan kepada para sahabat lainnya untuk mengikuti Abdullah bin Jahsy atau tidak. Akan tetapi, Rasulullah saw mengharuskan Abdullah bin Jahsy untuk terus berjalan hingga sampai ke kebun kurma antara Makkah dan Tha’if, dan memata-matai orang Quraisy.

Riwayat ini menyatakan bahwa Rasulullah saw, telah meminta Abdullah bin Jahsy untuk melakukan aktivitas spionase, namun sahabat yang lain diberi dua pilihan, ikut bersama Abdullah bin Jahsy atau tidak.  Dengan demikian, tuntutan untuk melakukan spionase bagi amir jamaah (Abdullah bin Jahsy) [dinisbahkan kepada negara] adalah pasti, sehingga hukumnya wajib, sedangkan bagi kaum muslimin tuntutan tidak  pasti, sehingga hukumnya jaiz (boleh).  Hadits ini menunjukkan kepada kita, bahwa hukum memata-matai kafir harbi adalah wajib bagi negara, sedangkan bagi kaum muslimin adalah jaiz (mubah).

Selain itu, hal ini menunjukkan wajibnya negara melakukan aktivitas intelijen terhadap kafir harbi. Sebab, informasi-informasi yang diperlukan oleh tentara kaum Muslim tentang negara musuh baru akan diketahui lewat aktivitas intelijen ini. Padahal, terdapat kaidah ushul yang menyatakan maa laa yatimmul waajibu illaa bihi fa huwa waajib (Suatu kewajiban yang tidak akan (berjalan) sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula adanya). Jadi, adanya dinas rahasia dalam tubuh tentara Muslim untuk melakukan aktivitas intelijen terhadap negara musuh hukumnya wajib.

Berdasarkan hal tersebut, tampak bahwa siapa pun, termasuk negara, tidak boleh melakukan aktivitas intelijen terhadap warga negaranya. Kalaupun dimaksudkan untuk menjaga keamanan maka tidak boleh dilakukan dengan perkara yang diharamkan, melainkan dilakukan oleh pihak yang menjaga keamanan dan ketertiban dalam negeri, yaitu polisi (syurthah). Sebaliknya, negara wajib memiliki badan intelijen yang ditujukan untuk mengawasi musuh (negara-negara kafir), baik negaranya maupun warganya yang sedang berkunjung ke dalam negeri.

Bagi orang kafir harbi yang nyata-nyata terbukti melakukan tajassus maka wajib dibunuh. Dari Salamah bin Akwa dia berkata, “Seorang mata-mata dari orang-orang musyrik mendatangi Rasulullah saw, sedangkan orang itu sedang safar. Lalu, orang itu duduk bersama dengan para sahabat Nabi saw, dan ia berbincang-bincang dengan para sahabat. Kemudian orang itu pergi. Nabi saw berkata, “Cari dan bunuhlah dia!” Lalu, aku (Salamah bin Akwa) berhasil mendapatkannya lebih dahulu dari para sahabat yang lain, dan aku membunuhnya. (HR. Bukhari)

Aktivitas tajassus yang dilakukan oleh seorang muslim kepada kaum muslimin lainnya, bukan untuk kepentingan musuh, namun sekedar memata-matai saja, maka syara’ tidak menetapkan sanksi tertentu atas kema’shiyatan ini. Sanksi bagi seorang muslim yang mematai sesama muslim adalah saksi ta’ziriyyah yang kadarnya ditetapkan oleh seorang qadhi/hakim (Lihat Syakhshiyah Islamiyah, Taqiyuddin An Nabhani).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar